Balad OMO

Sabtu, 09 Juli 2016

Buat Apa Umroh?















Saya ingin fair (adil), maka sekadar bertanya dengan tiga kata itu -- sudah satu hari lebih alias 24 jam lebih disematkan di sebuah grup FB -- dan tentu ingin mendapat jawaban. Karena tidak ada yang menjawab, maka saya menyimpulkan bahwa jawaban dari pertanyaan saya tersebut adalah GUNA umroh itu masalah self-epxlanatory. Untuk self-answer ini, saya berbahagia sekaligus berbaik sangka bahwa kita sepaham alias sependapat perihal manfaat umroh.

Mari kita lanjutkan frasa tanya itu menjadi kalimat tanya berikut: “Buat apa UMROH, jika tidak punya uang atau jika tidak punya waktu?”

Pertanyaan tersebut diilhami kasus dari dua orang terdekat saya. Sebutlah ‘Bahenol’ yang tidak punya uang dan ‘Nerkom’ yang tidak punya waktu, tapi keukeuh (ngotot) ingin umroh.

Ini serius karena umroh -- disebut juga ‘haji kecil’ -- masalah serius, bukan hanya ‘kerja’ fisik dan materi!

Untuk umroh, konon, Bahenol butuh Rp 20 juta saja. Sejak uras-urus paspor, ‘hebat’-nya, sejak itu pula Bahenol pinjam uang dengan pontang-panting ke kanan-ke kiri (dan entah ke mana lagi). Paspor beres. Terus? “Siapa ya yang punya duit 18 juta?” (Ini pertanyaan atau pengumuman, oi! Hihi, jadi teringat obsesi ‘somebody’  yang pengen punya mobil, dia beli sarung tangan dulu, eh, kacamata dulu).

Sedangkan Nerkom, ketika dapat lotre dari koperasi instansinya untuk umroh, statusnya ialah mahasiswa pascasarjana. Tentu bentrok jadwal. Terbukti hampir empat tahun ini, dia belum beres kuliah S2 dan terancam di-DO. Olala, dia pun tidak punya uang untuk beres-beres kuliah. Lho, kok, umroh? Padahal lotre umroh seharga Rp 21 juta itu boleh dicairkan, sehingga mending buat beres-beres kuliah dan kuliah itu waktunya kan dijatah; sedangkan untuk umroh, kapan saja bisa, beda dengan haji; meski siapa yang tahu: kapan umur kita habis!

Kasus Nerkom, bisa jadi diperparah oleh ke-tidak-profesional-an penyelenggara travel umroh. Sejak bayar “Umrah Desember 2014” Rp 19 juta, nota tertanggal 4 Oktober 2014 -- lumayan tuh ‘bunga’ bank -- Nerkom akhirnya umroh dan PP tanggal 14-22 Januari 2015 … Ternyata biaya membengkak kak kak kak … Jadi, total biaya umroh melalui travel ‘abal-abal’ semacam ini kudu punya uang minimal Rp 25 juta dan pulang tidak bawa oleh-oleh!

Mengapa Bahenol dan Nerkom keukeuh ingin umroh padahal mereka jelas tidak punya uang dan tidak punya waktu? Apakah mereka kena imbas tren ‘ziarah religi’, ‘ziarah rohani’, atawa ‘wisata religi’? Apakah mereka kena sindrom ‘H. Muhidin’, tokoh antagonis, yang naik haji tiga kali karena ingin ‘mengalahkan’ tukang bubur? Apakah mereka juga ingin ‘berdoa’ ke tempat-tempat yang makbul dan mustajab atas nama hablumminal-Laah (hubungan dengan Tuhan) padahal kepergiannya karena kompensasi dari kasus hablumminannaas (hubungan dengan sesama manusia)? Apakah mereka lupa bahwa gelar ‘haji’ pemberian penjajah Belanda karena asumsi yang keluar negeri ialah orang ngerti bahwa negerinya dijajah, maka harus ditandai dan dilokalisasi (di Banten)? … Tentu, Bahenol-Nerkom punya argumen yang ‘kuat’ serta tentu hanya mereka dan Tuhan yang tahu perihal niat-nya, perihal ‘gerak hati’-nya kenapa harus umroh. Tetapi bagi kita yang menyaksikan, bagi kita yang dimintai pendapat, keukeuh umroh mereka itu aksi blunder (kesalahan besar, kesalahan berkelindan, atau kesalahan membelit).

Mengapa? Mengapa kepo? Mana buktinya? Tak percaya ah … Yang bisa menjawab rentetan pertanyaan ini tentu hanya mereka alias jawaban self-epxlanatory. Bagi kita, kalau kita kepo, tinggal menunggu waktu; jika Bahenol jadi berangkat umroh dan sekembalinya, apa yang terjadi? Apakah Bahenol ini jilid dua-nya ‘H. Mansur’ (Haji Halaman Tergusur yang ekuivalen dengan menggadaikan surat rumah, tanah, atau mobilnya)? Tentu harus ditebus. Sedangkan bagi Nerkom, kita tunggu apakah tahun ini (baca: bulan ini) dia bisa beres kuliah S2 karena kalau tidak di-DO oleh kampusnya?

(Sesungguhnya) bagi kita, hikmah apa yang bisa dipetik dari kasus Bahenol-Nerkom? (Bocoran: Ini semacam kasus kuratif [pengobatan]  untuk mengatasi dua atau lebih masalah. Ya, kasus skala prioritas pilihan, yakni mana yang akan kita atasi, mana yang akan kita hadapi dulu? Konon, masalah ‘mendesak-penting’ adalah masalah yang harus kita atasi/hadapi dulu daripada masalah ‘penting-mendesak’. Saya percaya ‘konon’ ini).

(Dan) hikmah atawa jawabannya adalah saya berbaik sangka lagi bahwa kita t’lah tahu apa, bagaimana, dan mengapa umroh.

NB (notabene):
- Mungkin, umroh dan apalagi haji itu ‘panggilan’ Ilahi. Kita sudah dipanggil sejak masa primordial. Mungkin lagi, kita tidak mau dengar atau pura-pura tidak dengar seperti ketika mendengar ADZAN (panggilan, ajakan) tuk shalat (salat), padahal SHALAT hanya ‘kerja’ fisik. Memang, ‘kerja’ untuk Tuhan (baca: sesungguhnya untuk kepentingan kita sendiri) itu membutuhkan ‘kepasrahan’ total; bukti kesungguhan bahwa kita hamba-Nya, bahwa kita membutuhkan-Nya, bahwa kita mencintai-Nya, … serta pasti ada blessing in disguised (rahmat yang tersamar = hikmah yang belum kita tahu)  awalnya, karena mengapa ada buku 99 Cara Naik Haji Gratis dan mengapa ada kawan-kawan yang bisa umroh GRATIS, malah punya usaha travel umroh tanpa modal kini?
- Nerkom memberi selembar One Riyal bertahun 2007, … “Kunjungkan = haji-umrahkan hamba, Tuhan, amin.”

Bandung, 20160501, 02.10.

Sumber foto: google/masjid sunrise

Tidak ada komentar:

Posting Komentar