Sabtu, 21 Mei 2016 jam 19.00 – 22.00, saya menghadiri
undangan “Malam Berpuisi di Teras Cikapundung” Kota Bandung dengan tema:
Menggagas Indonesia Berwawasan Kependudukan, Anti-Korupsi, dan Bebas Narkoba,
yang diselenggarakan (EO) PSAK-SA
(Perkumpulan Studi Aksi Kependudukan - Student
Association), ternyata acara nasional serta dihadiri wakil BKKBN, KPK,
PPATK, BNN, Polda Jabar, seniman, dan wartawan Jabar (Jawa Barat).
Acara ini diisi dengan baca puisi dari para wakil institusi
di atas, diselingi kabaret, dan penandatanganan kesepahaman (materi dan
substansi acara, tentu pihak EO lebih
berwenang menguraikannya).
Sebelum atau hingga tanggal 31 Mei 2016, EO mengimbau partisipasi dari semua
pihak untuk mengirimkan puisi dengan tema di atas. Mungkin, karena saya
mengirimkan satu puisi untuk setiap tema (menurut EO, maksimal tiga puisi untuk tiap tema), maka saya diundang ke
acara itu, meski tidak didaulat membacakan ketiga puisi saya.
Tulisan ini mencoba untuk ‘menangkap’ sekaligus
mensosialisasikan gagasan dari tema tersebut melalui perspektif ketiga puisi
saya. Puisi pertama berjudul “Stop Perceraian” yang saya dedikasikan untuk wawasan
kependudukan; puisi kedua berjudul “Pejabat” untuk anti-korupsi; dan puisi ketiga
berjudul “Ayolah Garuda” untuk wawasan bebas narkoba. Namun dikarenakan
terbatasnya ruang, saya hanya akan mengurai puisi pertama.
Stop Perceraian
stop perceraian karena akan melahirkan
kebencian
penyesalan
nyandu
nular
…
Cimahi, 20151215
Puisi ini ditulis di Cimahi karena terilhami seorang kawan
yang curhat ke sana ke mari bahwa keluarganya cerai, bahwa keluarga yang
dibinanya selama 12 tahun cerai, dan, menurutnya, penyebab perceraiannya akibat
intervensi mertuanya.
Saya sudah jenuh mendengarnya karena terlalu sering dia
curhat ke siapa-siapa, bahkan ke teman yang ada di Cimahi, padahal kedatangan
kita ke Cimahi untuk silaturahmi dan ada acara almamater pesantren dulu.
Memang ada benarnya curhat kawan itu bahwa penyebab
perceraiannya akibat intervensi mertuanya. Wong,
kawan itu teman dari SD, mesantren
bareng, hingga dapat jodoh pun saya kenalkan ke lingkungan almamater
terakhir saya yang beda dengan perguruan tinggi kawan itu.
Yang kawan itu lupa, saya pun korban perceraian, sehingga
soal ‘cerai’ dan ‘perceraian’ begitu trauma. Hikmahnya, saya berhipotesis bahwa
penyebab perceraian di keluarga adalah a-materi dan a-komunikasi. Jika tidak
ada materi, tapi ada komunikasi, insya Allah tidak bakalan cerai; tetapi jika tidak ada materi sekaligus tidak ada
komunikasi, cilaka!
Hipotesis ini tergambar pula pada puisi di atas. Ketika menghadiri
sidang Cerai Gugat, saya sudah merekam kata ‘benci’ dan ‘kebencian’ dari
Penggugat dan Tergugat (baca: istri-suami). Kini, sebutlah setelah sidang itu
diputus hakim atau hingga puluhan tahun setelah perceraian itu terjadi, kata
‘benci’ dan ‘kebencian’ itu sampai ke anak atau cucu mereka. Anehnya, di acara
keluarga, kata ‘sesal’ dan ‘penyesalan’ karena cerai sering terlontar dari
mereka.
Antitesis dari kasus perceraian adalah perkawinan karena
akan melahirkan kasih sayang (anak = buah kasih sayang). Cilaka-nya, jika jomlo bolehlah kawin; tapi jika janda atau duda
kawin lagi dan tak lama cerai lagi, ini yang saya sebut ‘nyandu’. Mereka pikir, kawin adalah solusi; kawin adalah obat
cerai, padahal saya bilang adalah kompensasi alias hobi. Di sini, saya ingin
mengatakan bahwa terjadinya perceraian akibat andil dua pihak (suami-istri),
besar-kecil atau benar-salah itu perspektif/subjektif. Hanya Tuhan Yang
Mahatahu, tentu akan mengazab yang sok benar!
Kemudian ‘nular’.
Ya, mata fisik-batin saya melihat bahwa perceraian itu menular ke sekitarnya.
Ada yang ‘lucu’, seharusnya yang cerai itu suami-istri depan rumah karena sering
terdengar cekcok malah ada ‘piring terbang’ segala, tapi yang cerai bapak-ibu
saya, maka suami-istri itu tidak jadi cerai, malah jadi keluarga harmonis.
Mari kita lihat lebih luas, bagaimana jika yang cerai itu
selebriti (artis atau tokoh), bagaimana dampaknya bagi perihidup bermasyarakat
kita?
Wawasan Kependudukan,
Anti-Korupsi, dan Bebas Narkoba
Dengan puisi itu, saya ingin mengatakan bahwa keluarga
bagian dari Tri Pusat Pendidikan, selain sekolah dan masyarakat. Keluarga-lah
sekolah pertama kita. Keluarga harmonis-lah yang akan melahirkan generasi
MANTAP!
Mengapa saya berkesimpulan demikian? Karena saya menyaksikan
keluarga-keluarga kawan, tetangga, bahkan keluarga selebriti yang harmonis. Ini
tentu subjektif. Tapi saya bisa buktikan dengan MAPAN-nya kehidupan keluarga
kawan, tetangga, atau selebriti itu.
Terjemah ‘mapan’ bukan melulu ekonomis atau materi. Mata
saya menyaksikan keluarga kawan atau tetangga yang rumahnya setengah tembok
atau hidup di gang yang kumuh, kehidupan keluarganya itu begitu damai,
tenteram, bahkan ceria.
Ini bukan roman yang indah; tetapi ini kehidupan yang nyata.
Generasi mantap atau kehidupan keluarga yang mapan adalah kasus manajemen
hidup. Bahasa agama menyebutnya ‘mensyukuri’ hidup. Jika kehidupan disyukuri,
nikmat kan bertambah; tetapi jika
lupa akan nikmat hidup, tentu akan selalu sengsara atau kurang, meski hidup di
dalam istana.
Ekses negatif dari kawin-cerai itu, baik secara langsung
maupun tidak langsung adalah ‘bonus’ demografi, perilaku korupsi, dan
mengkonsumsi narkoba. Untuk bonus demografi, yakni membludaknya usia kerja
sementara lapangan kerja sempit, saya miris: “Apa bedanya dengan marmot,
produsen anak, tapi tidak diciptakan menjadi pemimpin masa depan!”
Untuk perilaku korupsi, jika keluarga itu tidak mendidik
anak dengan IMAN, dengan sikap merasa cukup dengan apa yang dimiliki, maka anak
itu akan berperilaku korupsi. Perilaku korupsi ini saya identikkan dengan
kleptomania, bahkan lebih berbahaya karena lebih merugikan bangsa dan negara.
Maka saya usul: tangkap kekasih koruptor itu, pasti bernyanyi!
Serta karena keluarga tidak harmonis (broken home), maka anak akan mencari kompensasi; akan mencari
komunitas yang awalnya seperti siap menampung segala curhatnya; dan tak lama
mengkonsumsi narkoba karena komunitas itu pun
terbentuk atas nama kompensasi. Menurut BNN, 50 orang setiap hari mati
gara-gara mengkonsumsi narkoba. Mau hidup jadi sia-sia?
Mari Stop Perceraian … (Saya menyaksikan, sudah empat generasi yang
kawin-cerai di keluarga saya) … syukuri hidup dengan prestasi dan berbagi kasih
sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar