Hikmah itu kebijaksanaan, kearifan, atau manfaat. Orang yang
pengen ‘pintar’ instan menerjemahkan
kearifan itu ‘kesaktian’. Kita mah pengen
arif yang ‘abadi’. Kita maknai saja kearifan itu dengan ‘menjadi lebih baik’, yakni
‘hijrah’ dari keadaan yang buruk ke keadaan yang baik atau dari keadaan yang
baik ke keadaan yang lebih baik. ‘Baik’ itu tentu sesuai doktrin atau
konstitusi yang kita anut.
Apa Hikmah Berpuasa Selama
Sebulan ini?
Mudah-mudahan kita semua mendapat kearifan atau manfaat yang
baik, aamiin. Jika kita renungkan,
tentu subjektif pengalaman spiritual yang kita dapat. Namun, secara umum,
dengan berpuasa selama sebulan di Ramadan ini, kita harapkan mengubah kita ke
arah yang lebih baik; menjadi manusia baik; menjadi manusia yang lebih baik.
Manusia baik (saleh) itu yang menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Inilah ‘manusia takwa’ sebagai tujuan kita berpuasa (lihat QS 2:
183).
Ubah, mengubah, berubah, dan perubahan diri menjadi manusia yang lebih baik itu ternyata harus dilakukan oleh kita sendiri (lihat QS 13: 11). Mengapa Tuhan ‘biarkan’ kita melakukan perubahan sendiri, padahal kita ‘telah’ menjadi manusia takwa; beriman dan menjalankan perintah-Nya? Olala, karena kita diberi akal. Dengan akal inilah kita ‘dibiarkan’ Tuhan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Dengan akal ini pula, kita menjadi makhluk termulia di antara semua makhluk-Nya.
Ternyata pula, kita harus hati-hati, selalu mawas diri dan tahu diri karena dengan akal pula kita menjadi manusia fakir (patah arang, putus asa) atau sebaliknya menjadi manusia kafir (ingkar, membangkang)! Lho, kok bisa? Yo i-lah, jika kita lupa bersyukur; lupa ucap-bertindak ‘terima kasih’ kepada Tuhan yang telah memberi akal dan bla bla bla; maka menjadi si Saleh adalah sebuah pilihan; tidak fakir, apalagi kafir!
Saya pikir, semua pembaca yang budiman telah mafhum. Jadi,
tulisan ini tak perlu berpanjang lebar berlogika-beretorika benar-indah …
Justru saya terpesona oleh ‘puisi’ ini,
Hasrat untuk Berubah
Ketika aku masih muda dan
bebas berkhayal
Aku bermimpi ingin mengubah
dunia
Seiring dengan bertambahnya
usia dan kearifanku
Kudapati bahwa dunia tak
kunjung berubah
Maka cita-cita itu pun agak
kupersempit
Lalu kuputuskan hanya mengubah
negeriku
Namun tampaknya hasrat itu pun
tiada hasilnya
Ketika usiaku telah semakin
senja
Dengan semangatku yang masih
tersisa
Kuputuskan untuk mengubah
keluargaku
Orang-orang yang paling dekat
denganku
Tetapi celakanya mereka pun
tak mau berubah
Dan kini, sementara aku
terbaring saat azal menjelang
Tiba-tiba kusadari:
Andaikan yang pertama-tama aku
ubah adalah diriku
Maka dengan menjadikan aku
sebagai panutan
Mungkin akan mengubah
keluargaku
Lalu berkat inspirasi dan
dorongan mereka
Bisa jadi aku pun mampu memperbaiki
negeriku
Kemudian siapa tahu aku bahkan
bisa mengubah dunia...
(Puisi atau sajak tanpa nama
penyair [anonim] dengan titimangsa tahun 1100 M ini tertulis di sebuah nisan, di
pekuburan Westminster, Inggris; puisi ini pernah dipublikasi oleh Bapak Komaruddin
Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, di Harian Kompas, Edisi: 13 Maret 2002).
Notabene
Tulisan ini, saya dedikasikan untuk diri-sendiri dan
keluarga saya. Karena PERCUMA; jika tulisan ini bagus = bermanfaat, tapi diri
dan keluarga saya tidak berubah ke arah yang lebih baik! Terima kasih, pembaca
budiman; dan tentu, terima kasih, Tuhan.
Bandung, 2 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar