Balad OMO

Sabtu, 09 Juli 2016

Indonesia Berwawasan Kependudukan, Anti-Korupsi, dan Bebas Narkoba



Sabtu, 21 Mei 2016 jam 19.00 – 22.00, saya menghadiri undangan “Malam Berpuisi di Teras Cikapundung” Kota Bandung dengan tema: Menggagas Indonesia Berwawasan Kependudukan, Anti-Korupsi, dan Bebas Narkoba, yang diselenggarakan (EO) PSAK-SA (Perkumpulan Studi Aksi Kependudukan - Student Association), ternyata acara nasional serta dihadiri wakil BKKBN, KPK, PPATK, BNN, Polda Jabar, seniman, dan wartawan Jabar (Jawa Barat).

Acara ini diisi dengan baca puisi dari para wakil institusi di atas, diselingi kabaret, dan penandatanganan kesepahaman (materi dan substansi acara, tentu pihak EO lebih berwenang menguraikannya).

Sebelum atau hingga tanggal 31 Mei 2016, EO mengimbau partisipasi dari semua pihak untuk mengirimkan puisi dengan tema di atas. Mungkin, karena saya mengirimkan satu puisi untuk setiap tema (menurut EO, maksimal tiga puisi untuk tiap tema), maka saya diundang ke acara itu, meski tidak didaulat membacakan ketiga puisi saya.

Tulisan ini mencoba untuk ‘menangkap’ sekaligus mensosialisasikan gagasan dari tema tersebut melalui perspektif ketiga puisi saya. Puisi pertama berjudul “Stop Perceraian” yang saya dedikasikan untuk wawasan kependudukan; puisi kedua berjudul “Pejabat” untuk anti-korupsi; dan puisi ketiga berjudul “Ayolah Garuda” untuk wawasan bebas narkoba. Namun dikarenakan terbatasnya ruang, saya hanya akan mengurai puisi pertama.

Stop Perceraian
stop perceraian karena akan melahirkan
kebencian
penyesalan
nyandu
nular
Cimahi, 20151215

Puisi ini ditulis di Cimahi karena terilhami seorang kawan yang curhat ke sana ke mari bahwa keluarganya cerai, bahwa keluarga yang dibinanya selama 12 tahun cerai, dan, menurutnya, penyebab perceraiannya akibat intervensi mertuanya.

Saya sudah jenuh mendengarnya karena terlalu sering dia curhat ke siapa-siapa, bahkan ke teman yang ada di Cimahi, padahal kedatangan kita ke Cimahi untuk silaturahmi dan ada acara almamater pesantren dulu.

Memang ada benarnya curhat kawan itu bahwa penyebab perceraiannya akibat intervensi mertuanya. Wong, kawan itu teman dari SD, mesantren bareng, hingga dapat jodoh pun saya kenalkan ke lingkungan almamater terakhir saya yang beda dengan perguruan tinggi kawan itu.

Yang kawan itu lupa, saya pun korban perceraian, sehingga soal ‘cerai’ dan ‘perceraian’ begitu trauma. Hikmahnya, saya berhipotesis bahwa penyebab perceraian di keluarga adalah a-materi dan a-komunikasi. Jika tidak ada materi, tapi ada komunikasi, insya Allah tidak bakalan cerai; tetapi jika tidak ada materi sekaligus tidak ada komunikasi, cilaka!

Hipotesis ini tergambar pula pada puisi di atas. Ketika menghadiri sidang Cerai Gugat, saya sudah merekam kata ‘benci’ dan ‘kebencian’ dari Penggugat dan Tergugat (baca: istri-suami). Kini, sebutlah setelah sidang itu diputus hakim atau hingga puluhan tahun setelah perceraian itu terjadi, kata ‘benci’ dan ‘kebencian’ itu sampai ke anak atau cucu mereka. Anehnya, di acara keluarga, kata ‘sesal’ dan ‘penyesalan’ karena cerai sering terlontar dari mereka.

Antitesis dari kasus perceraian adalah perkawinan karena akan melahirkan kasih sayang (anak = buah kasih sayang). Cilaka-nya, jika jomlo bolehlah kawin; tapi jika janda atau duda kawin lagi dan tak lama cerai lagi, ini yang saya sebut ‘nyandu’. Mereka pikir, kawin adalah solusi; kawin adalah obat cerai, padahal saya bilang adalah kompensasi alias hobi. Di sini, saya ingin mengatakan bahwa terjadinya perceraian akibat andil dua pihak (suami-istri), besar-kecil atau benar-salah itu perspektif/subjektif. Hanya Tuhan Yang Mahatahu, tentu akan mengazab yang sok benar!

Kemudian ‘nular’. Ya, mata fisik-batin saya melihat bahwa perceraian itu menular ke sekitarnya. Ada yang ‘lucu’, seharusnya yang cerai itu suami-istri depan rumah karena sering terdengar cekcok malah ada ‘piring terbang’ segala, tapi yang cerai bapak-ibu saya, maka suami-istri itu tidak jadi cerai, malah jadi keluarga harmonis.

Mari kita lihat lebih luas, bagaimana jika yang cerai itu selebriti (artis atau tokoh), bagaimana dampaknya bagi perihidup bermasyarakat kita?

Wawasan Kependudukan, Anti-Korupsi, dan Bebas Narkoba
Dengan puisi itu, saya ingin mengatakan bahwa keluarga bagian dari Tri Pusat Pendidikan, selain sekolah dan masyarakat. Keluarga-lah sekolah pertama kita. Keluarga harmonis-lah yang akan melahirkan generasi MANTAP!

Mengapa saya berkesimpulan demikian? Karena saya menyaksikan keluarga-keluarga kawan, tetangga, bahkan keluarga selebriti yang harmonis. Ini tentu subjektif. Tapi saya bisa buktikan dengan MAPAN-nya kehidupan keluarga kawan, tetangga, atau selebriti itu.

Terjemah ‘mapan’ bukan melulu ekonomis atau materi. Mata saya menyaksikan keluarga kawan atau tetangga yang rumahnya setengah tembok atau hidup di gang yang kumuh, kehidupan keluarganya itu begitu damai, tenteram, bahkan ceria.

Ini bukan roman yang indah; tetapi ini kehidupan yang nyata. Generasi mantap atau kehidupan keluarga yang mapan adalah kasus manajemen hidup. Bahasa agama menyebutnya ‘mensyukuri’ hidup. Jika kehidupan disyukuri, nikmat kan bertambah; tetapi jika lupa akan nikmat hidup, tentu akan selalu sengsara atau kurang, meski hidup di dalam istana.

Ekses negatif dari kawin-cerai itu, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah ‘bonus’ demografi, perilaku korupsi, dan mengkonsumsi narkoba. Untuk bonus demografi, yakni membludaknya usia kerja sementara lapangan kerja sempit, saya miris: “Apa bedanya dengan marmot, produsen anak, tapi tidak diciptakan menjadi pemimpin masa depan!”

Untuk perilaku korupsi, jika keluarga itu tidak mendidik anak dengan IMAN, dengan sikap merasa cukup dengan apa yang dimiliki, maka anak itu akan berperilaku korupsi. Perilaku korupsi ini saya identikkan dengan kleptomania, bahkan lebih berbahaya karena lebih merugikan bangsa dan negara. Maka saya usul: tangkap kekasih koruptor itu, pasti bernyanyi!

Serta karena keluarga tidak harmonis (broken home), maka anak akan mencari kompensasi; akan mencari komunitas yang awalnya seperti siap menampung segala curhatnya; dan tak lama mengkonsumsi narkoba karena komunitas itu pun  terbentuk atas nama kompensasi. Menurut BNN, 50 orang setiap hari mati gara-gara mengkonsumsi narkoba. Mau hidup jadi sia-sia?

Mari Stop Perceraian … (Saya menyaksikan, sudah empat generasi yang kawin-cerai di keluarga saya) … syukuri hidup dengan prestasi dan berbagi kasih sayang.

Bandung, 20160522, 23.32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar