Pertama, frasa ‘Bangunlah
Jiwanya, Bangunlah Badannya’ adalah penggalan lagu kebangsaan kita, “Indonesia
Raya” ciptaan WR Supratman. Frasa ini digemakan lagi oleh Jokowi-JK ketika
mereka ikutan pilpres 2014. Mereka menang dan jadi RI1 dan RI2. Saya diingatkan
kembali dan saya melihat, kok, ‘Bangunlah Badannya’ dulu ya? Sedangkan untuk
‘Bangunlah Jiwanya’, saya baru mendengar Rp 149 miliar; konon, untuk biaya
Revolusi Mental (RM). Sungguh anggaran belanja yang minim dari APBN dan mental
siapa ya yang harus direvolusi? RM ini dan Nawa Cita (lihat foto) menjadi visi
dan misi Jokowi-JK saat kampanye pilpres itu.
Kedua, ‘politik mercusuar’. Dulu, di zaman Bung Karno sebagai RI1, proyek masjid Istiqlal, Istora Senayan (Gelora Bung Karno), dan Monas dianggap proyek ‘tak tahu diri’, proyek ‘menara gading’, politik terang ke luar, gelap ke dalam …, meski Istiqlal, GBK dan Monas, kini, dianggap masterpiece, kebanggaan-identitas nasional. Sebagai warga Kota Bandung, saya menyaksikan Ridwan Kamil (Emil), Ahmad Heryawan (Aher), dan Joko Widodo (Jokowi) pun seperti ingin mengikuti jejak Bung Karno.
Ketiga, ‘devide et
impera’ adalah BJ (Bapak Jokowi) apabila berhasil ‘mengadu-domba’ kapitalis
junior (Rusia) dengan kapitalis senior (AS) soal membeli alat perang itu. Kalau
perlu, ‘obok-obok’ juga kelompok G7, BJ, karena ternyata imperialisme itu bukan
hanya bidang militer, ekonomi juga, dan kita adalah konsumen menggiurkan justru
harus kita manfaatkan; giliran kita yang harus jaim setelah dumping
segala produk SDA kita; setelah kurs kita ‘dijajah’ yang seharusnya kita usung
sebagai pelanggaran HAM karena mengapa ada 1 Euro dan mengapa si poundsterling itu
paling mahal? Jadi rindu BJ berpidato: “Amerika kita setrika, Inggris kita
linggis …!”
"Aku tidak menyuruh REVOLUSI; aku sekadar mengingatkan: Apakah pembangunan itu selalu meminta korban; menunggu korban dari KITA dulu ... berjatuhan, berguguran ...? Di era kini, lebih tepat jika maksud Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya diidentikkan dengan kata 'PEMBINAAN' daripada kata 'pembangunan'. Mungkin, lebih terdengar lembut, akrab, atau tidak arogan!"
Wah, lali (lupa) lagi pelajaran SD. Beginilah kalau tidak pernah
rangking dulu (cf. di Finlandia, tidak ada rangking karena semua murid adalah
rangking ke-1). Seingat saya, pernahlah rangking ke-7 dari 50 murid di kelas. Heuheu, rangking ke-7 memang tidak
otoritatif-representatif, tapi marilah bermimpi. Ya, dreamer ini mengajak bermimpi semoga bukan obsesi dan jadi
kenyataan. Kalau tak sekarang, kapan lagi? Atau smoga di zaman anak-cucu-lah
bangsa dan negeri kita bangkit dan maju, aamiin:
Aku Bermimpi, maka Terjadi
Aku
ingin bermimpi
Lahir
dan mati di negeri sendiri
Kehadiranku
diingini
Ketiadaanku
ditangisi
Lalu
aku hidup-menghidupi
Hidup
yang abadi
Di
jasmani, di rohani
Di
duniawi, di ukhrawi
Saling
menggenggam insani
Dalam
pelukan Ilahi
Sebagai
rakyat, aku sepakat
Kamu
aparat, aku berkhidmat
Sebagai
tuan, aku keramat
Kamu
komandan, aku taat
Masak
pelayan dilayani majikan!
Masih
bingung siapa pelayan/majikan?
Kong
Hu Cu yang ajarkan
Abdi
direkrut karena mampu dan ihsan
Pun
Umar bin Khathab amalkan
Boleh
nepotis, asal ada dua patokan
Di
bumi ini, kemampuan dan kebajikan
Adalah
jalan keabadian
Kata
kuncinya: kesempatan
Inilah
maksud rotasi bumi sebagai pelajaran
Keabadian
ekuivalen dengan bergiliran
Terus
berputar yang terjadi keausan
Bergantianlah,
maka peremajaan
Naif,
jika lo lagi lo lagi sebagai terjemahan
Karena
sejatinya kita ialah pelayan:
Abdullah
sebagai pelayan Tuhan dan
Khalifah
sebagai pelayan ciptaan Tuhan
Jangan
bangunkan aku, wahai pertiwi!
Mimpiku
ini smoga bukan obsesi
Duh
Gusti, bolehkah kita bernegosiasi:
Aku
bermimpi, maka terjadi?!
Bandung,
20160614, adzan maghrib
Cq. “Teach Me How To Dream” (lagu Robin McAuley) atau lanjutkan mimpiku ke tahun 2035, Tuhan, ke zaman robot melayani manusia sebagaimana film “I, Robot” (rilis: Juli 2004; aktor utama: Will Smith; penulis: Jeff Vintar ternyata diilhami karya Agatha Christie). Di tahun ini, anakku kan bersaing dengan robot di dunia kerja; atau semestinya: kegiatan anakku dilayani robot!
O,
terlalu mahal cipta dunia robot! OK, bikinlah software: program-program yang
mempermudah kegiatan Rakyat; mudah diakses; murah-meriah biaya dan waktu. Aku
akui, kini, telah dirintis seperti dengan Pelayanan Satu Atap. Maksudku, mari
minimalisasi pengeluaran biaya dan waktu tak produktif (konsumtif).
Rasionalisasi PNS/ASN terus dievaluasi. Nanti, tinggal segelintir; mending
anggaran belanja untuk Bangunlah Jiwanya (cipta Rakyat kreatif, Rakyat
profesional) kemudian Bangunlah Badannya (infrastruktur …) daripada anggaran
belanja dominan konsumtif untuk Pegawai …
Kantor2
itu, gedung2 itu, aset2 itu, serah-gilirkan ke Rakyat sebagai rumah kreasi,
modal produksi. Insya Allah, Rakyat dan negeri ini bangkit-maju … Mari
MUSYAWARAH lagi tuk membangun RI seperti tahun2 sebelum ada komputer atawa
hape—padahal gawai2 ini, seharusnya, lebih mempermudah tuk interaksi-komunikasi
antara atas-bawah; antara kanan-kiri!
Hadeuh
ada yang mengusik: Siapa pencipta akronim ‘pekat’ (penyakit masyarakat)?
Faktanya, yang ngefek nasional ialah pekat ‘sejati’ (penyakit aparat) karena
ter la lu: Sudah diberi fasilitas, tunjangan, bla bla bla, masih juga KORUPSI
terus pekat itu. Ya, nakal hasil korupsi! Perlukah didata di sini?
…
Masih
bingung juga siapa pelayan/majikan? Mari bertukar mimpi … Atau, mari kita
hilangkan dikotomi pelayan : majikan menjadi ‘rekanan’ … Tapi kayaknya, mimpi
kita jadi tak asyik ah … Nanti, saling ndak mau; saling ingin ini-ingin itu;
terutama Rakyat = orang kebanyakan jadi tak bisa bermimpi … Masih tega juga mau
merebut mimpinya? Tetaplah menjadi Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif –
jangan jadi THIEF; menjadilah pelayan Rakyat; tinggal melayani Rakyat; pasti,
Rakyat kan berkhidmat-taat kepada kalian! Percayalah … Terima kasih, tidak
bangunkan aku.
NB: #pns (baca: abdi Negara) itu yang digaji rakyat,
baik sipil (jalur karir atau politik), setengah sipil (bumn), militer, atau
setengah militer (polisi).
Silaturahmi itu Solusi
Ya, Kang Emil, Kang Aher, dan Mas
Jokowi, saya ingin bermimpi dan jangan dibangunkan ... (Addendum: ketua RT/RW,
sebagai ujung tombak kalian, jangan digaji karena jabatan RT/RW merupakan
jabatan sukarela dan penghormatan masyarakat setempat yang sudah saling kenal.
Namun ketua RT/RW mendapat fasilitas dan prioritas dari kegiatan/program
Pemerintah yang harus segera diterima warga seperti program diklat/workshop
atau modal usaha. Juga mohon disediakan media curhat karena banyak RT/RW nakal
seperti mendahulukan kepentingan keluarganya dan ‘bisnis’ jabatannya).
Selain perihidup berbangsa dan
bernegara seperti tercermin dalam puisi di atas, saya pun mencatat bahwa
perihidup bermasyarakat kita sungguh memprihatinkan. Topik tren negeri kita
perkosa-perkosaan, bunuh-pembunuhan … Wah, sungguh tren negeri yang mengerikan;
apakah sebentar lagi anak-anak kita ngikutin
tren anak-anak sekolah Amrik yang main senpi (senjata api) hingga puluhan nyawa
melayang dalam seketika? Na’uudzubillaahimindzaalik!
Ya, Kang Emil, Kang Aher, dan Mas
Jokowi, mari perankan posisi-fungsi masing-masing. Sebagai pemimpin saya, tentu
lebih mafhum: mengapa terjadi dan bagaimana solusinya?
Ini puisi bocoran, meski klise
untuk kalian:
Penyair ASEAN
penyair,
ya, bersyair
bermain
kata, semoga bermakna
petani
kata, penuai kata
tentu
kan diminta jawab
cepat
atawa lambat
penyair
membaca diri
penyair
membaca di luar diri
penyair
menulis diri
penyair
menulis di luar diri
apalah
penyair tanpa bacaan
apalah
penyair tanpa pembaca
apalah
penyair tanpa tulisan, bahan pembaca
apalah
penyair tanpa penulis, karya pembaca
(penyair
pun pembaca dan bukankah peristiwa
serta
tokoh berita itu sejatinya penulis?)
ya,
penyair sedang membaca karya pembaca
pembaca
tak usahlah menulis
karena
apalah arti penyair,
kecuali
ternyata, hehe
kita
sama-sama penyair, atau
memang
faktanya, kita semua ialah
penyair
di
sering hari, jangan bilang-bilang, ya
penyair
itu nyaru jadi batman
meski
bukan bill gates yang sumbang ayam
tuk
entaskan kemiskinan di afrika, tapi
layaknya
pengidap insomnia (baca:
jadwal
tidur berubah, siang jadi malam,
malam
jadi siang), penyair kan begadang
tuk
entaskan kemiskinan makna
hoho,
terserah jika tak terima seperti
cueknya
satpol pp razia warteg di siang ramadan,
pns di
mall di jam kerja, psk mahmud 4 anak,
atau
kecolongannya migrant care oleh polah darsem
dan
kita, pahlawan kesiangan ujug-ujug iuran
atas
nama kemanusiaan; aku membaca ada
kebohongan
plus kenaifan
jujurlah
pada diri dan keluargamu, tentu
kan
reuni; atau apa atuh fungsi rt, rw, kelurahan/
desa,
kecamatan, hingga kemensos …?
jika
kamu orang islam, diamlah di masjid
jika
lebih dari tiga hari tak ada yang menyapamu
ratakan
masjid itu, percuma!
ya,
aku membaca kamu berbohong karena kalau
kamu
jujur, semua menyayangimu, kita menyayangimu,
kita
satu darah!
lalu
mengapa jadi psk, mengapa tidak memberi
teladan
yang baik, mengapa melanggar hak
orang
lain, mengapa tidak bersyukur …
ya,
kita pun dibodohi oleh kenaifan
namun,
mari ambil hikmah: silaturahmi
ya,
silaturahmi kita sebagai satu keluarga, sebagai
saudara
seagama, sebagai bangsa setanah air
itu
masih jelek, sungguh jelek!
memang
orang kaya kan disebut kaya kalau
tidak
ada orang miskin?
memang
penyair kan dibilang penyair
kalau
tidak ada pembaca?
hm, silaturahmi-lah yang membuat kita abadi
monggo
jika diterjemahkan sebagai status quo
karena
tadi, tentu kan diminta jawab
cepat
atawa lambat
jangan
bilang-bilang juga, ya, penyair sering
nyambi
robinhood, meski bukan bangsawan
yang
itu atau seharusnya aparat-lah yang pantas jadi
robinhood
karena segala tahu siapa saja yang mangkir
ke
sidang tipikor, yang wanpretasi bayar pajak, yang
maladministrasi
melayani publik, yang mainin harga,
yang
pengen dapet untung sendiri, hingga mereka
pantas
dicuri lagi!
sedangkan
penyair hanya lucuti keangkuhannya,
preteli
kekhilafannya, dan hanya mencuri
kearifannya
meski secuil
o, ya,
apa kabar, nyamuk? sahabat kemalasan nan
setia
temani insomniaku
heuheu,
nyamuk #MEA @15 Juni:
#HariDemanBerdarahDengueASEAN
Bandung,
20160615, 21.50.
Ya, Kang Emil, Kang Aher, dan Mas
Jokowi, mari bersilaturahmi. Mohon maksimalkan gawai dan media sosial—tentu
jangan bilang-bilang di sini bahwa kalian suka nyaru jadi Batman atau nyambi
Robinhood …
SILATURAHMI itu SOLUSI
S
ambungkan
I
katan
L
idah,
A ksi,
dan
T ekad
KITA
U ntuk
R asa,
A kal, dan
H ati
M
anusia
I
ndonesia
S
emoga
O lah-
L aku
dan
U paya
KITA
S
esuai kehendak
I
lahi, amin.
Bandung,
20151105
Ya, Kang Emil, Kang Aher, dan Mas
Jokowi, mari bersilaturahmi; menjadi pionir-teladan merekatkan kembali tali-tali
keluarga, agama, serta satu bangsa dan satu tanah air. Saya meyakini dari
keluarga harmonislah yang akan mengutus duta-duta bangsa dan negara yang
beriman sekaligus kompeten.
Mengapa harus ‘berimana’ dulu?
Karena menurut pelajaran dari SD saya itu, kemerdekaan RI dinyatakan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan sudah jelas kok bahwa kemerdekaan, UUD, dan NKRI
disusun dengan dasar/sila yang pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa … (lihat
Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4). Jadi, kita harus beriman dulu, ber-Tuhan dulu,
sehingga kompetensi kita dibimbing-terbimbing Tuhan. Saya kira, kompetensi/aset
kita sebagai manusia tidak akan sewenang-wenang dan tidak akan menyeleweng,
jika dalam bimbingan Tuhan YME. Masak Tuhan tidak tahu siapa saja yang korup
atau masak Tuhan kan biarkan pemerkosa/pembunuh …?
Karena itu, Negara harus hadir
dalam membangun keluarga-keluarga harmonis, meski RI bukan teokrasi, tapi
disuruh konstitusi kok!. Keluarga pemimpin (aparat) harus memberi teladan yang
baik bagi keluarga-keluarga rakyat agar tidak terjadi gap, kecemburuan, atau pembangkangan. Maka saya pikir, Bangunlah
Jiwanya dulu, baru Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya!
NB: #core-nya, bagaimana
meyakinkan Rakyat bahwa ia dijamin oleh Negara sebagai warga Indonesia seperti
Negara kepada dirinya (= PNS: fasilitas, tunjangan, pensiun, bla bla bla) …?!
Atau mari lanjutkan mimpi lagi; mimpikan cita-cita
Negara, menurut Anies Baswedan, janji Negara: (1) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan (2) untuk
memajukan kesejahteraan umum, (3)
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial
(Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4).
Bandung,
20160616, 21.06.
Mantap
BalasHapus