![]() |
Rehal di Kobong |
Menurut KBBI, ba·ca v, mem·ba·ca v 1 melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati): dia jangan diganggu, karena sedang -- buku; 2 mengeja atau melafalkan apa yang tertulis; 3 mengucapkan: -- doa, -- mantra; 4 mengetahui; meramalkan: ia dapat -- suratan tangan (garis-garis pada telapak tangan); dan 5 memperhitungkan; memahami: seorang pemain yang baik harus pandai -- permainan lawan.
Menurut ‘pemahaman’ hasil kutap-kutip -- mohon maaf, sumber tak terlacak karena file jadul, terakhir tahun 1997-an -- saya, ‘membaca’ itu menerjemahkan dan memaknai. Tujuan menerjemahkan adalah hapal, memaknai adalah paham.
Misalkan membaca puisi, Mursal Esten (1995) memberikan 10 (sepuluh) petunjuk dalam memahami puisi, yaitu: (1) perhatikanlah judulnya; (2) lihat kata-kata yang dominan; (3) selami makna konotatif bahasa puisi; (4) cari makna yang sesuai dengan struktur bahasa dalam larik atau bait puisi; (5) prosakanlah (parafrasakanlah) untuk menangkap pikiran (maksud) di dalam puisi.
Kemudian (6) usut siapa yang dimaksud kata ganti dan siapa yang mengucapkan kalimat; (7) temukan pertalian makna antara unit (larik dengan larik, bait dengan bait); (8) cari dan kejar makna yang tersembunyi dengan konsentrasi dan intensifikasi; (9) perhatikan corak sebuah sajak (mementingkan unsur formal atau puitis?); serta (10) hasil tafsiran harus berdasarkan teks dan harus bisa dikembalikan kepada teks yang menjadi sumber tafsiran (tunjukkan mana kata, larik, atau bait).
Ditambahkan Maung Sastra Bandung, Saini KM (1993), dalam peristiwa ‘membaca’ itu telah melibatkan berbagai pihak, di antaranya apresiator (pembaca), kreator (penyair), dan kritikus (teoretisi). Membaca ‘puisi’, selain membaca kata, tanda, atau simbol (semiotis), adalah melihat sebuah sikap dalam menentukan pilihan kebenaran. Hakikat kebenaran yang dicari itu direfleksikan kembali melalui medium bahasa (hermeneutis).
Membaca merupakan salah satu ‘keterampilan berbahasa’ selain mendengar, berbicara, menulis, atau menerjemahkan.
Tugas Pertama Kita
Ternyata
membaca adalah ‘tugas pertama’ kita. Ilham ini saya dapat dari wahyu pertama
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu kelima ayat pertama dari QS al-‘Alaq
(Segumpal Darah)/96: 1-5,
1.
Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
2.
Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah.
3.
Bacalah, dan Tuhanmulah
Yang Mahamulia,
4.
Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran pena (qalam, tulis-baca).
5.
Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.
‘Bacalah’ (iqra’) ini berarti kata perintah untuk membaca. Menurut M. Quraish
Shihab, iqra mempunyai persamaan arti
dengan kata menelaah, membaca, mendalami,
meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan sebagainya, yang semuanya bisa dikembalikan
kepada hakikat ‘menghimpun’.
Menurut Yusuf Qardhawi, kata iqra secara etimologi berarti membaca huruf-huruf yang tertulis dalam buku-buku. Sedangkan secara terminologi, yakni membaca dalam arti yang lebih luas. Maksudnya membaca alam semesta (ayat al-kaun).
Sedangkan menurut al-Maraghi sebagaimana dikutip Abuddin Nata dalam bukunya yang berjudul Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, kata iqra dalam QS al-‘Alaq ayat 1 dapat diartikan “Jadilah engkau (Muhammad) seorang yang pandai membaca berkat kekuasaan dan kehendak Allah yang telah menciptakanmu, walaupun sebelumnya engkau tidak dapat melakukannya.” Menurut al-Maraghi pula, pengulangan kata iqra pada QS al-‘Alaq ayat 3 didasarkan pada alasan bahwa membaca itu tidak akan membekas dalam jiwa kecuali dengan diulang-ulang dan membiasakannya sebagaimana dalam tradisi. Perintah Tuhan untuk mengulang-membaca berarti pula mengulangi apa yang dibaca. Dengan cara demikian bacaan tersebut menjadi milik orang membacanya. Kata iqra mengandung arti yang amat luas, seperti mengenali, mengidentifikasi, mengklasifikasi, membandingkan, menganalisa, menyimpulkan, dan membuktikan (beberapa pendapat di atas dikutip dari Diana Mella Yussafina, Sumber: http://tafsirfalsafi.blogspot.co.id/2012/11/falsafah-iqra.html, Akses: 16/5/2016).
Hal senada dinyatakan seorang dosen, dulu (1990-an), yang menerjemahkan iqra dengan ‘recite’, yakni membaca secara berulang. Menurut KBBI Online, recite berarti menceritakan atau menghafalkan (Sumber: http://www.kamuskbbi.id/inggris/indonesia.php?mod=view&recite&id=26691-kamus-inggris-indonesia.html, Akses: 16/5/2016).
Anehnya, Nabi Muhammad SAW itu al-ummiyyi (tidak bisa baca-tulis; lihat QS 7: 158).
Mari, kita ikuti uraian Muhammad Abduh Tuasikal, Pimpinan
Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul, Pengasuh Rumaysho.Com, dan Penasihat
Muslim.Or.Id., yang mengawali tulisannya dengan alinea: … dengan perintah ‘membaca’,
dapat diketahui perintah dan larangan Allah. Jadi, manusia bukanlah dicipta
begitu saja di dunia, namun ia juga diperintah dan dilarang.
Ketika Nabi SAW menerima wahyu pertama itu, beliau tidak tahu tulis-menulis dan tidak mengerti tentang iman. Lantas, Jibril datang dengan membawa risalah atau wahyu dan memerintahkan Nabi untuk membacanya. Nabi enggan dan berkata, “Maa anaa biqaarii” (aku tidak bisa membaca, HR Bukhari No. 3). Beliau terus mengatakan seperti itu sampai akhirnya beliau membacanya. Kemudian turunlah ayat, “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan” (versi Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kemenag, 2010: 904, “Bacalah dengan [menyebut] nama Tuhanmu Yang menciptakan”). Yang dimaksud ‘menciptakan’ di sini adalah menciptakan makhluk secara umum. Tetapi yang dimaksudkan secara khusus di sini adalah manusia. Manusia diciptakan dari segumpal darah sebagaimana disebut dalam ayat selanjutnya, “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”
Manusia bukan hanya dicipta, namun ia juga diperintah dan dilarang. Untuk menjelaskan perintah dan larangan ini diutuslah Rasul dan diturunkanlah Al-Kitab (Quran). Oleh karena itu, setelah menceritakan perintah untuk membaca disebutkan mengenai penciptaan manusia.
Setelah itu, Allah memerintahkan, “Bacalah, dan Rabbmulah Yang
Maha Pemurah” (versi Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Kemenag, 2010: 904, “Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Mahamulia”). Disebutkan bahwa Allah memiliki
sifat pemurah yang luas dan karunia-Nya yang besar pada makhluk-Nya. Di antara
bentuk karunia Allah pada manusia, kata Syaikh as-Sa’di rahimahullaah, adalah
Dia mengajarkan ilmu pada manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat selanjutnya,
“Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.”
Kata Syaikh as-Sa’di rahimahullaah, “Manusia dikeluarkan dari perut ibunya ketika lahir tidak mengetahui apa-apa. Lalu Allah menjadikan baginya penglihatan dan pendengaran serta hati sebagai jalan untuk mendapatkan ilmu” (Taisiri al-Karimir-Rahmaan, hlm. 930).
Allah mengajarkan pada manusia Quran dan mengajarkan padanya hikmah, yaitu ilmu. Allah mengajarkannya dengan qalam (pena) yang bisa membuat ilmunya semakin lekat. Allah pun mengutus Rasul supaya bisa menjelaskan pada mereka. Alhamdulillaah, atas berbagai nikmat ini yang sulit dibalas dan disyukuri (Sumber: https://rumaysho.com/3505-tafsir-surat-iqro-1-bacalah-dan-bacalah.html, Akses: 16/5/2016).
Lantas, bagaimana membaca diri atau membaca zaman, dan apa manfaatnya? Dalam ‘mikrokosmos’ (jagat atau dunia kecil, khususnya manusia dan sifat kemanusiaan yang merupakan contoh dalam ukuran kecil dari alam semesta), profesi yang mumpuni perihal diri, secara ‘sederhana’, ialah psikolog (ahli jiwa) dan dokter (ahli pengobatan raga); sedangkan profesi yang kompeten perihal zaman, dalam arti manusia dengan interaksinya, ialah antropolog, sosiolog, ekonom, atau politikus. Adapun profesi yang mumpuni keduanya ialah agamawan dan budayawan. Dulu, masyarakat menyebutnya ‘guru’ karena dianggap manusia segala tahu, bisa, dan punya sekaligus dapat ‘digugu-ditiru’.
Untuk guru ‘kini’, mari kita renungkan ‘bacaan’ Gus Mus, K.H.A. Mustofa Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin, Rembang, Jawa Tengah,
GURUKU
Ketika aku kecil dan menjadi muridnya
Dialah di mataku orang terbesar dan
terpintar
Ketika aku besar dan menjadi pintar
Kulihat dia begitu kecil dan lugu
Aku menghargainya dulu
Karena tak tahu harga guru
Ataukah kini aku tak tahu
Menghargai guru?
1987
Banyak kiat atau cara membaca diri
sekaligus kaitannya dengan membaca zaman. Sebutlah di antaranya metode SQ4R (survey,
question, read, recite, record, and review); analisis SWOT (strength, weakness, opportunities, and threat); perspektif
sosilogi: kedudukan (status) dan
peranan (role); dialektika Hegel:
tesis, antitesis, dan sintesis; atau rumus para ‘wartawan’: 5W + 1H (what, who, where, when, why, and how).
Jika diambil ‘benang merah’-nya, saya menyebutnya cara mengenal ‘apa’ dan
‘siapa’ diri.
Hipotesis (kesimpulan sementara) saya bahwa ‘diri’ (kita) adalah pelayan, buruh, hamba, abdi, atau sahaya (etimologi ‘saya’), yang terilhami dari QS 2: 30 dan 51: 56, yakni manifestasi ‘beramal’ sebagai tugas kedua kita atau, seperti pendapat Muhammad Abduh Tuasikal di atas, ‘bacaan’ kita sebagai manusia terhadap apa yang diperintah dan dilarang Tuhan.
Lalu, apa manfaatnya? Manfaat membaca diri sebagaimana hikmah dari tasawuf (sufisme), “Yang mengenal dirinya, maka telah mengenal Tuhan-nya.” Pemaknaan hikmah ini -- meminjam slogan film The Three Musketeers -- adalah One for all atau all for One. Satu itu semua asal atau semua berasal dari Satu. Satu itu Tuhan.
Bagaimana membaca Tuhan? Ya itu, membaca diri, membaca ciptaan-Nya; apa diri; siapa diri; bagaimana diri; mengapa diri; mengapa kita yang diutus, bukan berjuta zigot saudara kita; apa maksud dan tujuan hidup kita, dst. Sedikit demi sedikit jawaban diperoleh, tentu hidup kita tidak akan linglung; tidak akan stres. Dari mana kita tahu maksud dan tujuan hidup kita? Dari doktrin agama. Dari agama-lah kita tahu bagaimana hidup di bumi atau ada kehidupan lho setelah hidup di bumi ini.
Menyambut Hari Buku Nasional (17 Mei) ini, perkenankan saya cantumkan ‘puisi’ saya,
#buku
buku itu
lembar kertas yang berjilid,
berisi
tulisan atau kosong; kitab
buku itu bukti kuat
buku itu
bacaan
ada buku
kecil, ada buku besar
kecil itu
yang dijilid
besar itu
di depan mata
saking
besarnya atawa saking dekatnya
jadi tak
terlihat, jadi tak terbaca
buku besar
itu kita …
smoga kita
terima buku kita
dengan
tangan kanan kita, aamiin
Wa Allaah a’laam.
Sumber foto: google/rehal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar