Abstraction: "Reading" is to translate and interpret. The objective is memorized translate, interpret is understood. "Poetry" in keratabasa (Java) or kirata (Sunda) is pistil contains or message for the situation. Keywords: Everything written is poetry.
Rumah Puisi
Aku sederetan huruf berbaris seperti
tentara setia kepada satu kata gambarmu
tak perlu dioperasi plastik membungkusku
pengap di rumahku sendiri: kalian
bukan status tapi karya ada?
(aluzar@19980712)
Sederhanakan saja, ‘membaca’
adalah menerjemahkan dan memaknai. Tujuan menerjemahkan adalah hapal, memaknai
adalah paham. ‘Puisi’ secara keratabasa (Jawa)
atau kirata (Sunda) adalah putik
berisi atau pesan untuk situasi.
Sedangkan definisi (terpaksa) ‘puisi’ adalah bentuk karya sastra
yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun
dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian
struktur fisik (bentuk penulisan) dan struktur batin (isi puisi).
Adapun ‘penyair’,
menurut Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri (1993), ialah
penjaga taman kata-kata dan pendamba kearifan.
Dengan demikian, pada struktur fisik itulah maksud penerjemahan,
sedangkan pemaknaan pada struktur batin puisi termasuk implikasi penyairnya.
Menerjemahkan Puisi
Mursal Esten (1995) memberikan 10 (sepuluh)
petunjuk dalam memahami puisi, yaitu: (1) perhatikanlah judulnya; (2) lihat
kata-kata yang dominan; (3) selami makna konotatif bahasa puisi; (4) cari makna
yang sesuai dengan struktur bahasa dalam larik atau bait puisi; (5) prosakanlah
(parafrasakanlah) untuk menangkap pikiran (maksud) di dalam
puisi.
Kemudian (6) usut siapa yang dimaksud kata ganti dan siapa yang
mengucapkan kalimat; (7) temukan pertalian makna antara unit (larik dengan
larik, bait dengan bait); (8) cari dan kejar makna yang tersembunyi dengan
konsentrasi dan intensifikasi; (9) perhatikan corak sebuah sajak (mementingkan
unsur formal atau puitis?); serta (10) hasil tafsiran harus berdasarkan teks
dan harus bisa dikembalikan kepada teks yang menjadi sumber tafsiran (tunjukkan
mana kata, larik, atau bait).
Dalam poetika (ilmu sastra), hanya ada satu istilah yaitu puisi. Istilah
itu mencakup semua karya sastra, baik prosa maupun puisi. Puisi sebagai karya
seni itu puitis. Kata puitis sudah mengandung nilai keindahan yang khusus untuk
puisi, juga analog dengan etimologi sastra, yakni su berarti baik dan sastra
berarti tulisan, maka arti puisi ekuivalen dengan sastra.
Penyebutan puisi (sajak, syair, suluk, mantra, pantun dsb)
dimaksudkan sebagai pembeda dari prosa (esai, cerpen, novel, naskah drama dsb).
Perbedaan pokok antara prosa dan puisi adalah: (1) kesatuan korespondensi prosa
yang pokok ialah kesatuan sintaksis (kalimat), sedangkan kesatuan korespondensi
puisi resminya kesatuan akustis (bunyi); (2) korespondensi puisi dari corak
tertentu, yang terdiri dari kesatuan-kesatuan tertentu pula, meliputi seluruh
puisi dari semula sampai akhir, kesatuan ini disebut baris sajak; dan (3) di
dalam baris sajak ada periodisitas dari mula sampai akhir pula.
Memaknai Puisi
Menurut Maung Sastra Bandung Saini KM (1993), dalam peristiwa
membaca itu telah melibatkan berbagai pihak, di antaranya apresiator (pembaca),
kreator (penyair), dan kritikus (teoretisi).
Membaca puisi, selain membaca kata,
tanda, atau simbol (semiotis), adalah melihat sebuah sikap dalam menentukan
pilihan kebenaran. Hakikat kebenaran yang dicari itu direfleksikan kembali
melalui medium bahasa (hermeneutis).
Sikap tersebut adalah ruang dalam
(puitika) sang penyair yang bereferensi sosio-kultural. Jadi, ada wacana yang berbicara, merenung,
dan bertamu lewat dialog kepenyairan seseorang.
Ruang puitika penyair itu
dapat dimasuki melalui pintu, setidaknya dengan, ilmu pengetahuan, humanitas,
dan religuisitas. Namun pintu-pintu ini mempunyai otoritas ambigu yang akan
menghadirkan imajinasi-imajinasi yang mungkin tidak pernah terpikirkan. Tetapi,
inilah imaji yang membebaskan yang dimiliki setiap puisi, sehingga setiap
pembaca akan menemukan imaji yang berbeda satu sama lain.
Dengan demikian, proses awal
memaknai puisi adalah memaknai diri kita (pembaca) secara esensial dan
eksistensial. Misalnya, dengan pertanyaan seberapa dalam kita menyelami arti
kehidupan, atau kenalkah kita kepada diri sendiri? Proses selanjutnya adalah
empati terhadap religiusitas penyair sebagai titik tolak sekaligus titik akhir
kreativitas berpuisinya.
Dari sana akan terkuak ‘filsafat segi tiga’, yakni penggambaran
hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alamnya, yang berimplikasi
pada tema: keimanan, kemanusiaan, dan kemodernan. Kedudukan Tuhan adalah sebagai sumber, manusia
sebagai subjek dan objek kehidupan, dan alam sebagai susunan ruang gerak
manusia yang ditata dalam suatu struktur pemikiran yang komprehensif.
Jadi, pemaknaan puisi itu semacam aplikasi ‘ideologi pembebasan’
manusia dari eksistensialisme, humanisme, dan fundamentalisme. Dengan kata
lain, secara individu, berpuisi (sebagai pembaca, penyair, maupun kritikus)
adalah memanusiakan manusia-nya kembali.
Adapun secara sosial, kriteria puisi
harus memiliki segi profetis dalam arti tidak meramalkan peristiwa, melainkan
membawa dan mengabarkan semangat zaman yang akan datang. Sebagaimana penyair
itu sendiri yang harus memiliki sifat profetis (an-nubuwah atau jiwa kenabian untuk pemberdayaan umat).
Tercatat dalam sejarah, puisi
“Hikayat Perang Sabi” karya Syekh Muhammad Pantai Hulu telah memompa semangat
rakyat Aceh pimpinan Teuku Umar untuk memerangi kolonialisme Belanda selama 30
tahun. Pangeran Diponegoro juga menulis dan membacakan syair-syairnya di depan
prajurit-prajurit sebelum bertempur melawan Belanda. Ini didokumentasikan Chairil Anwar
(1943) dalam puisinya, “Diponegoro”: … Sekali
berarti/ Sudah itu mati ….
“Puisi itu dulce et utile
(indah dan berguna),” demikian Horace, penyair Romawi Kuno.
(Dihimpun dari berbagai sumber—aluzar@19980913).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar