Balad OMO

Jumat, 08 Juli 2016

Nikah



Nikah itu ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Di Indonesia, lebih dikenal kawin, yaitu membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah; melakukan hubungan kelamin; berkelamin (untuk hewan); bersetubuh; atau perkawinan (KBBI). Ya, nikah disuruh agama; kawin itu dengan lawan jenis; sehingga regenerasi tetap terjaga sehat walafiat dengan bimbingan agama. Ya, kita ngeri dengan tren LGBT atau perkosaan-pembunuhan.

Saya tidak ngeyel (Sunda: ngalelewe) kepada yang belum nikah (jomlo) atau kepada duda/janda, dan kepada yang suka bercanda ‘nikah lagi’ padahal kehidupan rumah tangganya sedang harmonis.

Pertama, kepada jomlo, segeralah menikah, apalagi jika usia sudah 25 tahun untuk pria dan 21 tahun untuk wanita. Saya termasuk IPTN (Ikatan Pemuda Telat Nikah); malah tepatnya IB2TN (Ikatan Bapak-bapak Telat Nikah). Mengapa harus segera menikah? (1) memenuhi hak elemen jiwa-raga kita, sehingga kehidupan kita seimbang; (2) seiring ‘berkurangnya’ jatah (hidup) usia kita, bertambah pula kewajiban kita sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan negara, sehingga dengan menikah satu per satu hak dan kewajiban sebagai anggota itu sinkron terpenuhi sesuai dengan posisi dan fungsi kita; (3) menghindari fitnah (ujian) sebagai manusia lajang; jika nanti ketika sudah menikah kemudian ada ujian PIL/WIL, justru menikah itu filter bahkan tameng dari godaan itu; (4) menikah di usia 25 tahun untuk pria dan 21 tahun untuk wanita itu tentu tidak jauh jarak usia dengan anak, sehingga bisa bercengkerama atau bermain bersama … (mohon ditambah dari komen2 brobray, trims).

Kedua, kepada duda/janda pun segeralah menikah, kalian lebih paham daripada saya … trims.

Ketiga, kepada yang suka bercanda ‘nikah lagi’ padahal kehidupan rumah tangganya sedang harmonis. Hagg—saya bukan nakuti—dicatat Malaikat, lho!
Sebagaimana Hadis: Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius: (1) nikah, (2) cerai, dan (3) rujuk” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Mengapa ‘menyeramkan’? Karena mata-telinga saya sudah ‘kenyang’ dengan kisah ‘poligami’ (apalagi, hiyy, ‘poliandri’) di sekitar saya: di tengah, apalagi di akhir masa hidupnya, sungguh memilukan; atau memuakkan; seperti dulu, gagah-perkasa, eh kini, reyot-sakit-sakitan; atau anak-keluarga rebutan harta warisan (mending ninggalin harta, kalo ninggalin utang)! Mau?

Keempat, mengimbau kepada Pemerintah: beri modal dan nikahkan jomlo karena mereka usia produktif. Mohon diberdayakan DAU (dana abadi umat), ZISWA (zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf) umat, atau pajak dari masyarakat.


Dan kelima, bagi jomlo, jangan takut miskin, justru dengan menikah, kita bergerak-bekerja lebih semangat … Ini buktinya:
Sebuah riset di Amerika Serikat (AS) mengungkapkan bahwa orang-orang yang menikah dan tetap dalam pernikahannya (tidak bercerai), rata-rata empat kali lebih makmur ketimbang mereka yang tidak menikah atau bercerai di tengah jalan. Ini sesuai dengan Quran, “Dan nikahilah orang-orang yang sendirian (jomlo) di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS an-Nuur/24: 32) [Saya memahami frasa “wa ankihuu”, ‘dan nikahkanlah’—lihat Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kemenag 2010—
berarti kata perintah bagi orang di sekitar jomlo untuk menikahkan jomlo itu dengan jomlo lagi, bukan untuk dinikahi; contoh konkret: Aa Gym ‘seharusnya’ menikahkan Teh Rini, bukan menikahinya; kecuali Aa Gym saat menikahi Teh Rini itu masih/sedang jomlo juga wa Allaah a’laam—Aluzar Azhar].

Di atas itu semua ada yang tidak bisa diungkap oleh riset di atas, yaitu petunjuk Ilahiah bahwa dengan menikah itu seorang laki-laki akan menjadi tenang/tenteram (sakinah) dan ada cinta serta kasih sayang (mawaddah wa rahmah) bersama dengan istrinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS ar-Ruum/30: 21).

Bagi Anda yang belum menikah, bersegeralah dan jangan takut miskin karena menikah – justru sebaliknya, menikah adalah salah satu jalan untuk menghindarkan kemiskinan. Insya Allah (Sumber: http://www.hidayatullah.com/kolom/ilahiyah-finance/read/2013/02/28/3023/makmur-dengan-menikah.html, Akses: 8/7/2016).

Nah, brobray, nikah itu nikmat dan halal. Mengapa di-denial atau di-wasted? Kita minta kepada yang Empunya pasangan kita (QS 25: 74); kita minta rezeki kepada Razzaaq, Tuhan Maha Pemberi Rezeki; dan tentu kita harus selalu ora et labora, berdoa dan berikhtiar dengan bimbingan Tuhan Yang Mahakuasa … (QS 2: 255).

Mengapa saya concern atau képo soal jomlo? Karena saya mengalami sendiri dan di sekitar saya masih banyak yang jomlo … Mari berempati menjadi orangtua yang punya anak jomlo; menjadi keluarga yang punya saudara jomlo; menjadi kawan yang punya teman jomlo; menjadi relasi yang punya kenalan jomlo … sungguh gundah-gulana, apalagi sang jomlo itu sendiri. Sementara ‘menikahkan’, sebagaimana QS 24: 32 di atas, adalah fardlu kifayah; namun, yang ‘mampu’ menikahkan justru punya tafsiran sendiri; yang berwenang (Pemerintah) menikahkan justru terkesan tak peduli. Sungguh, kasus jomlo ini ngabalerang (efek domino) yang beraura negatif. Dimohon tidak berapologi apalagi berfilsafat. Karena saya ingin kita mencari solusi sebagai saudara atau kawan untuk harmoni kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita.

Ya, jodoh di Tangan Tuhan. Mungkin, kita masih rigid dengan ‘ikhtiar’ ala kontak jodoh, biro jodoh, atau seperti berita di tv/online yang mengabarkan ‘pasar’ jodoh di negara-negara lain. Di sini, saya ingin mengajak bahwa ‘Tangan’ Tuhan itu bisa kita maknai sebagai ikhtiar-ikhtiar kita untuk menikahkan jomlo dengan jodohnya. Ikhtiar-ikhtiar kita itu tentu sesuai syari’at. Kabar menggembirakan yang justru melempem ingarnya adalah carilah jodoh ke pesantren atau mintalah kepada kiai (pengasuh pesantren) seorang santrinya. Ini dibuktikan seorang kawan yang lebih bapak-bapak daripada saya, dia mendapat santriwati yang wow ... Bravo, Sob!


1 komentar:

  1. https://www.kompasiana.com/aluzar_azhar/638a06af08a8b55a1e4fe742/niat-nikah

    BalasHapus