Balad OMO

Jumat, 17 Juni 2016

Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya

Tulisan ini mencoba-ingat-angkat pelajaran yang didapat waktu saya SD, 32-38 tahun yang lalu.
Pertama, frasa ‘Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya’ adalah penggalan lagu kebangsaan kita, “Indonesia Raya” ciptaan WR Supratman. Frasa ini digemakan lagi oleh Jokowi-JK ketika mereka ikutan pilpres 2014. Mereka menang dan jadi RI1 dan RI2. Saya diingatkan kembali dan saya melihat, kok, ‘Bangunlah Badannya’ dulu ya? Sedangkan untuk ‘Bangunlah Jiwanya’, saya baru mendengar Rp 149 miliar; konon, untuk biaya Revolusi Mental (RM). Sungguh anggaran belanja yang minim dari APBN dan mental siapa ya yang harus direvolusi? RM ini dan Nawa Cita (lihat foto) menjadi visi dan misi Jokowi-JK saat kampanye pilpres itu.



















Kedua, ‘politik mercusuar’. Dulu, di zaman Bung Karno sebagai RI1, proyek masjid Istiqlal, Istora Senayan (Gelora Bung Karno), dan Monas dianggap proyek ‘tak tahu diri’, proyek ‘menara gading’, politik terang ke luar, gelap ke dalam …, meski Istiqlal, GBK dan Monas, kini, dianggap masterpiece, kebanggaan-identitas nasional. Sebagai warga Kota Bandung, saya menyaksikan Ridwan Kamil (Emil), Ahmad Heryawan (Aher), dan Joko Widodo (Jokowi) pun seperti ingin mengikuti jejak Bung Karno.

Ketiga, ‘devide et impera’ adalah BJ (Bapak Jokowi) apabila berhasil ‘mengadu-domba’ kapitalis junior (Rusia) dengan kapitalis senior (AS) soal membeli alat perang itu. Kalau perlu, ‘obok-obok’ juga kelompok G7, BJ, karena ternyata imperialisme itu bukan hanya bidang militer, ekonomi juga, dan kita adalah konsumen menggiurkan justru harus kita manfaatkan; giliran kita yang harus jaim setelah dumping segala produk SDA kita; setelah kurs kita ‘dijajah’ yang seharusnya kita usung sebagai pelanggaran HAM karena mengapa ada 1 Euro dan mengapa si poundsterling itu paling mahal? Jadi rindu BJ berpidato: “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis …!”

"Aku tidak menyuruh REVOLUSI; aku sekadar mengingatkan: Apakah pembangunan itu selalu meminta korban; menunggu korban dari KITA dulu ... berjatuhan, berguguran ...? Di era kini, lebih tepat jika maksud Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya diidentikkan dengan kata 'PEMBINAAN' daripada kata 'pembangunan'. Mungkin, lebih terdengar lembut, akrab, atau tidak arogan!"


Wah, lali (lupa) lagi pelajaran SD. Beginilah kalau tidak pernah rangking dulu (cf. di Finlandia, tidak ada rangking karena semua murid adalah rangking ke-1). Seingat saya, pernahlah rangking ke-7 dari 50 murid di kelas. Heuheu, rangking ke-7 memang tidak otoritatif-representatif, tapi marilah bermimpi. Ya, dreamer ini mengajak bermimpi semoga bukan obsesi dan jadi kenyataan. Kalau tak sekarang, kapan lagi? Atau smoga di zaman anak-cucu-lah bangsa dan negeri kita bangkit dan maju, aamiin:

Aku Bermimpi, maka Terjadi

Aku ingin bermimpi
Lahir dan mati di negeri sendiri
Kehadiranku diingini
Ketiadaanku ditangisi
Lalu aku hidup-menghidupi
Hidup yang abadi
Di jasmani, di rohani
Di duniawi, di ukhrawi
Saling menggenggam insani
Dalam pelukan Ilahi

Sebagai rakyat, aku sepakat
Kamu aparat, aku berkhidmat
Sebagai tuan, aku keramat
Kamu komandan, aku taat
Masak pelayan dilayani majikan!
Masih bingung siapa pelayan/majikan?

Kong Hu Cu yang ajarkan
Abdi direkrut karena mampu dan ihsan
Pun Umar bin Khathab amalkan
Boleh nepotis, asal ada dua patokan
Di bumi ini, kemampuan dan kebajikan
Adalah jalan keabadian
Kata kuncinya: kesempatan
Inilah maksud rotasi bumi sebagai pelajaran
Keabadian ekuivalen dengan bergiliran
Terus berputar yang terjadi keausan
Bergantianlah, maka peremajaan
Naif, jika lo lagi lo lagi sebagai terjemahan
Karena sejatinya kita ialah pelayan:
Abdullah sebagai pelayan Tuhan dan
Khalifah sebagai pelayan ciptaan Tuhan

Jangan bangunkan aku, wahai pertiwi!
Mimpiku ini smoga bukan obsesi
Duh Gusti, bolehkah kita bernegosiasi:
Aku bermimpi, maka terjadi?!

Bandung, 20160614, adzan maghrib




Cq. “Teach Me How To Dream” (lagu Robin McAuley) atau lanjutkan mimpiku ke tahun 2035, Tuhan, ke zaman robot melayani manusia sebagaimana film “I, Robot” (rilis: Juli 2004; aktor utama: Will Smith; penulis: Jeff Vintar ternyata diilhami karya Agatha Christie). Di tahun ini, anakku kan bersaing dengan robot di dunia kerja; atau semestinya: kegiatan anakku dilayani robot!
O, terlalu mahal cipta dunia robot! OK, bikinlah software: program-program yang mempermudah kegiatan Rakyat; mudah diakses; murah-meriah biaya dan waktu. Aku akui, kini, telah dirintis seperti dengan Pelayanan Satu Atap. Maksudku, mari minimalisasi pengeluaran biaya dan waktu tak produktif (konsumtif). Rasionalisasi PNS/ASN terus dievaluasi. Nanti, tinggal segelintir; mending anggaran belanja untuk Bangunlah Jiwanya (cipta Rakyat kreatif, Rakyat profesional) kemudian Bangunlah Badannya (infrastruktur …) daripada anggaran belanja dominan konsumtif untuk Pegawai …
Kantor2 itu, gedung2 itu, aset2 itu, serah-gilirkan ke Rakyat sebagai rumah kreasi, modal produksi. Insya Allah, Rakyat dan negeri ini bangkit-maju … Mari MUSYAWARAH lagi tuk membangun RI seperti tahun2 sebelum ada komputer atawa hape—padahal gawai2 ini, seharusnya, lebih mempermudah tuk interaksi-komunikasi antara atas-bawah; antara kanan-kiri!
Hadeuh ada yang mengusik: Siapa pencipta akronim ‘pekat’ (penyakit masyarakat)? Faktanya, yang ngefek nasional ialah pekat ‘sejati’ (penyakit aparat) karena ter la lu: Sudah diberi fasilitas, tunjangan, bla bla bla, masih juga KORUPSI terus pekat itu. Ya, nakal hasil korupsi! Perlukah didata di sini?
Masih bingung juga siapa pelayan/majikan? Mari bertukar mimpi … Atau, mari kita hilangkan dikotomi pelayan : majikan menjadi ‘rekanan’ … Tapi kayaknya, mimpi kita jadi tak asyik ah … Nanti, saling ndak mau; saling ingin ini-ingin itu; terutama Rakyat = orang kebanyakan jadi tak bisa bermimpi … Masih tega juga mau merebut mimpinya? Tetaplah menjadi Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif – jangan jadi THIEF; menjadilah pelayan Rakyat; tinggal melayani Rakyat; pasti, Rakyat kan berkhidmat-taat kepada kalian! Percayalah … Terima kasih, tidak bangunkan aku.

NB: #pns (baca: abdi Negara) itu yang digaji rakyat, baik sipil (jalur karir atau politik), setengah sipil (bumn), militer, atau setengah militer (polisi).
 

Silaturahmi itu Solusi
Ya, Kang Emil, Kang Aher, dan Mas Jokowi, saya ingin bermimpi dan jangan dibangunkan ... (Addendum: ketua RT/RW, sebagai ujung tombak kalian, jangan digaji karena jabatan RT/RW merupakan jabatan sukarela dan penghormatan masyarakat setempat yang sudah saling kenal. Namun ketua RT/RW mendapat fasilitas dan prioritas dari kegiatan/program Pemerintah yang harus segera diterima warga seperti program diklat/workshop atau modal usaha. Juga mohon disediakan media curhat karena banyak RT/RW nakal seperti mendahulukan kepentingan keluarganya dan ‘bisnis’ jabatannya).
Selain perihidup berbangsa dan bernegara seperti tercermin dalam puisi di atas, saya pun mencatat bahwa perihidup bermasyarakat kita sungguh memprihatinkan. Topik tren negeri kita perkosa-perkosaan, bunuh-pembunuhan … Wah, sungguh tren negeri yang mengerikan; apakah sebentar lagi anak-anak kita ngikutin tren anak-anak sekolah Amrik yang main senpi (senjata api) hingga puluhan nyawa melayang dalam seketika? Na’uudzubillaahimindzaalik!
Ya, Kang Emil, Kang Aher, dan Mas Jokowi, mari perankan posisi-fungsi masing-masing. Sebagai pemimpin saya, tentu lebih mafhum: mengapa terjadi dan bagaimana solusinya?
Ini puisi bocoran, meski klise untuk kalian:

Penyair ASEAN

penyair, ya, bersyair
bermain kata, semoga bermakna
petani kata, penuai kata
tentu kan diminta jawab
cepat atawa lambat

penyair membaca diri
penyair membaca di luar diri
penyair menulis diri
penyair menulis di luar diri
apalah penyair tanpa bacaan
apalah penyair tanpa pembaca
apalah penyair tanpa tulisan, bahan pembaca
apalah penyair tanpa penulis, karya pembaca
(penyair pun pembaca dan bukankah peristiwa
serta tokoh berita itu sejatinya penulis?)
ya, penyair sedang membaca karya pembaca
pembaca tak usahlah menulis
karena apalah arti penyair,
kecuali ternyata, hehe
kita sama-sama penyair, atau
memang faktanya, kita semua ialah
penyair

di sering hari, jangan bilang-bilang, ya
penyair itu nyaru jadi batman
meski bukan bill gates yang sumbang ayam
tuk entaskan kemiskinan di afrika, tapi
layaknya pengidap insomnia (baca:
jadwal tidur berubah, siang jadi malam,
malam jadi siang), penyair kan begadang
tuk entaskan kemiskinan makna
hoho, terserah jika tak terima seperti
cueknya satpol pp razia warteg di siang ramadan,
pns di mall di jam kerja, psk mahmud 4 anak,
atau kecolongannya migrant care oleh polah darsem
dan kita, pahlawan kesiangan ujug-ujug iuran
atas nama kemanusiaan; aku membaca ada
kebohongan plus kenaifan
jujurlah pada diri dan keluargamu, tentu
kan reuni; atau apa atuh fungsi rt, rw, kelurahan/
desa, kecamatan, hingga kemensos …?
jika kamu orang islam, diamlah di masjid
jika lebih dari tiga hari tak ada yang menyapamu
ratakan masjid itu, percuma!
ya, aku membaca kamu berbohong karena kalau
kamu jujur, semua menyayangimu, kita menyayangimu,
kita satu darah!
lalu mengapa jadi psk, mengapa tidak memberi
teladan yang baik, mengapa melanggar hak
orang lain, mengapa tidak bersyukur …
ya, kita pun dibodohi oleh kenaifan
namun, mari ambil hikmah: silaturahmi
ya, silaturahmi kita sebagai satu keluarga, sebagai
saudara seagama, sebagai bangsa setanah air
itu masih jelek, sungguh jelek!
memang orang kaya kan disebut kaya kalau
tidak ada orang miskin?
memang penyair kan dibilang penyair
kalau tidak ada pembaca?
hm,  silaturahmi-lah yang membuat kita abadi
monggo jika diterjemahkan sebagai status quo
karena tadi, tentu kan diminta jawab
cepat atawa lambat

jangan bilang-bilang juga, ya, penyair sering
nyambi robinhood, meski bukan bangsawan
yang itu atau seharusnya aparat-lah yang pantas jadi
robinhood karena segala tahu siapa saja yang mangkir
ke sidang tipikor, yang wanpretasi bayar pajak, yang
maladministrasi melayani publik, yang mainin harga,
yang pengen dapet untung sendiri, hingga mereka
pantas dicuri lagi!
sedangkan penyair hanya lucuti keangkuhannya,
preteli kekhilafannya, dan hanya mencuri
kearifannya meski secuil

o, ya, apa kabar, nyamuk? sahabat kemalasan nan
setia temani insomniaku

heuheu, nyamuk #MEA @15 Juni: #HariDemanBerdarahDengueASEAN

Bandung, 20160615, 21.50.

Ya, Kang Emil, Kang Aher, dan Mas Jokowi, mari bersilaturahmi. Mohon maksimalkan gawai dan media sosial—tentu jangan bilang-bilang di sini bahwa kalian suka nyaru jadi Batman atau nyambi Robinhood …

SILATURAHMI itu SOLUSI
S ambungkan
I katan
L idah,
A ksi, dan
T ekad KITA
U ntuk
R asa,
A kal, dan
H ati
M anusia
I ndonesia

S emoga
O lah-
L aku dan
U paya KITA
S esuai kehendak
I lahi, amin.

Bandung, 20151105

Ya, Kang Emil, Kang Aher, dan Mas Jokowi, mari bersilaturahmi; menjadi pionir-teladan merekatkan kembali tali-tali keluarga, agama, serta satu bangsa dan satu tanah air. Saya meyakini dari keluarga harmonislah yang akan mengutus duta-duta bangsa dan negara yang beriman sekaligus kompeten.
Mengapa harus ‘berimana’ dulu? Karena menurut pelajaran dari SD saya itu, kemerdekaan RI dinyatakan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan sudah jelas kok bahwa kemerdekaan, UUD, dan NKRI disusun dengan dasar/sila yang pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa … (lihat Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4). Jadi, kita harus beriman dulu, ber-Tuhan dulu, sehingga kompetensi kita dibimbing-terbimbing Tuhan. Saya kira, kompetensi/aset kita sebagai manusia tidak akan sewenang-wenang dan tidak akan menyeleweng, jika dalam bimbingan Tuhan YME. Masak Tuhan tidak tahu siapa saja yang korup atau masak Tuhan kan biarkan pemerkosa/pembunuh …?
Karena itu, Negara harus hadir dalam membangun keluarga-keluarga harmonis, meski RI bukan teokrasi, tapi disuruh konstitusi kok!. Keluarga pemimpin (aparat) harus memberi teladan yang baik bagi keluarga-keluarga rakyat agar tidak terjadi gap, kecemburuan, atau pembangkangan. Maka saya pikir, Bangunlah Jiwanya dulu, baru Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya!


NB: #core-nya, bagaimana meyakinkan Rakyat bahwa ia dijamin oleh Negara sebagai warga Indonesia seperti Negara kepada dirinya (= PNS: fasilitas, tunjangan, pensiun, bla bla bla) …?!
Atau mari lanjutkan mimpi lagi; mimpikan cita-cita Negara, menurut Anies Baswedan, janji Negara: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan (2) untuk memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4).
 




Terima kasih Kang Emil, Kang Aher, dan Mas Jokowi.

Bandung, 20160616, 21.06.

1 komentar: