Mohon Maaf, Ketinggalan Berita
Kemarin-kemarin, saya fokus ke soal korupsi, narkoba (termasuk rokok dan miras), LGBT, tato, cerai-perceraian, dan Hardiknas; bahkan gara-gara Dul bin Dhani cilaka sejak 2013 di tol itu, tulisan saya soal kewajiban ayah belum kelar -- menurut saya, tema atau topik tulisan yang saya garap kemarin itu adalah masalah tren yang seperti ‘mau’ diabaikan … Namun ketika browse soal #trending_topic, saya memohon maaf dan mari: ISTIRJA’ (innaa lillaahi wa innaa ilaihii raaji’uun), ISTIGHFAR (astaghfirullaahal’azhiim), …
Ini negeri KITA; negeri mayoritas muslim terbesar di dunia; negeri yang warganya dianggap ‘beragama’ meski bukan teokrasi; negeri yang Sila Pertama dari falsafahnya, PANCASILA, Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa; negeri yang dikenal penduduknya ramah oleh dunia; juga negeri Bhinneka Tunggal Ika.
Tapi tren negeri ini adalah tren ngeri. Ya, bunuh, membunuh, dan pembunuhan -- apakah kita ingin meng-iya-kan bahwa kita keturunan Qabil? Sebutlah polah teroris; sebutlah gara-gara ‘kopi’; dan yang abadi adalah gara-gara uang alias ‘UUD’ (ujung-ujungnya duit)!
Di tahun 2015, heboh di negeri ini, sedikitnya ada enam peristiwa yang disorot dunia, salah satunya adalah kasus tragedi kematian bocah Angeline di Bali (lihat: http://news.liputan6.com/read/2396610/6-peristiwa-heboh-tanah-air-yang-mendunia-tahun-2015).
Di sepertiga tahun 2016 ini, bertepatan dengan menyambut, mengisi, dan mengenang Hardiknas (Hari Pendidikan Nasional), kita dihebohkan dengan peristiwa tragis plus ironis. Tragis karena korban (#yuyun) ialah anak-anak atau ABG. Ironis karena pelaku adalah ABG. Batas usia ‘anak-anak’ itu di bawah 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (lihat UURI No. 35/2014 tentang Perubahan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1, nomor 1). Juga miris dengan kasus mahasiswa bunuh dosen gara-gara cekcok soal ‘skripsi’ (baca: momok mahasiswa tingkat akhir S1; lihat, misalnya: http://sumut.pojoksatu.id/2016/05/02/dosen-umsu-tewas-digorok-mahasiswa-diduga-terkait-skripsi/).
TRAGIS dan kita geram, marah, bukan apalagi jika korban itu orang terdekat kita. Kita MARAH karena membunuh 1 (satu) anggota kita; membunuh 1 warga Indonesia berarti membunuh seluruh warga Indonesia (lihat QS 5: 32). KITA takkan diam!
IRONIS karena pelaku itu ialah anak-anak kita. Seharusnya orangtua atau wali anak pelaku-lah yang menanggung sanksi pidana; BUKAN sekadar mewakili anak pelaku di ruang sidang pengadilan; BUKAN sekadar meminta maaf ke khalayak. AYAH harus bertanggung jawab!
UU kita bukan doktrin mutlak, sehingga multi-tafsir, mudah diutak-atik terutama oleh yang punya duit dan bisa nyewa pengacara; hatta UUD 1945 pun.
Perhatikan UURI No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1, nomor 6, ‘keadilan restoratif’ adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan; kemudian nomor 7, ‘diversi’ adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Perhatikan juga UURI No. 35/2014 tentang Perubahan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, Penjelasan, I. Umum, alinea ke-7 (terakhir), “Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap Anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.”
Pertanyaan besar: bukan pembalasan; berat sanksi pidana, benar kalau berat denda buat yang berduit, dan efek jera; di mana-ke mana ‘rasa’ keadilan; atau bagaimana menghadapi 'sistem' hukum kita yang ‘melihat’ ini?
Ini kewajiban ayah! ‘Ayah’ berargumen, “Ini tanggung jawab Tripusat Pendidikan!” Benar! Karena, ibu, menurut syair Arab, ialah sekolah pertama anak; ayah, menurut doktrin Islam dan doktrin negeri ini, ialah imam/kepala keluarga; dan lingkungan pergaulan/pendidikan anak bukan sekadar rumah, tapi sekolah dan masyarakat. Jadi?
Blame it Yourself!
Ya, salahkan kamu sendiri; salahkan diri-sendiri; salahkan sendiri; ‘aku yang salah’ adalah solusi perihidup bermasyarakat, berbangsa, sekaligus bernegara! Mengapa dan dari mana idenya?
Idenya dari muslim pertama plus utama, Nabi Muhammad SAW, ketika beliau berdakwah ke Thaif pada tahun 691 Masehi. Penduduk Thaif tidak suka, malah mengusir dan lempari batu, sehingga beliau berdarah-darah … Satu saja malaikat diizinkan oleh beliau, penduduk Thaif itu bisa ditungkup gunung. Justru beliau ‘menyalahkan diri-sendiri’, “Risalahku belum sampai …” Kekasih Tuhan ini malah berdoa kebaikan untuk Thaif (Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hlm. 148-149; atau silakan googling: ‘doa thaif’; versi doa lain, dalam Ensiklopedi Mini Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 36-38, “Allahummahdi qaumii fainnahum laa ya’lamuun” (Ya Allah, beri petunjuk kaumku karena mereka tidak tahu). Kekasih Tuhan ini juga sering berdoa, “Allahumma salimna ummatii” (Ya Allah, selamatkan umatku; lihat: http://www.eramuslim.com/oase-iman/tangisan-sang-nabi.htm). Karena ingin bersama lagi di surga, amin.
Habis perkara? Belum! Anies Baswedan-lah yang ngomong di tahun 2013, dia yang kini Mendikbud ini menafsirkan alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 bukan sebuah cita-cita, melainkan sebuah janji yang harus dilunasi. “Janji itu adalah (1) melindungi, (2) menyejahterakan, (3) mencerdaskan, dan (4) membuat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya. Dia menilai janji-janji tersebut harus dilunasi oleh seluruh warga negara, termasuk dirinya (lihat tempo.co, 27 Agustus 2013, “Alasan Anies Baswedan Ikut Konvensi Demokrat” atau id.wikipedia, “Anies Baswedan”).
Masalah selesai? Belum! Karena kita semakin seperti di film-film kekerasan, malah kita ingin menyelesaikan masalah secara ‘duel’ seperti di film-film koboy; kita pun semakin seperti Amerika Serikat -- konon, sebuah negara adidaya -- yang seharusnya kita ‘sikat’, eh, kita malah terpikat!
Saudaraku, saudara sebangsa dan setanah-air, ‘ramah’ adalah trademark kita oleh dunia, apakah keramahan kita ini ‘dimanfaatkan’ oknum-oknum pribumi dan asing, sehingga begitu permisif-masif menghegemoni; kita itu orang Timur; kita itu penghuni ‘morgelande’ (pesona Timur sebagi pusat rohani), sehingga selalu dicemburui plus diminati oleh penyembah ‘Triple F’ (food, fun, and fashion) beserta turunannya. Jika dulu, kita dijajah dominan fisik, maka sesungguhnya kini, kita dijajah psikis; otak kita pun dicuci; bukan anak-cucu kita saja karena boleh jadi kita pun ialah ‘ploduk-ploduk’ hedonisme, kapitalisme, bahkan posmodernisme dan kita ikut andil di dalamnya; ikut membidani kelahirannya. Saudaraku, mari saling ingatkan: ada maksud Tuhan yang belum kita pahami; mengapa tren di negeri ini, tren ngeri-mengerikan? Saya mengajak diri-sendiri untuk memahami bahwa sanksi di dunia atau balasan di dunia adalah kasih sayang Tuhan (Karena kalau disanksi di akhirat, itu adalah azab Tuhan yang tidak bisa di-UNDO; tidak bisa kita perbaiki lagi). Ya, mumpung di dunia, … mumpung masih diberi waktu … “Ayo aku, menjadilah teladan yang baik (uswah hasanah) dan penebar kasih sayang bagi alam semesta (rahmatan lil’aalamiin)!” Amin.
Mohon maaf dan terima kasih.
Untuk Yuyun dan Ibu Dosen Nurain Lubis, allaahummaghfirlahuma
warhamhuma wa’aafihima wa’fu’anhuma, amin.
#NYALAUNTUKYUYUN … #tren_negeri_tren_ngeri … @renungan_hardiknas
@5_Mei_Hari_Lembaga_Sosial_Desa
dan @5_Mei_Hari_Bidan_Nasional
Sumber foto: google/peta Indonesia
(saya modif dg tambahan "Indonesia berduka ...").
Tidak ada komentar:
Posting Komentar