![]() |
Uang Jangan Parkir; sumber image: https://id.wikipedia.org/wiki/Rambu_parkir,akses: 21/12/2016 |
Konon di zaman Sahabat Nabi Muhammad SAW, zakat dikelola oleh Negara. Kewajiban zakat ini berlaku juga bagi non-muslim; Negara dan non-muslim saling bargaining position. Justru kepada muslim yang tidak bayar zakat, Negara memerangi mereka. Karena zakat, selain kewajiban beragama, juga kewajiban bernegara. Artinya, operasionalisasi bernegara tidak akan berjalan tanpa zakat.
Badan Negara pengelola zakat itu disebut ‘Baitul Maal’ (rumah
harta). Badan ini semacam solisitor, layaknya bank, yakni penghimpun dan
penyalur zakat. Tupoksi Baitul Maal seperti solisitor APBN/APBD. Kita masygul dengan
istilah ‘bantuan dari Pemerintah’; kita ingatkan menjadi ‘kewajiban dari
Pemerintah’. Kemudian ‘bansos’ atau ‘hibah’ dari Pemerintah semacam peruntukan zakat
bagi ‘delapan kelompok’ (mustahiqq, yang berhak, lihat QS 9: 60).
Di kita, Indonesia, ada dikotomi bahwa ‘zakat’ itu kewajiban
beragama, sedangkan ‘pajak’ kewajiban bernegara. Untunglah, doktrin Islam ‘meringankan’
umatnya bahwa pembayaran zakat setelah pembayaran pajak; bahkan zakat tidak
diwajibkan jika benar punya utang dan tanggungan (nafkah) yang tidak terpenuhi seperti
kebutuhan makan sehari-hari dengan ukuran minimalis alias tidak makan, malah ia kandidat mustahiqq.
Sungguh banyak amanat dari konstitusi Negara dan dari doktrin agama yang bisa ‘diemban-selesaikan’ oleh pajak dan zakat.
Esai ini sebenarnya kiriman ulangan (reposting), bahkan
rewind, dengan maksud usulan/imbauan kepada yang berwenang agar zakat
dikelola oleh Negara. Mengapa? Karena zakat memang kewajiban beragama dan umat
beragama tentu care dengan keberlangsungan negaranya alias hubbul
wathan (cinta Negara), apalagi atas nama Sila Pertama yang mendasari
keempat Sila lainnya.
Tesis kini: pajak dikelola Negara, zakat dikelola Baznas
(Negara) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat, swasta). Studi kasus, misalnya: di UUD 1945
Pasal 34 ayat 1, tidak dibedakan ‘fakir’ dengan ‘miskin’, sedangkan di QS 9: 60
dibedakan, jelas akan beda penanganannya; contoh: koruptor itu ‘fakir’ (patah
arang), maka sita asetnya oleh Negara, beri zakat! Kemudian kasus aplikasi semangat
reformasi (transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas): mana cash-flow
pajak atau apakah hanya amil (1/8) yang reguler per bulan mendapat zakat, bagaimana
dengan yang 7/8 mustahiqq lainnya?
Versi saya, mestinya cash-flow Nol Rupiah (Rp 0,-)
ketika amil zakat mendapat hak per bulannya karena ini berarti telah dibagikan kepada
hak 7/8 lainnya. Hitungan sederhananya, jika per bulan Baznas/LAZ mendapat Rp 8
juta, maka yang 8/8 mendapat Rp 1 jt, sehingga laporan di akhir bulan adalah Rp
0,-. Jika ada istilah ‘organisasi’ Baznas/LAZ harus selalu ada ‘dana segar’ itulah
risiko amil alias diambil dari jatah/hak amil. Nanti,
pengelola Baitul Maal ini diangkat jadi PNS atau honorer.
Kepada amil zakat, jangan khawatir jika 7/8 berbohong
sebagai mustahiqq, selain mendapat
dosa karena berbohong, juga mendapat sanksi pidana dari Negara; amil sekadar
solisitor (penghimpun & penyalur zakat dari muzakki). Titik!
Mengapa saya reposting dan rewind materi esai
ini? Serius, cobalah blusukan (jangan nunggu ‘bola’) dan self-question:
mengapa BPR/Kosipa semakin menggurita dan rentenir semakin menggila?
Baitul Mall
Nah, ini lagi ‘mall’ yang semakin trendy. Di
dalamnya, saya yakini—sebenarnya—seperti Baitul Maal juga. Karena ada pajak,
ada CSR (Corporate Social Responsibility, baca: zakat), bahkan
bansos/hibah seperti voucher gratis atau door-prize.
Kemudian yang ‘fenomenal’ kasus ‘antre’ dan manajemen ‘parkir’
di fasilitas swasta. Wow, menakjubkan dan pemasukan yang menggiurkan! Di
sini, saya mengingatkan kepada UUD 1945 Pasal 33 ayat 2, “Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara.” Maksud saya, jika antre (antri) dan parkir di fasilitas swasta
itu sampai ‘memusingkan’ kita (baca: ‘merugikan’ mayoritas Rakyat), saya usul:
BUMN/BUMD-kan! Tentu pengelola mall menjadi karyawan BUMN/BUMD, biar Pemerintah suci dari tuduhan mendukung premanisme. Silakan menjadi
self-explanatory.
Kepada akuntan atau ekonom, tentu lebih mafhum daripada
saya, semoga mau menindaklanjuti dengan mengutak-atik maksud saya. Terima kasih.
Bandung, 21 Desember 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar