Balad OMO

Jumat, 17 Juni 2016

Rindu Ramadan




Menyambut Ramadan
Rindu Ramadan adalah dambaan kaum muslim agar setiap bulan dari 12 bulan itu bulan Ramadan. Mengapa? Karena, di Indonesia, bulan Ramadan adalah bulan keluarga. Begitu terasa sebagai satu keluarga, bahkan sebagai satu masyarakat. Dari Sahur hingga Magrib, dari Isya’ hingga selesai Tarawih, kemudian ada ‘kulbuh’ (kuliah Subuh = ceramah selesai salat Subuh berjamaah) dan ‘kultum’ (kuliah tujuh menit = ceramah sebelum shalat Tarawih berjamaah) di masjid, kita begitu intens sebagai satu keluarga dan satu masyarakat.
Ya, kebersamaan sekaligus berlomba kebajikan untuk memperoleh derajat manusia takwa (QS 2: 183).
Rasulullah SAW menyambut bulan Ramadan penuh perasaan bahagia dan suka-cita. Beliau ingatkan para sahabat agar menyiapkan diri mereka untuk menyambut dan mengisinya dengan amal. Diriwayatkan oleh Salman al-Farisi bahwa Rasulullah berceramah di hadapan para sahabat di akhir Sya’ban, beliau bersabda,
“Wahai sekalian manusia. Kalian akan dinaungi oleh bulan yang agung nan penuh berkah. Padanya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu malam. Allah menjadikan puasa di bulan itu sebagai kewajiban dan qiyam-nya sebagai perbuatan sunnah. Siapa yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal kebaikan seolah-olah ia telah melakukan kewajiban di bulan lain. Dan barangsiapa melakukan kewajiban pada bulan itu maka ia seolah telah melakukan tujuh puluh kewajiban di bulan lain. Ia adalah bulan kesabaran dan kesabaran itu adalah jalan menuju surga. Ia adalah bulan keteladanan dan bulan di mana rezeki dimudahkan bagi orang mukmin. Siapa memberi buka kepada orang yang berpuasa maka ia mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya dan lehernya diselamatkan dari api neraka. Ia juga mendapatkan pahalanya tanpa mengurangi pahala orang itu sedikit pun.” Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, tidak semua kita bisa memberi buka bagi orang puasa.” Rasulullah menjawab, “Allah memberi pahala yang sama kepada orang yang memberi buka walau sekadar kurma dan seteguk air atau seteguk air susu. Ia adalah bulan di mana permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan, dan ujungnya diselamatkannya seseorang dari neraka. Barangsiapa meringankan budaknya Allah mengampuninya dan membebaskannya dari neraka. Perbanyaklah kalian melakukan empat hal: dua hal pertama Allah rida kepada kalian, yaitu mengucapkan syahadat tiada ilah selain Allah dan meminta ampunan kepada-Nya. Sedangkan hal berikutnya adalah yang kalian pasti membutuhkannya, yaitu agar kalian meminta surga kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari neraka. Barangsiapa memberi minum orang berpuasa maka Allah akan memberinya minum dari telaga yang tidak akan pernah haus sampai dia masuk ke dalam surga” (HR Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
“Ya Allah, sampaikanlah aku dengan selamat ke Ramadan, selamatkan Ramadan untukku, dan selamatkan aku hingga selesai Ramadan.”

Mengisi Ramadan
Imam Ibnu Katsir berkata, “Dalam ayat QS 2: 183, Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang beriman dan memerintahkan mereka untuk (melaksanakan ibadah) puasa, yang berarti menahan (diri) dari makan, minum dan hubungan suami-istri dengan niat ikhlas karena Allah Ta’ala (semata), karena puasa (merupakan sebab untuk mencapai) kebersihan dan kesucian jiwa, serta menghilangkan noda-noda buruk (yang mengotori hati) dan semua tingkah laku yang tercela.”
Dipertegas oleh sebuah Hadis, Dari sahabat Abu Hurairah r.a. beliau berkata, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Sungguh telah datang pada kalian bulan Ramadaan, bulan yang penuh berkah, yang mana pada bulan tersebut Allah SWT mewajibkan kalian untuk berpuasa. Pada bulan itu, pintu-pintu langit dibuka, sementara pintu-pintu neraka ditutup serta setan-setan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan” (HR an-Nasa-i).
“Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah” (HR Bukhari dan Muslim). Namun, Hadis lain menyebutkan, “Terkadang orang yang berpuasa tidak mendapatkan bagian dari puasanya kecuali lapar dan dahaga saja” (HR Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan al-Hakim).
Karena itu, bulan Ramadan merupakan musim kebaikan untuk melatih dan membiasakan diri memiliki sifat-sifat mulia dalam agama Islam, di antaranya sifat sabar. Sifat ini sangat agung kedudukannya dalam Islam, bahkan tanpa adanya sifat sabar berarti iman seorang hamba akan pudar. Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau, “Sesungguhnya (kedudukan sifat) sabar dalam keimanan (seorang hamba) adalah seperti kedudukan kepala (manusia) pada tubuhnya, kalau kepala manusia hilang maka tidak ada kehidupan bagi tubuhnya.”
Sifat yang agung ini, sangat erat kaitannya dengan puasa, bahkan puasa itu sendiri adalah termasuk kesabaran. Oleh karena itu, Rasulullah SAW dalam Hadis yang shahih menamakan bulan puasa dengan syahrush shabr (bulan kesabaran). Bahkan Allah menjadikan ganjaran pahala puasa berlipat-lipat ganda tanpa batas, sebagaimana sabda Rasulullah, “Semua amal (shaleh yang dikerjakan) manusia dilipatgandakan (pahalanya), satu kebaikan (diberi ganjaran) sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali puasa (ganjarannya tidak terbatas), karena sesungguhnya puasa itu (khusus) untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran (kebaikan) baginya” (HR Bukhari dan Muslim).
Yang menarik, tidurnya orang puasa pun itu ibadah. Tentu tidur yang bagaimana dulu; misalnya untuk menghindari nonton acara gosip di tv atau daripada membicarakan orang lain sambil nunggu beduk Magrib. Memang, sungguh disayangkan, jika di bulan Ramadan banyak tidur karena begitu banyak rahmat dan ampunan Tuhan yang tinggal kita minta.

Mengakhiri Ramadan
Ramadan sebagai momen muhasabah atau self correction terhadap taubat dan kesucian diri (QS 2: 222), digunakan oleh umat muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan memperbanyak kesalehan indiviudal sekaligus sosial. Secara umum, Ramadan ini melatih setiap individu untuk sabar.
Imam Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan eratnya hubungan puasa dengan sifat sabar dalam ucapan beliau,“Sabar itu ada tiga macam: sabar dalam (melaksanakan) ketaatan kepada Allah, sabar dalam (meninggalkan) hal-hal yang diharamkan-Nya, dan sabar (dalam menghadapi) ketentuan-ketentuan-Nya yang tidak sesuai dengan keinginan (manusia). Ketiga macam sabar ini (seluruhnya) terkumpul dalam (ibadah) puasa, karena (dengan) berpuasa (kita harus) bersabar dalam (menjalankan) ketaatan kepada Allah, dan bersabar dari semua keinginan syahwat yang diharamkan-Nya bagi orang yang berpuasa, serta bersabar dalam (menghadapi) beratnya (rasa) lapar, haus, dan lemahnya badan yang dialami orang yang berpuasa.”
Sebagaimana telah disebut Hadis (HR Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban), di sini kita pertanyakan: Mengapa sepuluh hari pertama bulan Ramadan itu penuh rahmat; sepuluh hari kedua penuh ampunan; dan sepuluh hari terakhir Ramadan itu dibebaskan dari api neraka? Tentu bukan sekadar pahala yang kita kejar, tapi tentu hikmah di balik maksud Hadis tersebut yang ingin kita raih pula.
Menjelang akhir Ramadan, Nabi Muhammad SAW semakin mempergiat diri dan keluarganya beribadah kepada Allah SWT, sebagaimana riwayat Abu Dawud, “Apabila memasuki sepuluh hari terakhir Ramadan, Nabi SAW menghidupkan malam-malamnya, mengencangkan ikat pinggangnya, dan membangunkan keluarganya.”
Disebutkan dalam sejarah, banyak ulama yang mengkhatamkan Quran sebanyak puluhan kali. Misalnya Imam Syafi’i, dalam 30 hari Ramadan itu, beliau khatam Quran sebanyak 60 kali!
Mengakhiri Ramadan seakan menjadi ‘tabu’ bagi kaum muslim yang mukmin karena begitu banyak pahala dan hikmah dari Tuhan yang tidak akan didapat di bulan-bulan lain. Hal ini didokumentasikan dalam puisi Taufiq Ismail dan dinyanyikan oleh Bimbo: “ … Umur hamba di tahun depan, berilah hamba kesempatan …”
Tradisi dan ritual Ramadan di Indonesia (khususnya di Jawa) ini pun telah diteliti oleh Andre Moller dalam disertasinya di Swedia, Ramadan in Java. Hasil penelitian ini lebih memudahkan untuk memahami dan menunaikan ibadah Ramadan yang kaya dengan ibadah ritual dan kemanusiaannya.
Ramadan adalah bulan yang sangat istimewa, mengesankan, dan turut membekas dalam diri setiap pribadi muslim yang disadari atau tidak, Ramadan telah mempunyai saham bagi terbentuknya karakter dasar dalam diri dan komunitas sosial lingkungannya (ditutup dengan melaksanakan zakat fitrah).
Bagi kita, generasi yang dulu jadi anak dan kini jadi orangtua, tentu akan merindukan Ramadan yang penuh dengan aktivitas ritual dan kemanusiaan yang memposisikan diri kita sebagai manusia yang dibutuhkan manusia lain daripada mendapat baju baru atau tradisi mudik yang berhimpitan itu.
Apakah kerinduan ini hanya kenangan kini?

(Dihimpun dari berbagai sumber online).

Bandung, 20160524.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar