Pengantar
Awalnya, esai ini
diikutsertakan pada Blogger Competition by sebuah medsos mainstream. Namun,
kiranya, kurang berkenan bagi Yth. Editor-nya bl bla bla. Bagi saya, apa
yang ‘tersaksikan’ kemudian ngendon di benak harus di-share = ini mungkin salah
satu makna #Semangat_Gratisan ala
Jurnalisme Warga.
Pengertian Agama dan Budaya
Mari
mengutip KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), agar kita sepakat dulu apa
itu agama dan budaya. ‘Agama’ adalah ajaran, sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya; sedangkan ‘budaya’ adalah 1 pikiran; akal budi, 2
adat istiadat, 3 sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang
(beradab, maju), dan 4 sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah
sukar diubah (Sumber: KBBI Offline 1.5.1).
Apa
yang diperoleh dari dua definisi di atas: persamaan atau perbedaan? Menurut
saya, masih samar. Silakan telusuri etimologi atau sinonim-nya, saya hanya akan
mencoba ungkap sisi semantik atau semiotik kedua kata tersebut (Ini pun tentu
subjektif karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Mohon maaf,
semoga ada yang berkenan mengoreksi, terima kasih).
Ternyata,
dari definisi itu memberi anteseden (informasi asal) kepada saya bahwa agamawan
di Indonesia menjadi bingung untuk berbudaya. Karena Indonesia bukan negara
agama atau Tuhan (Teokrasi), sedangkan ‘agama’, khususnya frasa ‘mengatur
pergaulan sesama manusia’, menyuruh agamawan untuk berbudaya sesuai agama yang
dianut. Di sisi lain, disepakati pula bahwa RI hanya mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara, bukan bermasyarakat (termasuk kehidupan beragama,
malah berbudaya itu sendiri karena RI terdiri dari ratusan budaya /adat).
Nah,
kampanye sebuah medsos mainstream: “Kita
Beragama, Kita Berbudaya” ini sebuah PR (pekerjaan rumah) Besar, khususnya sejak
Indonesia merdeka, dan ber-hipotesis: taken for granted alias sembuh oleh waktu (mengalir saja).
Beragama dan Berbudaya Saya
Saya
ngerti ‘agama’ dari kamus
berbahasa Indonesia (KBBI). Misalnya dari entri ‘agama’ (lihat ‘ber-agama’)
dengan ‘dakwah’, mengingatkan saya kepada klasifikasi ‘Islam’ yang dibuat
ulama, yakni: akidah (memeluk), syariat (mempelajari), dan akhlak
(mengamalkan). Definisi ‘agama’ dari KBBI di atas merupakan perwujudan
ber-budaya yang seharusnya (de jure) dilakukan muslim.
Fakta,
saya hidup di Indonesia. Fakta lain, saya lahir dan besar di milieu adat Sunda.
Jadi, apa budaya saya atau saya harus berbudaya apa?
Ketika
berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat, saya berbudaya Sunda; ketika
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, saya berbudaya
Indonesia. Apa sih budaya
Indonesia itu? Lalu, di mana-ke mana budaya Islam saya?
Seiring
bertambahnya usia (baca: berkurangnya jatah hidup), saya mulai menghimpun
definisi-definisi ‘kehidupan’. Misalanya soal ‘beragama’, pertama,
pemahaman termasuk hidayah beragama itu hak—prerogatif—Tuhan, contoh masyhur
dalam peradaban Islam: Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW yang bukan muslim,
padahal beliau pendukung sekaligus pelindung dakwah Nabi.
Kedua, pengamalan
beragama itu hak individu (setiap muslim), seperti telunjuk digerak-gerakkan
atau tidak ketika tahiat di salat, mau niat salat diucapkan atau tidak dsb.
Karena soal fikih adalah masalah interpretasi individu kepada syariat; dan ketiga,
penilaian beragama (seseorang itu mukmin atau kafir), kembali, itu
hak—prerogatif—Tuhan, biar kita ndak capek! Kita mah berproses weh, ikhtiar sepanjang masa,
Tuhan dan kita sesungguhnya telah tahu kok ‘akhir’ kita—ketika perjanjian primordial (4
bulan dalam kandungan ibu kita, lihat Qs 7: 172 serta Hr Bukhari dan Muslim).
Tetapi
kembali, dalam kehidupan ‘berbudaya’ (berbangsa dan bernegara), saya
kebingungan harus berbudaya apa di Indonesia, di RI ini? (Hal ini, kembali,
semoga menjadi concern bersama
sekaligus menjadi konsiderans para pimpinan rakyat dan umat di Indonesia).
Berbudaya Pancasila, Beragama Apa?
Lahirnya
UKP-PIP (Unit Kerja Presiden - Pembinaan
Ideologi Pancasila)
pada 7 Juni 2017, dengan Yudi Latief sebagai Kepala, apakah
sebuah progres atau tautologi?
Klaim
dari Yudi bahwa ekspektasi publik sangat
besar, namun kewenangannya terbatas. Nah, lho?
(Akhirnya,) Yudi Latief berharap
partisipasi kita, yang disebutnya ‘gembala-gembala komunitas’, yakni
simpul-simpul atau relawan-relawan dari berbagai komunitas, yang terdiri dari
rohaniawan, budayawan, sineas, jurnalis, dan ketua-ketua adat itu, serta akan
dijaring di dalam suatu konektivitas supaya sama-sama melakukan pengisian
bersama-sama bertanggung jawab di dalam merawat Pancasila.
Pemahaman
saya, Pancasila inilah falsafah sekaligus
manifestasi budaya Indonesia (de facto).
Pertanyaannya, apakah Pancasila
ekuivalen dengan agama (Islam) atau apakah Pancasila itu ‘agama Indonesia’?
Menurut
Quraish Shihab, indikator layak disebut ‘agama’, minimalnya ada tiga, yakni:
(1) ada yang disembah (Tuhan, God, Ilaah, Allah--mengenalkan diri-Nya sendiri,
lihat Qs 20: 14 atau 40: 62), (2) ada utusan-Nya, dan (3) ada kitab-Nya.
Berarti jelas, Pancasila bukan agama!
Kemudian, menarik komentar Yudi
Latief di televisi, “Negara kita bukan Negara Agama, tetapi Negara
Berketuhanan.” Mungkin, Yudi mengomentari Sila Pertama Pancasila, yang
(seharusnya) melandasi Ke-4 Sila lainnya. Saya pribadi, jika ada yang bertanya
siapa Tuhanmu? Sebagai orang Indonesia, saya jawab: “Tuhan YME.” Sebagai
muslim, saya jawab: “Alloohu Ahad” atau “Allah SWT.”
Nomenklatur
‘agama’ dan ‘budaya’ di Indonesia urgen—selalu—diidentifikasi, terlebih
relevansinya dengan revolusi industri 4.0 (era digitalisasi), sehingga
diharapkan tidak terjadi missing link
sejarah.
Misalnya,
semoga menjadi konsiderans para pimpinan Zaman Now, perlunya sosialisasi
dikotomi bahwa agama itu ‘produk’ Tuhan, sedangkan budaya itu produk manusia.
Kemudian
soal dakwah Walisongo yang (seharusnya) tidak melahirkan asumsi mengajarkan
sinkretisme. Karena menurut Alm. Nurcholish Madjid, Islam masuk ke Indonesia
dengan penetration pacifique (perembesan damai). Serta the last but not
the least, soal ‘batik’. Menurut
saya, seragam KORPRI, seragam sekolahan dsb, jika disebut ‘batik’ adalah
pengkhianatan kepada satu dari empat pilar berbangsa dan bernegara (NKRI) kita,
yaitu berkhianat kepada BTI (Bhinneka Tunggal Ika)!
Di perkuliahan, saya memperoleh
teori ‘benar’, yakni menurut logika (benar-salah), etika (baik-buruk), dan
estetika (indah-jelek). Kemudian amanat ayah saya, “Benar itu menurut agama,
masyarakat, negara, dan kita. Apakah kita akan memaksakan kebenaran versi kita?”
Saya akan memegang amanat dari ayah
saya alias tidak akan memaksakan kebenaran versi saya, karena saya bagian dari
Islam, Sunda, dan Indonesia saya. Tetapi saya akan menentang jargon: “Semua
agama benar!” Kecuali, bolehlah “Semua agama baik” atau “Semua budaya baik.” Nah,
semoga yang berkompeten men-sosialisasi-kan juga masalah batas-batas toleransi,
sehingga tulisan soal agama dengan budaya tidak dinilai sebagai sebuah upaya
mempertentangkan.
Hihi, esai senandika ini akhirnya tidak memberi solusi, kecuali
malah idem menambah PR Besar dari kampanye sebuah medsos mainstream itu. Wa Allooh a’lam.
Bandung,
17 Desember 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar