Balad OMO

Jumat, 08 Juli 2016

Menjadi Lebih Baik



Hikmah itu kebijaksanaan, kearifan, atau manfaat. Orang yang pengen ‘pintar’ instan menerjemahkan kearifan itu ‘kesaktian’. Kita mah pengen arif yang ‘abadi’. Kita maknai saja kearifan itu dengan ‘menjadi lebih baik’, yakni ‘hijrah’ dari keadaan yang buruk ke keadaan yang baik atau dari keadaan yang baik ke keadaan yang lebih baik. ‘Baik’ itu tentu sesuai doktrin atau konstitusi yang kita anut.

Apa Hikmah Berpuasa Selama Sebulan ini?
Mudah-mudahan kita semua mendapat kearifan atau manfaat yang baik, aamiin. Jika kita renungkan, tentu subjektif pengalaman spiritual yang kita dapat. Namun, secara umum, dengan berpuasa selama sebulan di Ramadan ini, kita harapkan mengubah kita ke arah yang lebih baik; menjadi manusia baik; menjadi manusia yang lebih baik. Manusia baik (saleh) itu yang menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Inilah ‘manusia takwa’ sebagai tujuan kita berpuasa (lihat QS 2: 183).

Ubah, mengubah, berubah, dan perubahan diri menjadi manusia yang lebih baik itu ternyata harus dilakukan oleh kita sendiri (lihat QS 13: 11). Mengapa Tuhan ‘biarkan’ kita melakukan perubahan sendiri, padahal kita ‘telah’ menjadi manusia takwa; beriman dan menjalankan perintah-Nya? Olala, karena kita diberi akal. Dengan akal inilah kita ‘dibiarkan’ Tuhan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Dengan akal ini pula, kita menjadi makhluk termulia di antara semua makhluk-Nya.

Ternyata pula, kita harus hati-hati, selalu mawas diri dan tahu diri karena dengan akal pula kita menjadi manusia fakir (patah arang, putus asa) atau sebaliknya menjadi manusia kafir (ingkar, membangkang)! Lho, kok bisa? Yo i-lah, jika kita lupa bersyukur; lupa ucap-bertindak ‘terima kasih’ kepada Tuhan yang telah memberi akal dan bla bla bla; maka menjadi si Saleh adalah sebuah pilihan; tidak fakir, apalagi kafir!
Saya pikir, semua pembaca yang budiman telah mafhum. Jadi, tulisan ini tak perlu berpanjang lebar berlogika-beretorika benar-indah … Justru saya terpesona oleh ‘puisi’ ini,

Hasrat untuk Berubah

Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal
Aku bermimpi ingin mengubah dunia
Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku
Kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah
Maka cita-cita itu pun agak kupersempit
Lalu kuputuskan hanya mengubah negeriku
Namun tampaknya hasrat itu pun tiada hasilnya
Ketika usiaku telah semakin senja
Dengan semangatku yang masih tersisa
Kuputuskan untuk mengubah keluargaku
Orang-orang yang paling dekat denganku
Tetapi celakanya mereka pun tak mau berubah
Dan kini, sementara aku terbaring saat azal menjelang
Tiba-tiba kusadari:
Andaikan yang pertama-tama aku ubah adalah diriku
Maka dengan menjadikan aku sebagai panutan
Mungkin akan mengubah keluargaku
Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka
Bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku
Kemudian siapa tahu aku bahkan bisa mengubah dunia...

(Puisi atau sajak tanpa nama penyair [anonim] dengan titimangsa tahun 1100 M ini tertulis di sebuah nisan, di pekuburan Westminster, Inggris; puisi ini pernah dipublikasi oleh Bapak Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, di Harian Kompas, Edisi: 13 Maret 2002).

Notabene
Tulisan ini, saya dedikasikan untuk diri-sendiri dan keluarga saya. Karena PERCUMA; jika tulisan ini bagus = bermanfaat, tapi diri dan keluarga saya tidak berubah ke arah yang lebih baik! Terima kasih, pembaca budiman; dan tentu, terima kasih, Tuhan.

Bandung, 2 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar