Balad OMO

Jumat, 12 Maret 2021

Bangunlah, Indonesia!

 

Terus terang, slogan kampanye pilpres Jokowi yang pertama: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya dll” sungguh memesona. Hingga periode kepemimpinan Beliau yang ke-2 ini, adalah hal yang ‘wajar’ jika ditingkahi pro-kontra atau saling klaim antara rezim dengan oposisi. Saya pribadi sekadar ‘penonton’; meski semuanya mengatasnamakan ‘rakyat’, termasuk saya.

Frasa ‘Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya’ merupakan dua baris dari teks lagu kebangsaan kita, “Indonesia Raya” (ciptaan WR Supratman). Secara kasat mata, kentara jelas skala prioritas yang harus dibangun dulu. Bagaimana dengan realita di kepemimpinan Jokowi periode ke-2 kini?

 

Padahal Punya Kita, Punya Indonesia kok

Sungguh benar tiga ayat pada Pasal 33 UUD 1945; kata kuncinya: azas kekeluargaan (1), dikuasai Negara (2), dan kemakmuran rakyat (pada ayat 3). Bagaimana di darat, pada tataran praktiknya?

Mungkin, kata kunci pada ayat 1 tersebut telah mewujud pada institusi Koperasi; meski penglihatan saya melaporkan bahwa Koperasi yang diklaim perwujudan karakter Bangsa Indonesia ini “Senin-Kamis” perihidupnya, malah mati suri!

Kata kunci ‘dikuasai Negara’ menjadi Piala Bergilir alias bermakna bias, meski dilabeli Pemerintahan Koalisi atau Zaken Kabinet sekalipun. Di sini, kita semua mafhum, ada Oknum; terlebih jika terjadi peristiwa korupsi!

Adapun ‘kemakmuran rakyat’, sepertinya sekadar wacana. Di era now, menjadi tema klise di webinar atau Zoom-isasi karena definisi ‘Rakyat’ terpaksa mengikuti tren Siapa yang Berkuasa? Dalam hal ini, saya berkomentar: Silakan aji mumpung! Karena Bumi berputar kok, karena Rezim silih berganti kok (Ini laporan pancaindera saya, yang genap berumur 50 tahun).

Kemudian pada alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 bahwa Pemerintah (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan (2) untuk memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia adalah “4” janji otomatis yang disanggupi oleh setiap rezim sejak Indonesia merdeka.

 

Mari Membangun

Sungguh tak bersyukur jika Kemerdekaan tidak kita isi dengan pembangunan. Sungguh merugi jika kita sia-siakan aset dan potensi yang kita miliki. SDM banyak dan beragam serta SDA subur dan berlimpah. Seperti dalam lagu Koes Plus: Kail dan jala cukup menghidupimu/ Tongkat kayu dan batu jadi tanaman; serta kita hanya mengenal dua musim, kemarau dan penghujan kok. Olala, karhutla termasuk bencana alam, padahal Negeri Sakura telah membedakan mana bencana alam, mana ‘produk’ manusia! (Qs al-Ruum/30: 41).

Dari mana kita mulai membangun?

Jika kerusakan di laut dan di darat begitu nampak di depan mata kita; jika kita dibilang umat akhir zaman alias umat yang akan mengalami Hari Kiamat; apa yang akan kita lakukan? Let's retard the doomsday!

Mari hela napas sekejap; merenung sejenak perihal “5 W + 1 H”; apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana kita? Soal hidup; dari apa kita, siapa kita, kapan kita hidup dan mati, di mana fungsi-posisi hidup kita, mengapa kita yang hidup—bukan berjuta sel zygot saudara kita, dan bagaimana kita ‘ingin’ hidup?

Lalu, kita syukuri yang mukim di Morgelande, tanah timur yang penuh dengan pesona rohani ini. Aplikasi syukur tersebut adalah dengan ‘membangun’ seperti yang dibilang Lagu Kebangsaan kita, yakni bangun jiwa (SDM) dan bangun badan (SDA)-nya. Ini pun telah disepakati bersama, misal terlihat pada alokasi 20% dari APBN untuk pendidikan, serta adanya BUMN-BUMD yang menguasai ‘hajat’ hidup kita.

Membangun ‘manusia’ dan ‘alam’ di kita, tentu harus berkelanjutan, berkeadilan, dan berkarakter karena ‘budaya’ Timur kita yang—sebenarnya—tabu dengan kapitalisme atau komunisme. Yang—seharusnya—kita pahami bersama bahwa ‘berkelanjutan’ itu berarti bahwa kita yang hidup sekarang ini ialah justru ‘Ahli Waris’ dari anak-cucu kita; karena apa yang akan diwariskan oleh kita sebagai Pewaris? Dengan kata lain, pembangunan ‘berkelanjutan’ itu minimalnya bermakna sampai ke anak-cucu atau idealnya anak-cucu kita tinggal menikmati dan meningkatkan ‘kue’ pembangunan.

Kata ‘berkeadilan’ dan ‘berkarakter’ pada frasa pembangunan berkeadilan dan berkarakter kiranya telah sangat jelas termaktub di semua konstitusi Negeri ini; tinggal praktiknya, tinggal aplikasinya alias komitmen—terutama—dari rezim yang berkuasa.

 

Kalau bukan Kita, Siapa lagi; kalau bukan Sekarang, kapan lagi?

Tema pembangunan nasional eloknya dikawal-gawangi oleh semua stakeholder Bangsa Indonesia. Setiap individu Bangsa berkewajiban ikut serta dalam pembangunan nasional. Tentu, yang lebih ‘indah’ adalah jika pembangunan tersebut bersemangat seperti oleh-oleh Era Reformasi 1998, yaitu sinergi semangat transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi seluruh elemen Bangsa.

Kelak, akan muncul hasilnya; minimal dijauhkan dari perilaku su’uzhan (prasangka buruk) dari Rakyat ke Pemerintah. Lantas, tata kelola tertib dan skala prioritas pembangunan terwujud. Kita harus yakin; tak ada lagi ketimpangan pembangunan di Barat dan Timur Nusantara; desa-kota. Karena aset-potensi SDM dan SDA Negara terdata-terkelola dengan benar dan baik

Di sini layak diajukan pertanyaan: Apakah ‘pemuda’ yang harus membangun Negeri ini? Saya menyebutnya “Mahatir’s effect” (Mahatir Muhammad yang menjabat Perdana Menteri Malaysia lagi di usia 92 tahun!); definisi ‘pemuda’ baru yang berimbas global karena yang layak disebut “Bapak-Ibu bangsa” ingin disebut ‘pemuda’ lagi; namun saya tidak mempermasalahkan kriteria rentang usia ini, meski sejarah Negeri ini mencatat: Para pemudalah yang membangun Negeri ini di awal kelahiran RI (Republik Indonesia).

Banyak jargon, slogan, adagium, kata mutiara, bahkan metodologi untuk menstimulus pembangunan. Seperti analisis “SWOT” (strength, weakness, opportunities, threat) atau “n-Ach” (need achievement). Tetapi di sini, saya hanya mengingatkan soal “sense of” belonging-crisis-responsibility terhadap SDM dan SDA yang ada di RI. Diskursus pribumi-nonpribumi menjadi ‘efektif’ untuk pembangunan lokal karena warga setempat—biasanya—tidak sekadar memiliki sense of belonging, tapi disertai juga dengan sense of crisis dan responsibility terhadap lingkungan, terlebih untuk anak-cucunya.

Program 3R, “Kang Pisman”, biopori-isasi, reboisasi, konservasi hutan gundul atau jangan buang sampah ke DAS (daerah aliran sungai) telah viral, telah dipahami seluruh stakeholder, termasuk ngeuh sanksi-nya; tinggal komitmen, tinggal kesadaran semua elemen Bangsa Indonesia: Kalau bukan kita, siapa lagi; kalau bukan sekarang, kapan lagi?

 

Bandung, 28 April 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar