Nikah itu
ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum
dan ajaran agama. Di Indonesia, lebih dikenal kawin, yaitu membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau
beristri; menikah; melakukan hubungan kelamin; berkelamin (untuk hewan); bersetubuh;
atau perkawinan (KBBI). Ya, nikah disuruh agama; kawin itu dengan lawan jenis;
sehingga regenerasi tetap terjaga sehat walafiat dengan bimbingan agama. Ya,
kita ngeri dengan tren LGBT atau perkosaan-pembunuhan.
Saya tidak ngeyel
(Sunda: ngalelewe) kepada yang belum
nikah (jomlo) atau kepada duda/janda, dan kepada yang suka bercanda ‘nikah lagi’
padahal kehidupan rumah tangganya sedang harmonis.
Pertama,
kepada jomlo, segeralah menikah, apalagi jika usia sudah 25 tahun untuk pria
dan 21 tahun untuk wanita. Saya termasuk IPTN (Ikatan Pemuda Telat Nikah); malah
tepatnya IB2TN (Ikatan Bapak-bapak Telat Nikah). Mengapa harus segera menikah?
(1) memenuhi hak elemen jiwa-raga kita, sehingga kehidupan kita seimbang; (2) seiring
‘berkurangnya’ jatah (hidup) usia kita, bertambah pula kewajiban kita sebagai anggota
keluarga, masyarakat, dan negara, sehingga dengan menikah satu per satu hak dan
kewajiban sebagai anggota itu sinkron terpenuhi sesuai dengan posisi dan fungsi
kita; (3) menghindari fitnah (ujian) sebagai manusia lajang; jika nanti ketika
sudah menikah kemudian ada ujian PIL/WIL, justru menikah itu filter bahkan
tameng dari godaan itu; (4) menikah di usia 25 tahun untuk pria dan 21 tahun untuk
wanita itu tentu tidak jauh jarak usia dengan anak, sehingga bisa bercengkerama
atau bermain bersama … (mohon ditambah dari komen2 brobray, trims).
Kedua,
kepada duda/janda pun segeralah menikah, kalian lebih paham daripada saya …
trims.
Ketiga, kepada
yang suka bercanda ‘nikah lagi’ padahal kehidupan rumah tangganya sedang
harmonis. Hagg—saya bukan nakuti—dicatat
Malaikat, lho!
Sebagaimana Hadis: “Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius: (1)
nikah, (2) cerai, dan (3) rujuk” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, dan Ibnu
Majah dari Abu Hurairah). Mengapa ‘menyeramkan’? Karena mata-telinga saya sudah
‘kenyang’ dengan kisah ‘poligami’ (apalagi, hiyy,
‘poliandri’) di sekitar saya: di tengah, apalagi di akhir masa hidupnya,
sungguh memilukan; atau memuakkan; seperti dulu, gagah-perkasa, eh kini, reyot-sakit-sakitan;
atau anak-keluarga rebutan harta warisan (mending ninggalin harta, kalo ninggalin utang)! Mau?
Keempat,
mengimbau kepada Pemerintah: beri modal dan nikahkan jomlo karena mereka usia
produktif. Mohon diberdayakan DAU (dana abadi umat), ZISWA (zakat, infaq, shadaqah,
dan wakaf) umat, atau pajak dari masyarakat.
Dan kelima,
bagi jomlo, jangan takut miskin, justru dengan menikah, kita bergerak-bekerja
lebih semangat … Ini buktinya:
Sebuah riset di Amerika Serikat (AS) mengungkapkan bahwa
orang-orang yang menikah dan tetap dalam pernikahannya (tidak bercerai),
rata-rata empat kali lebih makmur ketimbang mereka yang tidak menikah atau
bercerai di tengah jalan. Ini sesuai dengan Quran, “Dan nikahilah orang-orang
yang sendirian (jomlo) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS an-Nuur/24: 32) [Saya
memahami frasa “wa ankihuu”, ‘dan
nikahkanlah’—lihat Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Kemenag 2010—
berarti kata perintah bagi orang di sekitar jomlo untuk menikahkan jomlo itu dengan jomlo lagi, bukan untuk dinikahi; contoh konkret: Aa Gym ‘seharusnya’ menikahkan Teh Rini, bukan menikahinya; kecuali Aa Gym saat menikahi Teh Rini itu masih/sedang jomlo juga … wa Allaah a’laam—Aluzar Azhar].
berarti kata perintah bagi orang di sekitar jomlo untuk menikahkan jomlo itu dengan jomlo lagi, bukan untuk dinikahi; contoh konkret: Aa Gym ‘seharusnya’ menikahkan Teh Rini, bukan menikahinya; kecuali Aa Gym saat menikahi Teh Rini itu masih/sedang jomlo juga … wa Allaah a’laam—Aluzar Azhar].
Di atas itu semua ada yang tidak bisa diungkap oleh riset
di atas, yaitu petunjuk Ilahiah bahwa dengan menikah itu seorang laki-laki akan
menjadi tenang/tenteram (sakinah) dan
ada cinta serta kasih sayang (mawaddah wa
rahmah) bersama dengan istrinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS ar-Ruum/30: 21).
Bagi Anda yang belum menikah, bersegeralah dan jangan
takut miskin karena menikah – justru sebaliknya, menikah adalah salah satu
jalan untuk menghindarkan kemiskinan. Insya Allah (Sumber: http://www.hidayatullah.com/kolom/ilahiyah-finance/read/2013/02/28/3023/makmur-dengan-menikah.html,
Akses: 8/7/2016).
Nah, brobray, nikah itu nikmat dan halal. Mengapa
di-denial atau di-wasted? Kita minta kepada yang Empunya
pasangan kita (QS 25: 74); kita minta rezeki kepada Razzaaq, Tuhan Maha Pemberi
Rezeki; dan tentu kita harus selalu ora
et labora, berdoa dan berikhtiar dengan bimbingan Tuhan Yang Mahakuasa …
(QS 2: 255).
Mengapa saya concern
atau képo soal jomlo? Karena saya mengalami
sendiri dan di sekitar saya masih banyak yang jomlo … Mari berempati menjadi
orangtua yang punya anak jomlo; menjadi keluarga yang punya saudara jomlo; menjadi
kawan yang punya teman jomlo; menjadi relasi yang punya kenalan jomlo … sungguh
gundah-gulana, apalagi sang jomlo itu sendiri. Sementara ‘menikahkan’, sebagaimana
QS 24: 32 di atas, adalah fardlu kifayah;
namun, yang ‘mampu’ menikahkan justru punya tafsiran sendiri; yang berwenang (Pemerintah)
menikahkan justru terkesan tak peduli. Sungguh, kasus jomlo ini ngabalerang (efek domino) yang beraura
negatif. Dimohon tidak berapologi apalagi berfilsafat. Karena saya ingin kita
mencari solusi sebagai saudara atau kawan untuk harmoni kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita.
Ya, jodoh di Tangan Tuhan. Mungkin, kita masih rigid dengan ‘ikhtiar’ ala kontak jodoh,
biro jodoh, atau seperti berita di tv/online yang mengabarkan ‘pasar’ jodoh di
negara-negara lain. Di sini, saya ingin mengajak bahwa ‘Tangan’ Tuhan itu bisa
kita maknai sebagai ikhtiar-ikhtiar kita untuk menikahkan jomlo dengan jodohnya.
Ikhtiar-ikhtiar kita itu tentu sesuai syari’at.
Kabar menggembirakan yang justru melempem ingarnya adalah carilah jodoh ke
pesantren atau mintalah kepada kiai (pengasuh pesantren) seorang santrinya. Ini
dibuktikan seorang kawan yang lebih bapak-bapak daripada saya, dia mendapat
santriwati yang wow ... Bravo, Sob!
Bandung, 20160708, 20.15.
Lihat juga: http://www.kompasiana.com/aluzar_azhar/jomlo-dan-kalaalah_582cdfb1af7a61f6074bd6a2
Lihat juga: http://www.kompasiana.com/aluzar_azhar/jomlo-dan-kalaalah_582cdfb1af7a61f6074bd6a2
https://www.kompasiana.com/aluzar_azhar/638a06af08a8b55a1e4fe742/niat-nikah
BalasHapus