Balad OMO

Sabtu, 09 Juli 2016

Wow, Jika Transparan …

Kalau sudah pensiun baru berkicau itu tak asyik
Bisa dibilang barisan sakit hati
Kalau berkicau saat menjabat
Berkata apa adanya
Membuka tabir kebejatan
Itu hebat, itu obat
Namun tabu karena kotak pandora
Senyap
Ini rahasia negara
Sunyi
Demi keamanan negara
Sepi
Demi keutuhan bangsa
Kelu
Sungguh malang pejabat
Samar obat : racun
Singga
Badan memikul
Benak menanggung
Beku terbujur
Ya, rahasia adalah beban hidup

Bukalah mulut kamu
Lantangkan saja suaramu
Bebaskan jiwa kamu
Tidak apa-apa dianggap gila
Daripada tak bisa …
Tertawa itu sehat
Menipu itu jahat
(Iwan Fals – Dalbo)

Kawan,
Mari buka-bukaan, jujur-jujuran
Wow, jika transparan …
Jiwaraga kita sehat
Pun bangsanegara kita

Bandung, 20160709, 22.41.

Indonesia Berwawasan Kependudukan, Anti-Korupsi, dan Bebas Narkoba



Sabtu, 21 Mei 2016 jam 19.00 – 22.00, saya menghadiri undangan “Malam Berpuisi di Teras Cikapundung” Kota Bandung dengan tema: Menggagas Indonesia Berwawasan Kependudukan, Anti-Korupsi, dan Bebas Narkoba, yang diselenggarakan (EO) PSAK-SA (Perkumpulan Studi Aksi Kependudukan - Student Association), ternyata acara nasional serta dihadiri wakil BKKBN, KPK, PPATK, BNN, Polda Jabar, seniman, dan wartawan Jabar (Jawa Barat).

Acara ini diisi dengan baca puisi dari para wakil institusi di atas, diselingi kabaret, dan penandatanganan kesepahaman (materi dan substansi acara, tentu pihak EO lebih berwenang menguraikannya).

Sebelum atau hingga tanggal 31 Mei 2016, EO mengimbau partisipasi dari semua pihak untuk mengirimkan puisi dengan tema di atas. Mungkin, karena saya mengirimkan satu puisi untuk setiap tema (menurut EO, maksimal tiga puisi untuk tiap tema), maka saya diundang ke acara itu, meski tidak didaulat membacakan ketiga puisi saya.

Tulisan ini mencoba untuk ‘menangkap’ sekaligus mensosialisasikan gagasan dari tema tersebut melalui perspektif ketiga puisi saya. Puisi pertama berjudul “Stop Perceraian” yang saya dedikasikan untuk wawasan kependudukan; puisi kedua berjudul “Pejabat” untuk anti-korupsi; dan puisi ketiga berjudul “Ayolah Garuda” untuk wawasan bebas narkoba. Namun dikarenakan terbatasnya ruang, saya hanya akan mengurai puisi pertama.

Stop Perceraian
stop perceraian karena akan melahirkan
kebencian
penyesalan
nyandu
nular
Cimahi, 20151215

Puisi ini ditulis di Cimahi karena terilhami seorang kawan yang curhat ke sana ke mari bahwa keluarganya cerai, bahwa keluarga yang dibinanya selama 12 tahun cerai, dan, menurutnya, penyebab perceraiannya akibat intervensi mertuanya.

Saya sudah jenuh mendengarnya karena terlalu sering dia curhat ke siapa-siapa, bahkan ke teman yang ada di Cimahi, padahal kedatangan kita ke Cimahi untuk silaturahmi dan ada acara almamater pesantren dulu.

Memang ada benarnya curhat kawan itu bahwa penyebab perceraiannya akibat intervensi mertuanya. Wong, kawan itu teman dari SD, mesantren bareng, hingga dapat jodoh pun saya kenalkan ke lingkungan almamater terakhir saya yang beda dengan perguruan tinggi kawan itu.

Yang kawan itu lupa, saya pun korban perceraian, sehingga soal ‘cerai’ dan ‘perceraian’ begitu trauma. Hikmahnya, saya berhipotesis bahwa penyebab perceraian di keluarga adalah a-materi dan a-komunikasi. Jika tidak ada materi, tapi ada komunikasi, insya Allah tidak bakalan cerai; tetapi jika tidak ada materi sekaligus tidak ada komunikasi, cilaka!

Hipotesis ini tergambar pula pada puisi di atas. Ketika menghadiri sidang Cerai Gugat, saya sudah merekam kata ‘benci’ dan ‘kebencian’ dari Penggugat dan Tergugat (baca: istri-suami). Kini, sebutlah setelah sidang itu diputus hakim atau hingga puluhan tahun setelah perceraian itu terjadi, kata ‘benci’ dan ‘kebencian’ itu sampai ke anak atau cucu mereka. Anehnya, di acara keluarga, kata ‘sesal’ dan ‘penyesalan’ karena cerai sering terlontar dari mereka.

Antitesis dari kasus perceraian adalah perkawinan karena akan melahirkan kasih sayang (anak = buah kasih sayang). Cilaka-nya, jika jomlo bolehlah kawin; tapi jika janda atau duda kawin lagi dan tak lama cerai lagi, ini yang saya sebut ‘nyandu’. Mereka pikir, kawin adalah solusi; kawin adalah obat cerai, padahal saya bilang adalah kompensasi alias hobi. Di sini, saya ingin mengatakan bahwa terjadinya perceraian akibat andil dua pihak (suami-istri), besar-kecil atau benar-salah itu perspektif/subjektif. Hanya Tuhan Yang Mahatahu, tentu akan mengazab yang sok benar!

Kemudian ‘nular’. Ya, mata fisik-batin saya melihat bahwa perceraian itu menular ke sekitarnya. Ada yang ‘lucu’, seharusnya yang cerai itu suami-istri depan rumah karena sering terdengar cekcok malah ada ‘piring terbang’ segala, tapi yang cerai bapak-ibu saya, maka suami-istri itu tidak jadi cerai, malah jadi keluarga harmonis.

Mari kita lihat lebih luas, bagaimana jika yang cerai itu selebriti (artis atau tokoh), bagaimana dampaknya bagi perihidup bermasyarakat kita?

Wawasan Kependudukan, Anti-Korupsi, dan Bebas Narkoba
Dengan puisi itu, saya ingin mengatakan bahwa keluarga bagian dari Tri Pusat Pendidikan, selain sekolah dan masyarakat. Keluarga-lah sekolah pertama kita. Keluarga harmonis-lah yang akan melahirkan generasi MANTAP!

Mengapa saya berkesimpulan demikian? Karena saya menyaksikan keluarga-keluarga kawan, tetangga, bahkan keluarga selebriti yang harmonis. Ini tentu subjektif. Tapi saya bisa buktikan dengan MAPAN-nya kehidupan keluarga kawan, tetangga, atau selebriti itu.

Terjemah ‘mapan’ bukan melulu ekonomis atau materi. Mata saya menyaksikan keluarga kawan atau tetangga yang rumahnya setengah tembok atau hidup di gang yang kumuh, kehidupan keluarganya itu begitu damai, tenteram, bahkan ceria.

Ini bukan roman yang indah; tetapi ini kehidupan yang nyata. Generasi mantap atau kehidupan keluarga yang mapan adalah kasus manajemen hidup. Bahasa agama menyebutnya ‘mensyukuri’ hidup. Jika kehidupan disyukuri, nikmat kan bertambah; tetapi jika lupa akan nikmat hidup, tentu akan selalu sengsara atau kurang, meski hidup di dalam istana.

Ekses negatif dari kawin-cerai itu, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah ‘bonus’ demografi, perilaku korupsi, dan mengkonsumsi narkoba. Untuk bonus demografi, yakni membludaknya usia kerja sementara lapangan kerja sempit, saya miris: “Apa bedanya dengan marmot, produsen anak, tapi tidak diciptakan menjadi pemimpin masa depan!”

Untuk perilaku korupsi, jika keluarga itu tidak mendidik anak dengan IMAN, dengan sikap merasa cukup dengan apa yang dimiliki, maka anak itu akan berperilaku korupsi. Perilaku korupsi ini saya identikkan dengan kleptomania, bahkan lebih berbahaya karena lebih merugikan bangsa dan negara. Maka saya usul: tangkap kekasih koruptor itu, pasti bernyanyi!

Serta karena keluarga tidak harmonis (broken home), maka anak akan mencari kompensasi; akan mencari komunitas yang awalnya seperti siap menampung segala curhatnya; dan tak lama mengkonsumsi narkoba karena komunitas itu pun  terbentuk atas nama kompensasi. Menurut BNN, 50 orang setiap hari mati gara-gara mengkonsumsi narkoba. Mau hidup jadi sia-sia?

Mari Stop Perceraian … (Saya menyaksikan, sudah empat generasi yang kawin-cerai di keluarga saya) … syukuri hidup dengan prestasi dan berbagi kasih sayang.

Bandung, 20160522, 23.32.

Salahkan Sendiri



Mohon Maaf, Ketinggalan Berita
Kemarin-kemarin, saya fokus ke soal korupsi, narkoba (termasuk rokok dan miras), LGBT, tato, cerai-perceraian, dan Hardiknas; bahkan gara-gara Dul bin Dhani cilaka sejak 2013 di tol itu, tulisan saya soal kewajiban ayah belum kelar -- menurut saya, tema atau topik tulisan yang saya garap kemarin itu adalah masalah tren yang seperti ‘mau’ diabaikan … Namun ketika browse soal #trending_topic, saya memohon maaf dan mari: ISTIRJA’ (innaa lillaahi wa innaa ilaihii raaji’uun), ISTIGHFAR (astaghfirullaahal’azhiim), …

Ini negeri KITA; negeri mayoritas muslim terbesar di dunia; negeri yang warganya dianggap ‘beragama’ meski bukan teokrasi; negeri yang Sila Pertama dari falsafahnya, PANCASILA, Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa; negeri yang dikenal penduduknya ramah oleh dunia; juga negeri Bhinneka Tunggal Ika.

Tapi tren negeri ini adalah tren ngeri. Ya, bunuh, membunuh, dan pembunuhan -- apakah kita ingin meng-iya-kan bahwa kita keturunan Qabil? Sebutlah polah teroris; sebutlah gara-gara ‘kopi’; dan yang abadi adalah gara-gara uang alias ‘UUD’ (ujung-ujungnya duit)!

Di tahun 2015, heboh di negeri ini, sedikitnya ada enam peristiwa yang disorot dunia, salah satunya adalah kasus tragedi kematian bocah Angeline di Bali (lihat: http://news.liputan6.com/read/2396610/6-peristiwa-heboh-tanah-air-yang-mendunia-tahun-2015).

Di sepertiga tahun 2016 ini, bertepatan dengan menyambut, mengisi, dan mengenang Hardiknas (Hari Pendidikan Nasional), kita dihebohkan dengan peristiwa tragis plus ironis. Tragis karena korban (#yuyun) ialah anak-anak atau ABG. Ironis karena pelaku adalah ABG. Batas usia ‘anak-anak’ itu di bawah 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (lihat UURI No. 35/2014 tentang Perubahan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1, nomor 1). Juga miris dengan kasus mahasiswa bunuh dosen gara-gara cekcok soal ‘skripsi’ (baca: momok mahasiswa tingkat akhir S1; lihat, misalnya: http://sumut.pojoksatu.id/2016/05/02/dosen-umsu-tewas-digorok-mahasiswa-diduga-terkait-skripsi/).

TRAGIS dan kita geram, marah, bukan apalagi jika korban itu orang terdekat kita. Kita MARAH karena membunuh 1 (satu) anggota kita; membunuh 1 warga Indonesia berarti membunuh seluruh warga Indonesia (lihat QS 5: 32). KITA takkan diam!

IRONIS karena pelaku itu ialah anak-anak kita. Seharusnya orangtua atau wali anak pelaku-lah yang menanggung sanksi pidana; BUKAN sekadar mewakili anak pelaku di ruang sidang pengadilan; BUKAN sekadar meminta maaf ke khalayak. AYAH harus bertanggung jawab!

UU kita bukan doktrin mutlak, sehingga multi-tafsir, mudah diutak-atik terutama oleh yang punya duit dan bisa nyewa pengacara; hatta UUD 1945 pun.

Perhatikan UURI No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1, nomor 6, ‘keadilan restoratif’ adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan; kemudian nomor 7, ‘diversi’ adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Perhatikan juga UURI No. 35/2014 tentang Perubahan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, Penjelasan, I. Umum, alinea ke-7 (terakhir), “Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap Anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.”

Pertanyaan besar: bukan pembalasan; berat sanksi pidana, benar kalau berat denda buat yang berduit, dan efek jera; di mana-ke mana ‘rasa’ keadilan; atau bagaimana menghadapi 'sistem' hukum kita yang ‘melihat’ ini?

Ini kewajiban ayah! ‘Ayah’ berargumen, “Ini tanggung jawab Tripusat Pendidikan!” Benar! Karena, ibu, menurut syair Arab, ialah sekolah pertama anak; ayah, menurut doktrin Islam dan doktrin negeri ini, ialah imam/kepala keluarga; dan lingkungan pergaulan/pendidikan anak bukan sekadar rumah, tapi sekolah dan masyarakat. Jadi?

Blame it Yourself!
Ya, salahkan kamu sendiri; salahkan diri-sendiri; salahkan sendiri; ‘aku yang salah’ adalah solusi perihidup bermasyarakat, berbangsa, sekaligus bernegara! Mengapa dan dari mana idenya?

Idenya dari muslim pertama plus utama, Nabi Muhammad SAW, ketika beliau berdakwah ke Thaif pada tahun 691 Masehi. Penduduk Thaif tidak suka, malah mengusir dan lempari batu, sehingga beliau berdarah-darah … Satu saja malaikat diizinkan oleh beliau, penduduk Thaif itu bisa ditungkup gunung. Justru beliau ‘menyalahkan diri-sendiri’, “Risalahku belum sampai …” Kekasih Tuhan ini malah berdoa kebaikan untuk Thaif (Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hlm. 148-149; atau silakan googling: ‘doa thaif’; versi doa lain, dalam Ensiklopedi Mini Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 36-38, “Allahummahdi qaumii fainnahum laa ya’lamuun” (Ya Allah, beri petunjuk kaumku karena mereka tidak tahu). Kekasih Tuhan ini juga sering berdoa, “Allahumma salimna ummatii” (Ya Allah, selamatkan umatku; lihat: http://www.eramuslim.com/oase-iman/tangisan-sang-nabi.htm). Karena ingin bersama lagi di surga, amin.

Habis perkara? Belum! Anies Baswedan-lah yang ngomong di tahun 2013, dia yang kini Mendikbud ini menafsirkan alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 bukan sebuah cita-cita, melainkan sebuah janji yang harus dilunasi. “Janji itu adalah (1) melindungi, (2) menyejahterakan, (3) mencerdaskan, dan (4) membuat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya. Dia menilai janji-janji tersebut harus dilunasi oleh seluruh warga negara, termasuk dirinya (lihat tempo.co, 27 Agustus 2013, “Alasan Anies Baswedan Ikut Konvensi Demokrat” atau id.wikipedia, “Anies Baswedan”).

Masalah selesai? Belum! Karena kita semakin seperti di film-film kekerasan, malah kita ingin menyelesaikan masalah secara ‘duel’ seperti di film-film koboy; kita pun semakin seperti Amerika Serikat -- konon, sebuah negara adidaya -- yang seharusnya kita ‘sikat’, eh, kita malah terpikat!

Saudaraku, saudara sebangsa dan setanah-air, ‘ramah’ adalah trademark kita oleh dunia, apakah keramahan kita ini ‘dimanfaatkan’ oknum-oknum pribumi dan asing, sehingga begitu permisif-masif menghegemoni; kita itu orang Timur; kita itu penghuni ‘morgelande’ (pesona Timur sebagi pusat rohani), sehingga selalu dicemburui plus diminati oleh penyembah ‘Triple F’ (food, fun, and fashion) beserta turunannya. Jika dulu, kita dijajah dominan fisik, maka sesungguhnya kini, kita dijajah psikis; otak kita pun dicuci; bukan anak-cucu kita saja karena boleh jadi kita pun ialah ‘ploduk-ploduk’ hedonisme, kapitalisme, bahkan posmodernisme dan kita ikut andil di dalamnya; ikut membidani kelahirannya. Saudaraku, mari saling ingatkan: ada maksud Tuhan yang belum kita pahami; mengapa tren di negeri ini, tren ngeri-mengerikan? Saya mengajak diri-sendiri untuk memahami bahwa sanksi di dunia atau balasan di dunia adalah kasih sayang Tuhan (Karena kalau disanksi di akhirat, itu adalah azab Tuhan yang tidak bisa di-UNDO; tidak bisa kita perbaiki lagi). Ya, mumpung di dunia, … mumpung masih diberi waktu … “Ayo aku, menjadilah teladan yang baik (uswah hasanah) dan penebar kasih sayang bagi alam semesta (rahmatan lil’aalamiin)!” Amin.

Mohon maaf dan terima kasih.

Untuk Yuyun dan Ibu Dosen Nurain Lubis, allaahummaghfirlahuma warhamhuma wa’aafihima wa’fu’anhuma, amin.

#NYALAUNTUKYUYUN … #tren_negeri_tren_ngeri … @renungan_hardiknas @5_Mei_Hari_Lembaga_Sosial_Desa dan @5_Mei_Hari_Bidan_Nasional

Bandung, 20160505, 22.31.

Sumber foto: google/peta Indonesia 
(saya modif dg tambahan "Indonesia berduka ...").

Buat Apa Umroh?















Saya ingin fair (adil), maka sekadar bertanya dengan tiga kata itu -- sudah satu hari lebih alias 24 jam lebih disematkan di sebuah grup FB -- dan tentu ingin mendapat jawaban. Karena tidak ada yang menjawab, maka saya menyimpulkan bahwa jawaban dari pertanyaan saya tersebut adalah GUNA umroh itu masalah self-epxlanatory. Untuk self-answer ini, saya berbahagia sekaligus berbaik sangka bahwa kita sepaham alias sependapat perihal manfaat umroh.

Mari kita lanjutkan frasa tanya itu menjadi kalimat tanya berikut: “Buat apa UMROH, jika tidak punya uang atau jika tidak punya waktu?”

Pertanyaan tersebut diilhami kasus dari dua orang terdekat saya. Sebutlah ‘Bahenol’ yang tidak punya uang dan ‘Nerkom’ yang tidak punya waktu, tapi keukeuh (ngotot) ingin umroh.

Ini serius karena umroh -- disebut juga ‘haji kecil’ -- masalah serius, bukan hanya ‘kerja’ fisik dan materi!

Untuk umroh, konon, Bahenol butuh Rp 20 juta saja. Sejak uras-urus paspor, ‘hebat’-nya, sejak itu pula Bahenol pinjam uang dengan pontang-panting ke kanan-ke kiri (dan entah ke mana lagi). Paspor beres. Terus? “Siapa ya yang punya duit 18 juta?” (Ini pertanyaan atau pengumuman, oi! Hihi, jadi teringat obsesi ‘somebody’  yang pengen punya mobil, dia beli sarung tangan dulu, eh, kacamata dulu).

Sedangkan Nerkom, ketika dapat lotre dari koperasi instansinya untuk umroh, statusnya ialah mahasiswa pascasarjana. Tentu bentrok jadwal. Terbukti hampir empat tahun ini, dia belum beres kuliah S2 dan terancam di-DO. Olala, dia pun tidak punya uang untuk beres-beres kuliah. Lho, kok, umroh? Padahal lotre umroh seharga Rp 21 juta itu boleh dicairkan, sehingga mending buat beres-beres kuliah dan kuliah itu waktunya kan dijatah; sedangkan untuk umroh, kapan saja bisa, beda dengan haji; meski siapa yang tahu: kapan umur kita habis!

Kasus Nerkom, bisa jadi diperparah oleh ke-tidak-profesional-an penyelenggara travel umroh. Sejak bayar “Umrah Desember 2014” Rp 19 juta, nota tertanggal 4 Oktober 2014 -- lumayan tuh ‘bunga’ bank -- Nerkom akhirnya umroh dan PP tanggal 14-22 Januari 2015 … Ternyata biaya membengkak kak kak kak … Jadi, total biaya umroh melalui travel ‘abal-abal’ semacam ini kudu punya uang minimal Rp 25 juta dan pulang tidak bawa oleh-oleh!

Mengapa Bahenol dan Nerkom keukeuh ingin umroh padahal mereka jelas tidak punya uang dan tidak punya waktu? Apakah mereka kena imbas tren ‘ziarah religi’, ‘ziarah rohani’, atawa ‘wisata religi’? Apakah mereka kena sindrom ‘H. Muhidin’, tokoh antagonis, yang naik haji tiga kali karena ingin ‘mengalahkan’ tukang bubur? Apakah mereka juga ingin ‘berdoa’ ke tempat-tempat yang makbul dan mustajab atas nama hablumminal-Laah (hubungan dengan Tuhan) padahal kepergiannya karena kompensasi dari kasus hablumminannaas (hubungan dengan sesama manusia)? Apakah mereka lupa bahwa gelar ‘haji’ pemberian penjajah Belanda karena asumsi yang keluar negeri ialah orang ngerti bahwa negerinya dijajah, maka harus ditandai dan dilokalisasi (di Banten)? … Tentu, Bahenol-Nerkom punya argumen yang ‘kuat’ serta tentu hanya mereka dan Tuhan yang tahu perihal niat-nya, perihal ‘gerak hati’-nya kenapa harus umroh. Tetapi bagi kita yang menyaksikan, bagi kita yang dimintai pendapat, keukeuh umroh mereka itu aksi blunder (kesalahan besar, kesalahan berkelindan, atau kesalahan membelit).

Mengapa? Mengapa kepo? Mana buktinya? Tak percaya ah … Yang bisa menjawab rentetan pertanyaan ini tentu hanya mereka alias jawaban self-epxlanatory. Bagi kita, kalau kita kepo, tinggal menunggu waktu; jika Bahenol jadi berangkat umroh dan sekembalinya, apa yang terjadi? Apakah Bahenol ini jilid dua-nya ‘H. Mansur’ (Haji Halaman Tergusur yang ekuivalen dengan menggadaikan surat rumah, tanah, atau mobilnya)? Tentu harus ditebus. Sedangkan bagi Nerkom, kita tunggu apakah tahun ini (baca: bulan ini) dia bisa beres kuliah S2 karena kalau tidak di-DO oleh kampusnya?

(Sesungguhnya) bagi kita, hikmah apa yang bisa dipetik dari kasus Bahenol-Nerkom? (Bocoran: Ini semacam kasus kuratif [pengobatan]  untuk mengatasi dua atau lebih masalah. Ya, kasus skala prioritas pilihan, yakni mana yang akan kita atasi, mana yang akan kita hadapi dulu? Konon, masalah ‘mendesak-penting’ adalah masalah yang harus kita atasi/hadapi dulu daripada masalah ‘penting-mendesak’. Saya percaya ‘konon’ ini).

(Dan) hikmah atawa jawabannya adalah saya berbaik sangka lagi bahwa kita t’lah tahu apa, bagaimana, dan mengapa umroh.

NB (notabene):
- Mungkin, umroh dan apalagi haji itu ‘panggilan’ Ilahi. Kita sudah dipanggil sejak masa primordial. Mungkin lagi, kita tidak mau dengar atau pura-pura tidak dengar seperti ketika mendengar ADZAN (panggilan, ajakan) tuk shalat (salat), padahal SHALAT hanya ‘kerja’ fisik. Memang, ‘kerja’ untuk Tuhan (baca: sesungguhnya untuk kepentingan kita sendiri) itu membutuhkan ‘kepasrahan’ total; bukti kesungguhan bahwa kita hamba-Nya, bahwa kita membutuhkan-Nya, bahwa kita mencintai-Nya, … serta pasti ada blessing in disguised (rahmat yang tersamar = hikmah yang belum kita tahu)  awalnya, karena mengapa ada buku 99 Cara Naik Haji Gratis dan mengapa ada kawan-kawan yang bisa umroh GRATIS, malah punya usaha travel umroh tanpa modal kini?
- Nerkom memberi selembar One Riyal bertahun 2007, … “Kunjungkan = haji-umrahkan hamba, Tuhan, amin.”

Bandung, 20160501, 02.10.

Sumber foto: google/masjid sunrise

Semangat Gratisan



Mungkin, kronologi tulisan ini adalah semangat internet --> semangat online --> semangat berbagi --> semangat gratisan.

Di internet, apa yang tidak ada? Ya, kita tinggal ketikkan kata, frasa, kalimat, istilah, atau masalah apa yang ingin kita tahu; yang kita inginkan solusinya. Tunggu beberapa detik. Dapat! Kelar!

18 tahun yang lalu, saya menyebut HP (handphone) segede ulekan itu SEPERTI ‘lauh mahfud’ (kitab induk) karena dunia SEPERTI di satu genggaman dan -- seperti komputer -- one touch easy. Sekarang, ada smartphone bla bla bla. Candanya: sudah semakin pintar, semakin kecil-tipis, nanti telepon selular itu goib alias tinggal NIAT (telepati) saja.

Di sebuah film ‘scifi’ (science fiction), saya lupa judulnya, alien masuk ke sebuah ruangan. Tangannya seperti meraba-usap-dadah dinding di depannya. Mungkin, ruangan itu digital library of universe dengan sensor gerak atau koneksi dengan DNA-nya si alien. Hebatnya, ruangan segede WC umum di terminal-terminal bus KITA itu komplet, sehingga keluar dari ruangan itu, ia siap menyerang bumi karena ia sudah tahu tetek-bengek, remeh-temeh bumi kita!

Digital library of universe itu ‘internet’. Kini, kita lebih sering menyebutnya ‘online’ atau daring (dalam jaringan), antonimnya: luring, luar jaringan (offline).

Mengapa internet bisa jadi digital library of universe? Secara ringkas, kita jawab karena ‘semangat berbagi’.

Motivasi berbagi itu tentu beragam dan kita sering kecele. Beragam ini sama-lah dengan dikotomi: pra dan pascabayar pulsa HP -- memang orang terkaya di dunia ini ialah orang komunikasi (seperti orang Meksiko itu), apalagi di era informasi ini (Mr. Bill Gates)!

Ya, PAMRIH. Namun, kita juga bisa kok selisik yang gratis beneran dan menguntungkan kedua belah pihak (mutualisme-simbiosis). Sebutlah bisnis nirlaba atawa waralaba, memang masih terkesan pamrih. Dia bilang ‘gratis’, tapi kita kudu anu-anu; dia bilang ‘gratis’, tapi di awal sudah minta Rp 20 ribu, meski konon menghasilkan Rp jutaan. Juga bisnis ‘valas’ atau ‘sejenisnya’. Komentar saya: Kita mah Real Madrid, eh, realistis sajalah …!

‘Bisnis’ itu urusan barter-an. Sebutlah jual-beli, yakni ada yang ‘dijual’ ada yang ‘dibeli’, maka bisnis jual-beli itu adalah barteran antara penjual dengan pembeli, di mana penjual dapat pengganti dari apa yang dijualnya dan pembeli dapat pengganti dari apa yang dibelinya. Ini riil dan masalah apresiasi. Jika ini jadi polemik, silakan, tapi tidak akan saya layani. Karena saya bukan ahlinya. Saya sekadar ber-opini. Tentu opini yang hebat dari ahlinya. Saya akan belajar kepada ahlinya. Serta mohon diingat, dalam ‘opini’ itu ada istilah second opinion, third opinion, dan seterusnya biar ‘polemik’ itu konvergen alias akhir yang baik.

Atau LOMBA … Saya akan fokus kepada, misalnya, lomba menulis yang bener-bener GRATIS di awal, di tengah, dan di akhir BERHADIAH, hehe. Mengapa? Karena semangat berbagi dan mutualisme-simbiosis tadi (seperti saling meng-apresiasi; di mana penyelenggara butuh banyak peserta, sehingga pihak iklan banyak yang masuk dan mau jadi sponsornya untuk event itu atau untuk event berikutnya; di sisi lain, peserta pun butuh apresiasi karena dia telah mencurahkan apa yang dia tahu, bisa, punya bla bla bla untuk lomba yang diikutinya itu), KECUALI untuk ‘lomba’ filantropis (untuk ‘amal’ ini jangan disebut-sebut-lah); cukup ikuti, kirimkan, titik!

Ada lagi LOMBA KEBAJIKAN (lihat QS/Quran surat ke-2: 148 dan 5: 48). Lomba yang output-nya win win solution. Lomba yang tidak menelurkan ‘pemenang’ atau ‘pecundang’ karena semuanya pemenang; atau sebaliknya, semuanya pecundang, jika TIDAK ADA yang melakukan kebajikan itu; dan biasanya, yang sanggup lakukan ini ialah pewaris para Nabi alias ulama; ‘para ahli’ ini BUKAN saja ahli agama; meski sebaiknya, dia ahli karena diilhami agamanya … (lihat ‘upah’ Nabi dalam QS 42: 23).

Karena itu, karena saya orang Bandung, saya mengimbau kepada Bapak Jokowi hingga Kang Ridwan Kamil, MOHON DIGRATISKAN untuk internet-an, minimal ada satu PC atau laptop untuk tiap desa atau kelurahan. Warga yang akan pakai dijatah per 5 atau 10 menit, cukup untuk buka, cek, atau kirim email atau status di FB (Facebook).

Mengapa gratis-isasi harus (kudu) ada di tiap desa atau kelurahan? Karena ini era informasi dan informasi hak asasi semua warga. Mudah-mudahan dapat mempersempit gap pembangunan antara desa dengan kota. Memang kudu diantisipasi jika ada culture shock di pelosok desa (misalnya dengan mengadakan dulu workshop aplikasi gawai IT beserta efek positif-negatif dunia maya); dan saya berbaik sangka, pembangunan itu butuh juga revolusi, bukan melulu evolusi.

Semangat gratisan ini diusulkan karena concern (perhatian sekaligus keprihatinan) saya dengan ‘oknum’ adagium: “Uang bisa beli segalanya!” Padahal yang benar: UANG BISA BELI APA SAJA, TAPI TIDAK SEGALANYA (money can buy anything, but not everything); dan dengan semangat gratisan, seperti silaturahmi di dunia maya, ini adalah SOLUSI bagi perihidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kita mulai lomba kebajikan ini, misalnya, dengan menulis. Ya, dengan semangat berbagi tulisan, meski diapresiasi ‘gratis’, tapi lihat efeknya sebentar lagi, BroBray. Trust me!

(Dan bukan) mungkin, kronologi paling awal tulisan ini adalah karena awalnya pun semua SERBA-GRATIS dari Tuhan.

Bandung, 20160428, 19.39.