Balad OMO

Senin, 17 Desember 2018

Agama dan Budaya Saya



Pengantar

Awalnya, esai ini diikutsertakan pada Blogger Competition by sebuah medsos mainstream. Namun, kiranya, kurang berkenan bagi Yth. Editor-nya bl bla bla. Bagi saya, apa yang ‘tersaksikan’ kemudian ngendon  di benak harus di-share = ini mungkin salah satu makna #Semangat_Gratisan ala  Jurnalisme Warga.

Pengertian Agama dan Budaya

Mari mengutip KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), agar kita sepakat dulu apa itu agama dan budaya. ‘Agama’ adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya; sedangkan ‘budaya’ adalah 1 pikiran; akal budi, 2 adat istiadat, 3 sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju), dan 4 sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah (Sumber: KBBI Offline 1.5.1).
Apa yang diperoleh dari dua definisi di atas: persamaan atau perbedaan? Menurut saya, masih samar. Silakan telusuri etimologi atau sinonim-nya, saya hanya akan mencoba ungkap sisi semantik atau semiotik kedua kata tersebut (Ini pun tentu subjektif karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Mohon maaf, semoga ada yang berkenan mengoreksi, terima kasih).
Ternyata, dari definisi itu memberi anteseden (informasi asal) kepada saya bahwa agamawan di Indonesia menjadi bingung untuk berbudaya. Karena Indonesia bukan negara agama atau Tuhan (Teokrasi), sedangkan ‘agama’, khususnya frasa ‘mengatur pergaulan sesama manusia’, menyuruh agamawan untuk berbudaya sesuai agama yang dianut. Di sisi lain, disepakati pula bahwa RI hanya mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan bermasyarakat (termasuk kehidupan beragama, malah berbudaya itu sendiri karena RI terdiri dari ratusan budaya /adat).
Nah, kampanye sebuah medsos mainstream: “Kita Beragama, Kita Berbudaya”  ini sebuah PR (pekerjaan rumah) Besar, khususnya sejak Indonesia merdeka, dan ber-hipotesis: taken for granted  alias sembuh oleh waktu (mengalir saja).

Beragama dan Berbudaya Saya

Saya ngerti  ‘agama’ dari kamus berbahasa Indonesia (KBBI). Misalnya dari entri ‘agama’ (lihat ‘ber-agama’) dengan ‘dakwah’, mengingatkan saya kepada klasifikasi ‘Islam’ yang dibuat ulama, yakni: akidah (memeluk), syariat (mempelajari), dan akhlak (mengamalkan). Definisi ‘agama’ dari KBBI di atas merupakan perwujudan ber-budaya yang seharusnya (de jure) dilakukan muslim.
Fakta, saya hidup di Indonesia. Fakta lain, saya lahir dan besar di milieu adat Sunda. Jadi, apa budaya saya atau saya harus berbudaya apa?
Ketika berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat, saya berbudaya Sunda; ketika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, saya berbudaya Indonesia. Apa sih  budaya Indonesia itu? Lalu, di mana-ke mana budaya Islam saya?
Seiring bertambahnya usia (baca: berkurangnya jatah hidup), saya mulai menghimpun definisi-definisi ‘kehidupan’. Misalanya soal ‘beragama’, pertama, pemahaman termasuk hidayah beragama itu hak—prerogatif—Tuhan, contoh masyhur dalam peradaban Islam: Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW yang bukan muslim, padahal beliau pendukung sekaligus pelindung dakwah Nabi.
Kedua, pengamalan beragama itu hak individu (setiap muslim), seperti telunjuk digerak-gerakkan atau tidak ketika tahiat di salat, mau niat salat diucapkan atau tidak dsb. Karena soal fikih adalah masalah interpretasi individu kepada syariat; dan ketiga, penilaian beragama (seseorang itu mukmin atau kafir), kembali, itu hak—prerogatif—Tuhan, biar kita ndak capek!  Kita mah  berproses weh, ikhtiar sepanjang masa, Tuhan dan kita sesungguhnya telah tahu kok  ‘akhir’ kita—ketika perjanjian primordial (4 bulan dalam kandungan ibu kita, lihat Qs 7: 172 serta Hr Bukhari dan Muslim).
Tetapi kembali, dalam kehidupan ‘berbudaya’ (berbangsa dan bernegara), saya kebingungan harus berbudaya apa di Indonesia, di RI ini? (Hal ini, kembali, semoga menjadi concern  bersama sekaligus menjadi konsiderans para pimpinan rakyat dan umat di Indonesia).

Berbudaya Pancasila, Beragama Apa?

Lahirnya UKP-PIP (Unit Kerja Presiden - Pembinaan Ideologi Pancasila) pada 7 Juni 2017, dengan Yudi Latief sebagai Kepala, apakah sebuah progres atau tautologi?
Klaim dari Yudi bahwa ekspektasi publik sangat besar, namun kewenangannya terbatas. Nah, lho?
(Akhirnya,) Yudi Latief berharap partisipasi kita, yang disebutnya ‘gembala-gembala komunitas’, yakni simpul-simpul atau relawan-relawan dari berbagai komunitas, yang terdiri dari rohaniawan, budayawan, sineas, jurnalis, dan ketua-ketua adat itu, serta akan dijaring di dalam suatu konektivitas supaya sama-sama melakukan pengisian bersama-sama bertanggung jawab di dalam merawat Pancasila.
Pemahaman saya, Pancasila inilah falsafah sekaligus manifestasi budaya Indonesia (de facto).
Pertanyaannya, apakah Pancasila ekuivalen dengan agama (Islam) atau apakah Pancasila itu ‘agama Indonesia’?
Menurut Quraish Shihab, indikator layak disebut ‘agama’, minimalnya ada tiga, yakni: (1) ada yang disembah (Tuhan, God, Ilaah, Allah--mengenalkan diri-Nya sendiri, lihat Qs 20: 14 atau 40: 62), (2) ada utusan-Nya, dan (3) ada kitab-Nya. Berarti jelas, Pancasila bukan agama!
Kemudian, menarik komentar Yudi Latief di televisi, “Negara kita bukan Negara Agama, tetapi Negara Berketuhanan.” Mungkin, Yudi mengomentari Sila Pertama Pancasila, yang (seharusnya) melandasi Ke-4 Sila lainnya. Saya pribadi, jika ada yang bertanya siapa Tuhanmu? Sebagai orang Indonesia, saya jawab: “Tuhan YME.” Sebagai muslim, saya jawab: “Alloohu Ahad” atau “Allah SWT.”
Nomenklatur ‘agama’ dan ‘budaya’ di Indonesia urgen—selalu—diidentifikasi, terlebih relevansinya dengan revolusi industri 4.0 (era digitalisasi), sehingga diharapkan tidak terjadi missing link  sejarah.
Misalnya, semoga menjadi konsiderans para pimpinan Zaman Now, perlunya sosialisasi dikotomi bahwa agama itu ‘produk’ Tuhan, sedangkan budaya itu produk manusia.
Kemudian soal dakwah Walisongo yang (seharusnya) tidak melahirkan asumsi mengajarkan sinkretisme. Karena menurut Alm. Nurcholish Madjid, Islam masuk ke Indonesia dengan penetration pacifique  (perembesan damai). Serta the last but not the least,  soal ‘batik’. Menurut saya, seragam KORPRI, seragam sekolahan dsb, jika disebut ‘batik’ adalah pengkhianatan kepada satu dari empat pilar berbangsa dan bernegara (NKRI) kita, yaitu berkhianat kepada BTI (Bhinneka Tunggal Ika)!
Di perkuliahan, saya memperoleh teori ‘benar’, yakni menurut logika (benar-salah), etika (baik-buruk), dan estetika (indah-jelek). Kemudian amanat ayah saya, “Benar itu menurut agama, masyarakat, negara, dan kita. Apakah kita akan memaksakan kebenaran versi kita?”
Saya akan memegang amanat dari ayah saya alias tidak akan memaksakan kebenaran versi saya, karena saya bagian dari Islam, Sunda, dan Indonesia saya. Tetapi saya akan menentang jargon: “Semua agama benar!” Kecuali, bolehlah “Semua agama baik” atau “Semua budaya baik.” Nah, semoga yang berkompeten men-sosialisasi-kan juga masalah batas-batas toleransi, sehingga tulisan soal agama dengan budaya tidak dinilai sebagai sebuah upaya mempertentangkan.
Hihi, esai senandika ini akhirnya tidak memberi solusi, kecuali malah idem menambah PR Besar dari kampanye sebuah medsos mainstream itu. Wa Allooh a’lam.

Bandung, 17 Desember 2018.