Mungkin, kronologi tulisan ini adalah semangat internet
--> semangat online --> semangat berbagi --> semangat
gratisan.
Di internet, apa yang tidak ada? Ya, kita tinggal
ketikkan kata, frasa, kalimat, istilah, atau masalah apa yang ingin kita tahu;
yang kita inginkan solusinya. Tunggu beberapa detik. Dapat! Kelar!
18 tahun yang lalu, saya menyebut HP (handphone)
segede ulekan itu SEPERTI ‘lauh mahfud’ (kitab induk) karena
dunia SEPERTI di satu genggaman dan -- seperti komputer -- one touch easy.
Sekarang, ada smartphone bla bla bla. Candanya: sudah semakin pintar,
semakin kecil-tipis, nanti telepon selular itu goib alias tinggal NIAT
(telepati) saja.
Di sebuah film ‘scifi’ (science fiction),
saya lupa judulnya, alien masuk ke sebuah ruangan. Tangannya seperti
meraba-usap-dadah dinding di depannya. Mungkin, ruangan itu digital library
of universe dengan sensor gerak atau koneksi dengan DNA-nya si alien.
Hebatnya, ruangan segede WC umum di terminal-terminal bus KITA itu komplet,
sehingga keluar dari ruangan itu, ia siap menyerang bumi karena ia sudah tahu tetek-bengek,
remeh-temeh bumi kita!
Digital library of universe itu ‘internet’.
Kini, kita lebih sering menyebutnya ‘online’ atau daring (dalam
jaringan), antonimnya: luring, luar jaringan (offline).
Mengapa internet bisa jadi digital library of
universe? Secara ringkas, kita jawab karena ‘semangat berbagi’.
Motivasi berbagi itu tentu beragam dan kita sering
kecele. Beragam ini sama-lah dengan dikotomi: pra dan pascabayar pulsa HP
-- memang orang terkaya di dunia ini ialah orang komunikasi (seperti orang
Meksiko itu), apalagi di era informasi ini (Mr. Bill Gates)!
Ya, PAMRIH. Namun, kita juga bisa kok selisik yang gratis beneran dan menguntungkan kedua
belah pihak (mutualisme-simbiosis). Sebutlah bisnis nirlaba atawa waralaba, memang masih terkesan
pamrih. Dia bilang ‘gratis’, tapi kita kudu anu-anu; dia bilang
‘gratis’, tapi di awal sudah minta Rp 20 ribu, meski konon menghasilkan Rp
jutaan. Juga bisnis ‘valas’ atau ‘sejenisnya’. Komentar saya: Kita mah
Real Madrid, eh, realistis sajalah …!
‘Bisnis’ itu urusan barter-an. Sebutlah jual-beli, yakni
ada yang ‘dijual’ ada yang ‘dibeli’, maka bisnis jual-beli itu adalah barteran
antara penjual dengan pembeli, di mana penjual dapat pengganti dari apa yang
dijualnya dan pembeli dapat pengganti dari apa yang dibelinya. Ini riil dan
masalah apresiasi. Jika ini jadi polemik, silakan, tapi tidak akan saya layani.
Karena saya bukan ahlinya. Saya sekadar ber-opini. Tentu opini yang hebat dari
ahlinya. Saya akan belajar kepada ahlinya. Serta mohon diingat, dalam ‘opini’
itu ada istilah second opinion, third opinion, dan seterusnya
biar ‘polemik’ itu konvergen alias akhir yang baik.
Atau LOMBA … Saya akan fokus kepada, misalnya, lomba
menulis yang bener-bener GRATIS di awal, di tengah, dan di akhir
BERHADIAH, hehe. Mengapa? Karena semangat berbagi dan
mutualisme-simbiosis tadi (seperti saling meng-apresiasi; di mana penyelenggara
butuh banyak peserta, sehingga pihak iklan banyak yang masuk dan mau jadi
sponsornya untuk event itu atau untuk event berikutnya; di
sisi lain, peserta pun butuh apresiasi karena dia telah mencurahkan apa yang
dia tahu, bisa, punya bla bla bla untuk lomba yang diikutinya itu),
KECUALI untuk ‘lomba’ filantropis (untuk ‘amal’ ini jangan disebut-sebut-lah);
cukup ikuti, kirimkan, titik!
Ada lagi LOMBA KEBAJIKAN (lihat QS/Quran surat ke-2: 148
dan 5: 48). Lomba yang output-nya win win solution. Lomba
yang tidak menelurkan ‘pemenang’ atau ‘pecundang’ karena semuanya pemenang;
atau sebaliknya, semuanya pecundang, jika TIDAK ADA yang melakukan kebajikan
itu; dan biasanya, yang sanggup lakukan ini ialah pewaris para Nabi alias
ulama; ‘para ahli’ ini BUKAN saja ahli agama; meski sebaiknya, dia ahli karena
diilhami agamanya … (lihat ‘upah’ Nabi dalam QS 42: 23).
Karena itu, karena saya orang Bandung, saya mengimbau
kepada Bapak Jokowi hingga Kang Ridwan Kamil, MOHON DIGRATISKAN untuk
internet-an, minimal ada satu PC atau laptop untuk tiap desa
atau kelurahan. Warga yang akan pakai dijatah per 5 atau 10 menit, cukup untuk
buka, cek, atau kirim email atau status di FB (Facebook).
Mengapa gratis-isasi harus (kudu) ada di tiap desa atau
kelurahan? Karena ini era informasi dan informasi hak asasi semua warga.
Mudah-mudahan dapat mempersempit gap pembangunan antara desa dengan
kota. Memang kudu diantisipasi jika ada culture shock di
pelosok desa (misalnya dengan mengadakan dulu workshop aplikasi gawai IT
beserta efek positif-negatif dunia maya); dan saya berbaik sangka, pembangunan
itu butuh juga revolusi, bukan melulu evolusi.
Semangat gratisan ini diusulkan karena concern
(perhatian sekaligus keprihatinan) saya dengan ‘oknum’ adagium: “Uang bisa beli
segalanya!” Padahal yang benar: UANG BISA BELI APA SAJA, TAPI TIDAK SEGALANYA (money
can buy anything, but not everything); dan dengan semangat gratisan,
seperti silaturahmi di dunia maya, ini adalah SOLUSI bagi perihidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kita mulai lomba kebajikan ini,
misalnya, dengan menulis. Ya, dengan semangat berbagi tulisan, meski
diapresiasi ‘gratis’, tapi lihat efeknya sebentar lagi, BroBray. Trust me!
(Dan bukan) mungkin, kronologi paling awal tulisan ini
adalah karena awalnya pun semua SERBA-GRATIS dari Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar