Anotasi: saya kok kurang sreg dengan editan Admin K, apalagi tambah foto tanpa
konfirmasi … maka saya share kembali di sini (ini file awal sebelum diedit
Admin K); silakan bandingkan dengan ini:
c.q. Ngemutan (Sunda) = mengingatkan; Kang Emil = Ridwan
Kamil, Walikota Bandung.
Trigger tulisan ini boleh jadi gara-gara
membaca koran Tribun Jabar edisi kemarin (3/1, hlm. 12); sehalaman penuh
merekap ‘prestasi’ Pemkot Bandung di tahun 2016 (kaleidoskop dari Januari
hingga Desember). Sayang, saya tidak sempat membeli koran itu. Tak sempat pula
me-ricek secara online. Semoga ada yang sempat mengoleksi koran
tersebut atau lebih detail mengetahui perihal ‘prestasi’ itu.
Dari berita itu, saya hanya sempat ‘menangkap’ dua program
yang menjadi ‘jagoan’ Kang Emil, yakni (1) Magrib Mengaji dan (2) Kredit
Melati. Setahu saya, program Magrib Mengaji ‘dihidupkan’ kembali oleh kebijakan
Kang Emil untuk meng-counter serangan dunia medsos yang tidak mengenal
waktu. Saya setuju, meskipun muncul pertanyaan: apakah Magrib Mengaji itu
mengikat warga Kota Bandung; yaitu jika warga tidak mengaji di waktu magrib,
kena sanksi, misalnya sanksi fisik (disuruh push-up) atau sanksi materi
(wajib ngencleng ke masjid Rp 5.000,-)?
Kalau saya, waktu usia SD, diomelin sampai nangis
oleh bapak saya, kalau saya tidak mengaji di waktu magrib.
Kemudian program Kredit Melati. Seingat saya ‘Melati’ itu
singkatan dari ‘melawan rentenir’. Iklannya tanpa agunan. Dulu, saya pernah cek
persyaratannya, malah sempat antre di Jalan Naripan itu. Wah, saya tidak
memenuhi syarat! Singkat cerita, mengapa saya melansir: “BPR/Kosipa semakin
menggurita dan rentenir semakin menggila” di beberapa tulisan saya?
Kang Emil, tulisan ini sekadar ajakan bercermin, khususnya
bagi saya, sebagai sesama warga yang lahir dan besar di Kota Bandung serta
kebetulan seumur dengan Akang. Hajeuh, jadi GR … (neda hapunten,
mohon maaf).
Kahartos Mung Teu Acan Karaos
Terpaksa saya cantumkan di sini jargon ‘pemain’ politik
kelas abal-abal yang saya pungut dari berbagai ruang dan waktu informal: “Kahartos
mung teu acan karaos” (Sunda: dimengerti tetapi belum ter-rasa). Konkretnya,
program/proyek Pemkot itu dimengerti (bagus) kalau si pemain itu merasa
(kebagian atau kecipratan).
Memang jadi miris, jika ‘merasa’ itu semakna dengan mendapat
BLT (bantuan langsung tunai). Bagi saya, BLT itu mengajari Rakyat kita jadi
pengemis. Mungkin, lebih ‘lembut’-lah dengan mendapat Kredit Melati. Cuma itu,
saya kok tidak (mampu) memenuhi syaratnya. Di sisi lain, (semoga) saya
bukan ‘pemain’ itu.
Dari mana kita mulai, Kang Emil?
Insya Allah, saya mengapresiasi kebijakan dan manuver Kang
Emil, meskipun tidak saya ikuti secara intens. Mungkin, mari kita mulai dari
sebait lagu kebangsaan kita: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya,” yang
konon mengilhami program “Revolusi Mental” Jokowi semenjak kampanye pilpres
kemarin. Justru dua program ‘jagoan’ (Magrib Mengaji dan Kredit Melati) itu,
saya anggap, aktualisasi program Revolusi Mental.
Serius, saya dukung dengan ‘semampunya’ saya. Bahkan, entah
GR atau posesif, kita seperti ‘saguru-saelmu’ dengan dua program itu
saja; saya meyakini Kang Emil pun—tentu lebih—mafhum perihal aset dan potensi
Kota Bandung. Yang menjadi concern dan memang menjadi tugas ‘mahaberat’
kita, jika mental sedunia menomorsatukan uang (Dari mana kita mulai, Kang, jika
‘UUD’; jika segala kebijakan dan manuver kita ‘ujung-ujungnya duit’?).
Pujian adalah Pembunuhan Kreativitas
Pertanyaan awal gara-gara membaca koran Tribun Jabar itu:
Siapa yang pasang berita sehalaman penuh; pihak Tribun Jabar atau iklan dari
Pemkot Bandung?
Terlepas dari siapa penulis berita itu; saya kok
ngeri dengan tren kiwari bahwa prestasi harus diumumkan (Arab: i’lan =
iklan). Apakah dipicu oleh seluruh sistem pendidikan di dunia bahwa murid
terpintar harus diberi peringkat kesatu; dan semakin dipacu oleh Buku Rekor
Dunia, sehingga orang/lembaga berlomba agar namanya tercantum? Padahal ‘kita’
sepakat: kehidupan dunia ini serba-mungkin, sedangkan kehidupan akhirat itu
serba-pasti.
Prestasi diiklankan sah saja dan manusiawi, sebutlah untuk
memperoleh ‘trust’. Saya hanya ingin mengingatkan secara ‘filosofis’
bahwa segala pengakuan atau merit-isasi semacam piagam dan piala itu
sekadar ‘pujian’, serta pujian di saat menjabat itu—kalau tak klaim sepihak—adalah
‘jilatan’.
Subjudul “Pujian adalah Pembunuhan Kreativitas” merupakan
kutipan saya dari seorang kawan yang saya anggap (semoga) ‘tersaleh’. Kemudian
saya diingatkan oleh Karni Ilyas di ILC yang melansir kutipan: “Orang lebih
suka celaka oleh pujian daripada selamat oleh kritikan;” dan saya pun menebak:
mata-telinga Kang Emil sudah penuh oleh realita bahwa ketika menjabat,
sekitaran menyemut; tak menjabat, dadah! Yang ironis, pejabat kok
tinggal menunggu waktu … prestasi dan korupsi kok beda tipis?
Itulah, Kang, saya pun tak memberi solusi update. Mungkin,
genjot terus, sosialisasikan terus Semangat Reformasi, yakni transparansi,
partisipasi, dan akuntabilitas program Pemkot Bandung. Justru warning
jika kita (seluruh komponen Kota Bandung) dalam komunikasi yang ‘adem-ayem’
karena bisa jadi telah hadir Bento—si jago lobbying dan upeti
sebagaimana lagu “Bento” Iwan Fals—di tengah kita.
Ngemutan, Kang. Pemimpin itu panutan. Pemimpin
yang sukses itu ada di hati Rakyat. Wayahna (terpaksa), itu prerogatif
Tuhan.
Aduh Kang Emil, mohon maaf, tulisan ini tidak bernas.
Kualitas tulisan ini malu-maluin, tapi kok masih berani di-share
hanya mengandalkan GR bahwa kita sebaya. Meureun (mungkin), gara-gara si
saya saja di Kota Bandung ini yang omong: “Kahartos mung teu acan karaos”
sehingga indeks bahagia-nya minus, apalagi saya berapologi ngelantur:
“Rahasia itu beban hidup” (frasa ini pun kutipan dari seorang penyanyi abg nasional). Wow, siapa yang tidak
punya rahasia; lantas, rahasia hak siapa? Sungguh malang, apabila rahasia
dibawa mati! Na’uudzubillaahimindzaalik, aamiin.
Bandung, 4 Januari 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar