Saya ingin mengerti ‘cinta’. Hingga usia
‘jelita’ (jelang lima puluh tahun) ini, saya belum mengerti apa itu ‘cinta’.
Bak Komentator Bola, bolehlah saya sedikit paham di ‘atas kertas’; tetapi di
‘lapangan’, saya nol besar. Berarti cinta itu ‘bola’?
Ya, menggelinding; bisa liar, bisa
teratur. Tetapi, secara deduktif, sepertinya hanya Tuhan yang bisa men-dribble
cinta. Bagaimana dengan Rabiyatul
Adawiyah, sufi wanita tokoh mahabbah; apakah teori dengan praktik
cintanya itu sudah klop alias sinergis dalam kehidupannya dan sesuai kehendak
Tuhan? Di Islam, kepada siapa kita meniru teori dan praktik dalam bercinta?
Tentu kepada muslim pertama sekaligus utama, yakni Nabi Muhammad SAW. Namun sangat
disayangkan, saya nol besar dalam mengetahui teori dan praktik cinta Beliau!
Mungkin, esai monolog ini sebuah upaya
menyusun serpihan teori dan praktik ‘cinta’ yang pernah berinteraksi hingga usia
jelita saya. Mudah-mudahan bisa sedikit meniru gaya bercinta Nabi SAW dan
sesuai kehendak Tuhan (Allah SWT), amin yRa.
Wow, itu memang sebuah
keinginan--padahal mohon dimaafkan--saya tidak berwenang tadi dan saya tidak langsung
membuka referensi utama umat Islam (Quran dan Hadis), saya hanya catut-catat
yang ada di surface dan mosaic per-saya-an.
Karena judulnya ‘mengeja’, mari bikin
keratabasa (Sunda: kirata)
‘cinta’:
C C
erita C arilah C oba C iri
I I
ndah I lmu I kuti I man kepada
N N
an N anti N abi N abi itu
T T
iada T erus T entu T aat kepada
A A
khir A malkan A man A
llah
‘n so pasti BroBray punya keratabasa ‘cinta’ sendiri.
Mengapa Nabi (Muhammad SAW)? Hanya mampu
saya jawab dengan pertanyaan: “Mengapa Nabi Muhammad SAW menjadi kekasih Allah
SWT?” Saya pun meyakini, jika kita (umatnya) rela mati #karena Beliau, karena mencintai
Beliau, tentu Beliau ‘meradang’ (masygul). Beliau sangat anti syirik. Hidup-matilah
karena Allah! (lihat soal ‘gegana’ Nabi di esai: http://www.kompasiana.com/aluzar_azhar/relaksasi-beragama_597112eb2bbb132256576492).
Jelas sangat berbeda dengan Romeo yang ‘rela’
mati untuk Juliet. Ada nafsu, ada frustasi, bukan cinta, bukan pengorbanan
cinta! Justru ‘pengorbanan’ itu al-qurbatu (usaha mendekati), bukan menjauhi/menumbalkan
Cinta (Tuhan alias Tuhan ‘kalah’ oleh selain Tuhan), maka selagi hidup harus
punya moto: “Berani hidup, bukan berani mati!” karena kitalah yang diutus ke
bumi di antara berjuta sel zigot saudara kita di rahim Ibu.
Hm, romantika kehidupan: ada gembira,
ada sedih; ada hujan, ada kemarau; ada kaya, ada miskin; ada berani, ada takut;
ada benar, ada salah; ada sabar, ada nafsu; ada malaikat, ada setan; ada rindu,
ada muak; ada cinta, ada benci; … dan hasbunal-Laah wa
ni’mal-Wakiil (cukuplah Allah [menjadi Penolong] bagi kami
dan Dia sebaik-baik Pelindung, Q.s. Aali ‘Imraan/3: 173, Terjemah
Al-Qur’an, Kemenag, 2012).
Masalah hidup adalah ciri makhluk hidup. Konon,
yang pede, orang hebat, itu ialah yang cari masalah sekaligus menyelesaikannya.
Seiring bertambahnya usia alias berkurangnya jatah hidup, kita semakin tahu; seharusnya
seperti padi menguning alias harus semakin tahu diri; semakin merunduk; tapi bukan
pula ‘merunduk’ seperti seluruh generasi kiwari (zaman now), yang semuanya
fokus ke hape itu, bahwa di balik
masalah, selalu ada hikmah.
Di usia bayi, sakit apa atau ada apa-apa
disebut sebagai pertanda bahwa bayi akan bisa atau akan nambah anu. Kata ‘bertambah’ mengandung makna ‘semakin’
atau ‘lebih’. Bertambah usia berarti usia kita lebih tua dari tahun kemarin. Bertambah
usia anak kita berarti semakin tipis dompet kita. Bertambah jumlah penduduk
bermakna jalanan semakin macet sekaligus kompetisi hidup semakin meningkat. #Adendum:
kota identik macet; macet pemicu stres;
orang kota itu orang stres.
Preman bilang: “Lelaki dibesarkan jalanan!”
(baca: dibesarkan ‘masalah’ dan tanpa buku harian, tetapi urat-oret jejak embara, vandal di gerbang, rolling
door, tembok, … sepanjang jalan, hehe). Agamawan bilang: “Masalah hidup
adalah ujian keimanan” atau “Sakit itu tanda Tuhan sayang ke kita.” Menurut ekonom,
masalah itu jika rugi; menurut politikus, jika kagak kepilih lagi. Penyair bilang: “Terima kasih, cinta,
sakiti aku terus, puisiku beranak-pinak!” Eh, penyanyi ber-tralala-trilili:
“Nyanyikan tangis, marah, dan cinta,” dia olangan wéh yang untung (?).
Ya, selalu ada hikmah. Biasanya, kita lelet paham, padahal masalah itu rahmat yang tersamar
(blessing in disguise).
Jalani hidup
Tenang tenang tenanglah seperti karang
Sebab persoalan bagai gelombang
Tenanglah tenang, tenanglah, Sayang
(“Lagu Satu” Iwan Fals)
Kita seperti ‘sepakat’ bahwa orang beruntung itu orang
sabar karena seperti karang. Cadas, Man!
Sederhana kok rahasia
hidupnya: “Rajin pangkal pintar, hemat pangkal kaya.” Berarti, orang sabar itu pencinta
sejati karena dia mencintai kehidupan (Keabadian, al-Baaqii, salah satu sifat
Tuhan), bukan mencintai dunia yang jelas fana!
Hihi, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
kasih contoh kata keratabasa itu ‘benci’ alias benar-benar cinta. “Biasanya
untuk lelucon,” katanya. Seperti ‘jahat’ (jatuh hati) atau ‘sebel’ (senang betul). Kalau cius (serius), tentu ‘benci’ itu antonim ‘cinta’. Kita
bisa rasakan sendiri kok; cinta atau benci itu dapat menjadi ‘energi’ (stimulan)
kerja dan karya kita; bahkan kinerja kita--jika dinilai dengan nurani--akan bersuara
jujur: beraura-berdampak positif atau negatif!
Jangan terlalu jauhlah. Yang menilai
objektif, tentu orang lain; dan biar gak capek, tentu the final of
evaluasi itu (hanya) hak Tuhan.
Olala, jangan OMDO (omong doang),
cinta itu bukti, BUKTIKAN!! Cinta itu memberi, bukan take and give (ambil dan beri) karena #bukan sedang
berbisnis. Inilah yang membuat saya ‘gegana’ insani: siapa yang rela mati karena/untuk
saya? Heuheu, memang blunder; katanya: jangan syirik, kok beri bad influence?!
Saya siap mati demi istri-anak! (ini syirik).
Apakah istri-anak siap mati demi saya? (ini bisnis). Itulah, saya bukan Nabi. Itulah,
mengapa Muhammad menjadi kekasih Allah; bahkan Allah (dan seluruh makhluk-Nya)
bershalawat untuk Nabi, sebagai bukti cinta dengan mendoakan kebaikan bagi Nabi,
sekaligus bukti bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai makhluk yang paling dicintai di
alam semesta.
Hm, sungguh hidup yang bermakna
jika kita #dicintai ... Lakadalah, ada juga lho yang pengen #dihormati atau #ditakuti karena merasa terhormat
atawa adidaya! Cuciaaan dech
kamu … Semoga lekas tahu diri, #Trump, eh!
Gimana sih teori dan praktik cinta, gaya bercinta, atau cara
Nabi mengeja ‘cinta’? Pengen dong … Ane juga lagi ngeja, Non … Selisik (googling)
aja olangan, BroBray, jadi kita belajar bareng mengeja ‘cinta’.
Cinta itu
Menurut KBBI, #cinta itu: (1) suka sekali; sayang
benar; (2) kasih
sekali; terpikat (antara laki-laki dan perempuan); (3) ingin sekali; berharap sekali; rindu; dan (4) susah hati
(khawatir); risau; #cinta_bebas:
hubungan antara pria dan wanita berdasarkan kemesraan, tanpa ikatan berdasarkan
adat atau hukum yang berlaku; #cinta_monyet: (rasa) kasih antara laki-laki dan
perempuan ketika masih kanak-kanak (mudah berubah).
Selanjutnya mohon maaf, saya baru sempat #membaca
‘cinta’ via “Al Quran Digital Versi 2.1”, Website: http://www.alquran-digital.com,
E-mail: info@alquran-digital.com.
Klik search, ketik ‘cinta’, kemudian saya pilih lima ayat berikut:
Q.s. 3: 31, Katakanlah: “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Q.s. 8: 61, Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya
dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.
Q.s. 9: 103, Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan[658]
dan mensucikan[659] mereka dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
[658]. Maksudnya: zakat itu
membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[659]. Maksudnya: zakat itu
menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta
benda mereka.
Q.s. 49: 7, Dan ketahuilah olehmu
bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa
urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu
indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan,
dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus,
Q.s. 56: 37, Penuh cinta lagi sebaya umurnya.
(Dimohon bandingkan terjemah ayat-ayat
tersebut dengan Muhammad Shohib dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya [Jakarta:
Kemenag RI, 2012 atau terbitan terbaru]).
Kata kunci kelima ayat tersebut adalah (1)
cinta Allah, ikuti rasul-Nya alias kekasih-Nya, berarti suka Yang Benar (Q.s.
3: 31); (2) condong damai berarti suka yang damai (Q.s. 8: 61); (3) bersih hati, suci jiwa terhadap harta
berarti suka yang sederhana (Q.s. 9: 103); (4) cinta itu iman dan iman
itu indah, antonimnya: benci itu kafir, fasik, dan durhaka, yang berarti fitrah
manusia suka yang indah (Q.s. 49: 7); serta (5) sebaya atau sekufu berarti suka
yang seimbang (Q.s. 56: 37).
Dengan demikian #bacaan saya terhadap Quran,
#cinta_itu adalah:
1.
Suka
kebenaran (Q.s. 3: 31).
2.
Suka
kedamaian (Q.s. 8: 61).
3.
Suka
kesederhanaan (Q.s. 9: 103).
4.
Suka
keindahan (Q.s. 49: 7).
5. Suka keseimbangan (Q.s. 56: 37).
Alinea di atas, saya kirim juga kepada seorang kawan baru
yang keukeuh nanya via WA: cinta itu
apa, bagaimana menurut Islam, dan mana dalilnya? Kemudian dia nanya lagi: bagaimana cinta menurut Hadis?
‘Cinta’ menurut Hadis (Hadiits), belum saya
selisik secara saksama. Alinea di bawah merupakan alinea ‘terpaksa’ dihadirkan karena
kawan baru itu seperti ngebet kawin
saja. Saya jawab sebagai berikut (kata/frasa diapit tanda ‘*’ menjadi huruf
tebal di aplikasi WA):
Kalo *cinta versi Hadis* tentu
lebih banyak, tinggal tanya ke *Ustadz Gugel* hehe; mungkin yang masyhur (
*redaksi Hadis* jadi tidak tepat dari saya, tolong cek sendiri ya) seperti: Pemuda-pemudi
yang cinta dan benci karena Allah, dijamin akan dilindungi di Hari Kiamat. Orang
ketiga dari sepasang kekasih yang sedang berpacaran ialah Setan. Menikahi
perempuan karena (a) kekayaannya, (b) kecantikannya, (c) keturunannya, dan (d)
agamanya. Pilihlah perempuan karena agamanya = inilah *cinta abadi*.
Siapa yang mencintai (baca:
menyembah) Muhammad, Muhammad telah mati; tetapi siapa yang mencintai Allah,
Dia hidup = *cinta benar* alias *tidak syirik* (ini *atsar*, jejak, Abu Bakar
Siddiq r.a., bukan Hadis); apalagi *TAHTA* (cinta harta & wanita)--Dunia
ini canda dan tipuan; atau dunia dan wanita adalah perhiasan, sebaik-baik perhiasan
ialah wanita shalihah (bisa jadi ini Quran, bukan Hadis)--Berdoalah minta
*pasangan hidup* dengan Q.s. 25: 74.
Bekerjalah seakan-akan kamu akan
hidup selamanya, beribadahlah seakan-akan kamu akan mati besok = *cinta
seimbang* (ini *atsar* ‘Ali bin Abi Thalib r.a., bukan Hadis, kalo Quran-nya
lihat Q.s. 28: 77). Jangan terlalu cinta, nanti benci; jangan terlalu benci,
nanti cinta (boleh jadi ini *hikmah/kata mutiara*, bukan Hadis).
… ‘met
ber-cinta karena Allah SWT, Bro.
Waduh, kalo udah chatting, jadi lupa waktu, kalo
pesbukan juga … #hajeuh! Jadi
teringat slogan di akun medsos sendiri dan semoga tidak … jadi wéh kabura
maqtan (Q.s. 61: 3), yakni ‘sangatlah
dibenci’ Allah jika saya sekadar jago di atas kertas.
Berarti, #cinta_ideal (standar = sejati) itu, ya gaya bercinta
Nabi Muhammad SAW karena telah teruji dan terpuji di lapangan, sehingga didokumentasi
dalam Quran sebagai uswah hasanah (teladan yang baik) di mana kick-off-nya
adalah ibda’ bi nafsi (mulai dari
diri-sendiri), lakukan dulu apa yang dikatakan; tidak akan menyuruh umat, apa yang
tidak dilakukan Beliau.
Hayoh, siapa lagi yang jago meng-gocek (dribbling)
#bola_cinta dengan indah sesuai pakem (ketentuan)
ilahiah? Padahal sudah ma’shum (dijamin
suci-dosa), tetep ber-istighfar;
sudah menjadi kekasih Tuhan, tetep ‘gegana’, bahkan hingga detik sakratulmaut-nya,
Beliau masih memikirkan nasib orang lain, mencintai umatnya, bukan dirinya (shallaallaahu’alaamuhammad
shallallaahu’alaihiiwasallam).
Yang muda, yang pernah muda, belajarlah sepanjang hayat,
bersama mengeja Cinta. Kita mengerti pun belum, tapi woles saja, ini prerogatif Tuhan. Kita mah berproses terus (in fieri): belajar-praktik,
belajar praktik, terus … Cepat atawa lambat, ada hukum kausalitas: cinta atau benci
yang kita tanam? Wa Allaah a’lam.
Ujungberung, 13 Desember 2017, 06.21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar