Balad OMO

Sabtu, 09 Juli 2016

Semangat Gratisan



Mungkin, kronologi tulisan ini adalah semangat internet --> semangat online --> semangat berbagi --> semangat gratisan.

Di internet, apa yang tidak ada? Ya, kita tinggal ketikkan kata, frasa, kalimat, istilah, atau masalah apa yang ingin kita tahu; yang kita inginkan solusinya. Tunggu beberapa detik. Dapat! Kelar!

18 tahun yang lalu, saya menyebut HP (handphone) segede ulekan itu SEPERTI ‘lauh mahfud’ (kitab induk) karena dunia SEPERTI di satu genggaman dan -- seperti komputer -- one touch easy. Sekarang, ada smartphone bla bla bla. Candanya: sudah semakin pintar, semakin kecil-tipis, nanti telepon selular itu goib alias tinggal NIAT (telepati) saja.

Di sebuah film ‘scifi’ (science fiction), saya lupa judulnya, alien masuk ke sebuah ruangan. Tangannya seperti meraba-usap-dadah dinding di depannya. Mungkin, ruangan itu digital library of universe dengan sensor gerak atau koneksi dengan DNA-nya si alien. Hebatnya, ruangan segede WC umum di terminal-terminal bus KITA itu komplet, sehingga keluar dari ruangan itu, ia siap menyerang bumi karena ia sudah tahu tetek-bengek, remeh-temeh bumi kita!

Digital library of universe itu ‘internet’. Kini, kita lebih sering menyebutnya ‘online’ atau daring (dalam jaringan), antonimnya: luring, luar jaringan (offline).

Mengapa internet bisa jadi digital library of universe? Secara ringkas, kita jawab karena ‘semangat berbagi’.

Motivasi berbagi itu tentu beragam dan kita sering kecele. Beragam ini sama-lah dengan dikotomi: pra dan pascabayar pulsa HP -- memang orang terkaya di dunia ini ialah orang komunikasi (seperti orang Meksiko itu), apalagi di era informasi ini (Mr. Bill Gates)!

Ya, PAMRIH. Namun, kita juga bisa kok selisik yang gratis beneran dan menguntungkan kedua belah pihak (mutualisme-simbiosis). Sebutlah bisnis nirlaba atawa waralaba, memang masih terkesan pamrih. Dia bilang ‘gratis’, tapi kita kudu anu-anu; dia bilang ‘gratis’, tapi di awal sudah minta Rp 20 ribu, meski konon menghasilkan Rp jutaan. Juga bisnis ‘valas’ atau ‘sejenisnya’. Komentar saya: Kita mah Real Madrid, eh, realistis sajalah …!

‘Bisnis’ itu urusan barter-an. Sebutlah jual-beli, yakni ada yang ‘dijual’ ada yang ‘dibeli’, maka bisnis jual-beli itu adalah barteran antara penjual dengan pembeli, di mana penjual dapat pengganti dari apa yang dijualnya dan pembeli dapat pengganti dari apa yang dibelinya. Ini riil dan masalah apresiasi. Jika ini jadi polemik, silakan, tapi tidak akan saya layani. Karena saya bukan ahlinya. Saya sekadar ber-opini. Tentu opini yang hebat dari ahlinya. Saya akan belajar kepada ahlinya. Serta mohon diingat, dalam ‘opini’ itu ada istilah second opinion, third opinion, dan seterusnya biar ‘polemik’ itu konvergen alias akhir yang baik.

Atau LOMBA … Saya akan fokus kepada, misalnya, lomba menulis yang bener-bener GRATIS di awal, di tengah, dan di akhir BERHADIAH, hehe. Mengapa? Karena semangat berbagi dan mutualisme-simbiosis tadi (seperti saling meng-apresiasi; di mana penyelenggara butuh banyak peserta, sehingga pihak iklan banyak yang masuk dan mau jadi sponsornya untuk event itu atau untuk event berikutnya; di sisi lain, peserta pun butuh apresiasi karena dia telah mencurahkan apa yang dia tahu, bisa, punya bla bla bla untuk lomba yang diikutinya itu), KECUALI untuk ‘lomba’ filantropis (untuk ‘amal’ ini jangan disebut-sebut-lah); cukup ikuti, kirimkan, titik!

Ada lagi LOMBA KEBAJIKAN (lihat QS/Quran surat ke-2: 148 dan 5: 48). Lomba yang output-nya win win solution. Lomba yang tidak menelurkan ‘pemenang’ atau ‘pecundang’ karena semuanya pemenang; atau sebaliknya, semuanya pecundang, jika TIDAK ADA yang melakukan kebajikan itu; dan biasanya, yang sanggup lakukan ini ialah pewaris para Nabi alias ulama; ‘para ahli’ ini BUKAN saja ahli agama; meski sebaiknya, dia ahli karena diilhami agamanya … (lihat ‘upah’ Nabi dalam QS 42: 23).

Karena itu, karena saya orang Bandung, saya mengimbau kepada Bapak Jokowi hingga Kang Ridwan Kamil, MOHON DIGRATISKAN untuk internet-an, minimal ada satu PC atau laptop untuk tiap desa atau kelurahan. Warga yang akan pakai dijatah per 5 atau 10 menit, cukup untuk buka, cek, atau kirim email atau status di FB (Facebook).

Mengapa gratis-isasi harus (kudu) ada di tiap desa atau kelurahan? Karena ini era informasi dan informasi hak asasi semua warga. Mudah-mudahan dapat mempersempit gap pembangunan antara desa dengan kota. Memang kudu diantisipasi jika ada culture shock di pelosok desa (misalnya dengan mengadakan dulu workshop aplikasi gawai IT beserta efek positif-negatif dunia maya); dan saya berbaik sangka, pembangunan itu butuh juga revolusi, bukan melulu evolusi.

Semangat gratisan ini diusulkan karena concern (perhatian sekaligus keprihatinan) saya dengan ‘oknum’ adagium: “Uang bisa beli segalanya!” Padahal yang benar: UANG BISA BELI APA SAJA, TAPI TIDAK SEGALANYA (money can buy anything, but not everything); dan dengan semangat gratisan, seperti silaturahmi di dunia maya, ini adalah SOLUSI bagi perihidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kita mulai lomba kebajikan ini, misalnya, dengan menulis. Ya, dengan semangat berbagi tulisan, meski diapresiasi ‘gratis’, tapi lihat efeknya sebentar lagi, BroBray. Trust me!

(Dan bukan) mungkin, kronologi paling awal tulisan ini adalah karena awalnya pun semua SERBA-GRATIS dari Tuhan.

Bandung, 20160428, 19.39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar