Balad OMO

Minggu, 01 Mei 2016

MEMBACA PUISI (POETRY READING)


Abstraction: "Reading" is to translate and interpret. The objective is memorized translate, interpret is understood. "Poetry" in keratabasa (Java) or kirata (Sunda) is pistil contains or message for the situation. Keywords: Everything written is poetry.


Rumah Puisi
Aku sederetan huruf berbaris seperti
tentara setia kepada satu kata gambarmu
tak perlu dioperasi plastik membungkusku
pengap di rumahku sendiri: kalian
bukan status tapi karya ada?
(aluzar@19980712)


Sederhanakan saja, ‘membaca’ adalah menerjemahkan dan memaknai. Tujuan menerjemahkan adalah hapal, memaknai adalah paham. ‘Puisi’ secara keratabasa (Jawa) atau kirata (Sunda) adalah putik berisi atau pesan untuk situasi.
Sedangkan definisi (terpaksa) ‘puisi’ adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik (bentuk penulisan) dan struktur batin (isi puisi).
Adapun ‘penyair’, menurut Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri (1993), ialah penjaga taman kata-kata dan pendamba kearifan.
Dengan demikian, pada struktur fisik itulah maksud penerjemahan, sedangkan pemaknaan pada struktur batin puisi termasuk implikasi penyairnya.

Menerjemahkan Puisi

Mursal Esten (1995) memberikan 10 (sepuluh) petunjuk dalam memahami puisi, yaitu: (1) perhatikanlah judulnya; (2) lihat kata-kata yang dominan; (3) selami makna konotatif bahasa puisi; (4) cari makna yang sesuai dengan struktur bahasa dalam larik atau bait puisi; (5) prosakanlah (parafrasakanlah) untuk menangkap pikiran (maksud) di dalam puisi.
Kemudian (6) usut siapa yang dimaksud kata ganti dan siapa yang mengucapkan kalimat; (7) temukan pertalian makna antara unit (larik dengan larik, bait dengan bait); (8) cari dan kejar makna yang tersembunyi dengan konsentrasi dan intensifikasi; (9) perhatikan corak sebuah sajak (mementingkan unsur formal atau puitis?); serta (10) hasil tafsiran harus berdasarkan teks dan harus bisa dikembalikan kepada teks yang menjadi sumber tafsiran (tunjukkan mana kata, larik, atau bait).
Dalam poetika (ilmu sastra), hanya ada satu istilah yaitu puisi. Istilah itu mencakup semua karya sastra, baik prosa maupun puisi. Puisi sebagai karya seni itu puitis. Kata puitis sudah mengandung nilai keindahan yang khusus untuk puisi, juga analog dengan etimologi sastra, yakni su berarti baik dan sastra berarti tulisan, maka arti puisi ekuivalen dengan sastra.
Penyebutan puisi (sajak, syair, suluk, mantra, pantun dsb) dimaksudkan sebagai pembeda dari prosa (esai, cerpen, novel, naskah drama dsb). Perbedaan pokok antara prosa dan puisi adalah: (1) kesatuan korespondensi prosa yang pokok ialah kesatuan sintaksis (kalimat), sedangkan kesatuan korespondensi puisi resminya kesatuan akustis (bunyi); (2) korespondensi puisi dari corak tertentu, yang terdiri dari kesatuan-kesatuan tertentu pula, meliputi seluruh puisi dari semula sampai akhir, kesatuan ini disebut baris sajak; dan (3) di dalam baris sajak ada periodisitas dari mula sampai akhir pula.

Memaknai Puisi

Menurut Maung Sastra Bandung Saini KM (1993), dalam peristiwa membaca itu telah melibatkan berbagai pihak, di antaranya apresiator (pembaca), kreator (penyair), dan kritikus (teoretisi).
Membaca puisi, selain membaca kata, tanda, atau simbol (semiotis), adalah melihat sebuah sikap dalam menentukan pilihan kebenaran. Hakikat kebenaran yang dicari itu direfleksikan kembali melalui medium bahasa (hermeneutis).
Sikap tersebut adalah ruang dalam (puitika) sang penyair yang bereferensi sosio-kultural. Jadi, ada wacana yang berbicara, merenung, dan bertamu lewat dialog kepenyairan seseorang.
Ruang puitika penyair itu dapat dimasuki melalui pintu, setidaknya dengan, ilmu pengetahuan, humanitas, dan religuisitas. Namun pintu-pintu ini mempunyai otoritas ambigu yang akan menghadirkan imajinasi-imajinasi yang mungkin tidak pernah terpikirkan. Tetapi, inilah imaji yang membebaskan yang dimiliki setiap puisi, sehingga setiap pembaca akan menemukan imaji yang berbeda satu sama lain.
Dengan demikian, proses awal memaknai puisi adalah memaknai diri kita (pembaca) secara esensial dan eksistensial. Misalnya, dengan pertanyaan seberapa dalam kita menyelami arti kehidupan, atau kenalkah kita kepada diri sendiri? Proses selanjutnya adalah empati terhadap religiusitas penyair sebagai titik tolak sekaligus titik akhir kreativitas berpuisinya.
Dari sana akan terkuak ‘filsafat segi tiga’, yakni penggambaran hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alamnya, yang berimplikasi pada tema: keimanan, kemanusiaan, dan kemodernan. Kedudukan Tuhan adalah sebagai sumber, manusia sebagai subjek dan objek kehidupan, dan alam sebagai susunan ruang gerak manusia yang ditata dalam suatu struktur pemikiran yang komprehensif.
Jadi, pemaknaan puisi itu semacam aplikasi ‘ideologi pembebasan’ manusia dari eksistensialisme, humanisme, dan fundamentalisme. Dengan kata lain, secara individu, berpuisi (sebagai pembaca, penyair, maupun kritikus) adalah memanusiakan manusia-nya kembali.
Adapun secara sosial, kriteria puisi harus memiliki segi profetis dalam arti tidak meramalkan peristiwa, melainkan membawa dan mengabarkan semangat zaman yang akan datang. Sebagaimana penyair itu sendiri yang harus memiliki sifat profetis (an-nubuwah atau jiwa kenabian untuk pemberdayaan umat).
Tercatat dalam sejarah, puisi “Hikayat Perang Sabi” karya Syekh Muhammad Pantai Hulu telah memompa semangat rakyat Aceh pimpinan Teuku Umar untuk memerangi kolonialisme Belanda selama 30 tahun. Pangeran Diponegoro juga menulis dan membacakan syair-syairnya di depan prajurit-prajurit sebelum bertempur melawan Belanda. Ini didokumentasikan Chairil Anwar (1943) dalam puisinya, “Diponegoro”: … Sekali berarti/ Sudah itu mati ….
“Puisi itu dulce et utile (indah dan berguna),” demikian Horace, penyair Romawi Kuno.

(Dihimpun dari berbagai sumber—aluzar@19980913).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar