Terus terang, slogan
kampanye pilpres Jokowi yang pertama: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya dll”
sungguh memesona. Hingga periode kepemimpinan Beliau yang ke-2 ini, adalah hal
yang ‘wajar’ jika ditingkahi pro-kontra atau saling klaim antara rezim dengan
oposisi. Saya pribadi sekadar ‘penonton’; meski semuanya mengatasnamakan
‘rakyat’, termasuk saya.
Frasa ‘Bangunlah
jiwanya, bangunlah badannya’ merupakan dua baris dari teks lagu kebangsaan kita,
“Indonesia Raya” (ciptaan WR Supratman). Secara kasat mata, kentara jelas skala
prioritas yang harus dibangun dulu. Bagaimana dengan realita di kepemimpinan Jokowi
periode ke-2 kini?
Padahal
Punya Kita, Punya Indonesia kok
Sungguh benar tiga
ayat pada Pasal 33 UUD 1945; kata kuncinya: azas kekeluargaan (1), dikuasai
Negara (2), dan kemakmuran rakyat (pada ayat 3). Bagaimana di darat, pada
tataran praktiknya?
Mungkin, kata kunci
pada ayat 1 tersebut telah mewujud pada institusi Koperasi; meski penglihatan
saya melaporkan bahwa Koperasi yang diklaim perwujudan karakter Bangsa
Indonesia ini “Senin-Kamis” perihidupnya, malah mati suri!
Kata kunci ‘dikuasai
Negara’ menjadi Piala Bergilir alias bermakna bias, meski dilabeli Pemerintahan
Koalisi atau Zaken Kabinet sekalipun. Di sini, kita semua mafhum, ada Oknum;
terlebih jika terjadi peristiwa korupsi!
Adapun ‘kemakmuran
rakyat’, sepertinya sekadar wacana. Di era now, menjadi tema klise di webinar
atau Zoom-isasi karena definisi ‘Rakyat’ terpaksa mengikuti tren Siapa yang
Berkuasa? Dalam hal ini, saya berkomentar: Silakan aji mumpung! Karena Bumi
berputar kok, karena Rezim silih berganti kok (Ini laporan pancaindera saya,
yang genap berumur 50 tahun).
Kemudian pada alinea
ke-4 Pembukaan UUD 1945 bahwa Pemerintah (1) melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan (2) untuk memajukan
kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan
ketertiban dunia adalah “4” janji otomatis yang disanggupi oleh setiap rezim
sejak Indonesia merdeka.
Mari
Membangun
Sungguh tak bersyukur
jika Kemerdekaan tidak kita isi dengan pembangunan. Sungguh merugi jika kita sia-siakan
aset dan potensi yang kita miliki. SDM banyak dan beragam serta SDA subur dan berlimpah.
Seperti dalam lagu Koes Plus: Kail dan
jala cukup menghidupimu/ Tongkat kayu dan batu jadi tanaman; serta kita
hanya mengenal dua musim, kemarau dan penghujan kok. Olala, karhutla termasuk bencana alam, padahal Negeri Sakura telah
membedakan mana bencana alam, mana ‘produk’ manusia! (Qs al-Ruum/30: 41).
Dari mana kita mulai
membangun?
Jika kerusakan di
laut dan di darat begitu nampak di depan mata kita; jika kita dibilang umat
akhir zaman alias umat yang akan mengalami Hari Kiamat; apa yang akan kita
lakukan? Let's retard the doomsday!
Mari hela napas sekejap;
merenung sejenak perihal “5 W + 1 H”; apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan
bagaimana kita? Soal hidup; dari apa kita, siapa kita, kapan kita hidup dan mati,
di mana fungsi-posisi hidup kita, mengapa kita yang hidup—bukan berjuta sel
zygot saudara kita, dan bagaimana kita ‘ingin’ hidup?
Lalu, kita syukuri yang
mukim di Morgelande, tanah timur yang penuh dengan pesona rohani ini. Aplikasi
syukur tersebut adalah dengan ‘membangun’ seperti yang dibilang Lagu Kebangsaan
kita, yakni bangun jiwa (SDM) dan bangun badan (SDA)-nya. Ini pun telah
disepakati bersama, misal terlihat pada alokasi 20% dari APBN untuk pendidikan,
serta adanya BUMN-BUMD yang menguasai ‘hajat’ hidup kita.
Membangun ‘manusia’
dan ‘alam’ di kita, tentu harus berkelanjutan, berkeadilan, dan berkarakter
karena ‘budaya’ Timur kita yang—sebenarnya—tabu dengan kapitalisme atau
komunisme. Yang—seharusnya—kita pahami bersama bahwa ‘berkelanjutan’ itu
berarti bahwa kita yang hidup sekarang ini ialah justru ‘Ahli Waris’ dari
anak-cucu kita; karena apa yang akan diwariskan oleh kita sebagai Pewaris?
Dengan kata lain, pembangunan ‘berkelanjutan’ itu minimalnya bermakna sampai ke
anak-cucu atau idealnya anak-cucu kita tinggal menikmati dan meningkatkan ‘kue’
pembangunan.
Kata ‘berkeadilan’
dan ‘berkarakter’ pada frasa pembangunan berkeadilan dan berkarakter kiranya
telah sangat jelas termaktub di semua konstitusi Negeri ini; tinggal
praktiknya, tinggal aplikasinya alias komitmen—terutama—dari rezim yang berkuasa.
Kalau
bukan Kita, Siapa lagi; kalau bukan Sekarang, kapan lagi?
Tema pembangunan
nasional eloknya dikawal-gawangi oleh semua stakeholder
Bangsa Indonesia. Setiap individu Bangsa berkewajiban ikut serta dalam
pembangunan nasional. Tentu, yang lebih ‘indah’ adalah jika pembangunan
tersebut bersemangat seperti oleh-oleh Era Reformasi 1998, yaitu sinergi semangat
transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi seluruh elemen Bangsa.
Kelak, akan muncul hasilnya;
minimal dijauhkan dari perilaku su’uzhan
(prasangka buruk) dari Rakyat ke Pemerintah. Lantas, tata kelola tertib dan skala
prioritas pembangunan terwujud. Kita harus yakin; tak ada lagi ketimpangan
pembangunan di Barat dan Timur Nusantara; desa-kota. Karena aset-potensi SDM
dan SDA Negara terdata-terkelola dengan benar dan baik
Di sini layak
diajukan pertanyaan: Apakah ‘pemuda’ yang harus membangun Negeri ini? Saya
menyebutnya “Mahatir’s effect” (Mahatir
Muhammad yang menjabat Perdana Menteri Malaysia lagi di usia 92 tahun!); definisi
‘pemuda’ baru yang berimbas global karena yang layak disebut “Bapak-Ibu bangsa”
ingin disebut ‘pemuda’ lagi; namun saya tidak mempermasalahkan kriteria rentang
usia ini, meski sejarah Negeri ini mencatat: Para pemudalah yang membangun Negeri
ini di awal kelahiran RI (Republik Indonesia).
Banyak jargon,
slogan, adagium, kata mutiara, bahkan metodologi untuk menstimulus pembangunan.
Seperti analisis “SWOT” (strength,
weakness, opportunities, threat) atau “n-Ach” (need achievement). Tetapi di sini, saya hanya mengingatkan soal “sense of” belonging-crisis-responsibility
terhadap SDM dan SDA yang ada di RI. Diskursus pribumi-nonpribumi menjadi
‘efektif’ untuk pembangunan lokal karena warga setempat—biasanya—tidak sekadar
memiliki sense of belonging, tapi disertai
juga dengan sense of crisis dan responsibility terhadap lingkungan,
terlebih untuk anak-cucunya.
Program 3R, “Kang
Pisman”, biopori-isasi, reboisasi, konservasi hutan gundul atau jangan buang
sampah ke DAS (daerah aliran sungai) telah viral, telah dipahami seluruh stakeholder, termasuk ngeuh sanksi-nya; tinggal komitmen,
tinggal kesadaran semua elemen Bangsa Indonesia: Kalau bukan kita, siapa lagi;
kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Bandung, 28 April 2021