Dalil:
1.
Niat jadi imam shalat (innamal-a’maalu binniyyaati, HR
Bukhari & Muslim).
2.
Yang menjadi imam pada satu kaum itu hendaklah yang lebih mengerti
isi kitab Allah; kalau mereka bersamaan tentang mengerti isi Kitab itu
hendaklah yang lebih mengerti Sunnah; kalau mereka bersamaan tentang itu
hendaklah yang lebih dahulu Hijrah (ke Madinah); kalau mereka bersamaan tentang
Hijrah itu hendaklah yang lebih tua umurnya; dan seseorang janganlah menjadi
imam bagi orang di tempat kekuasaan orang itu; dan janganlah ia duduk di rumah
seseorang di tempat yang tertentu bagi orang itu, melainkan dengan izinnya (HR
Muslim).
3.
Apabila mereka itu bertiga,
hendaklah seorang dari mereka menjadi imam, tetapi yang lebih patut jadi imam, ialah yang lebih mengetahui (isi Quran) (HR Muslim).
4.
Telah berkata Maalik bin
al-Huwairits: Saya pernah datang kepada Nabi SAW bersama sahabat saya. Di waktu
kami mau kembali, sabda Nabi SAW kepada kami: Apabila sampai waktu shalat
hendaklah kamu adzan, lalu hendaklah kamu qaamat dan hendaklah orang
yang tua di antara kamu menjadi imam (HR
Muslim).
5.
Apabila seorang dari kamu
shalat jadi imam bagi orang ramai, hendaklah ia
lekaskan, karena di antara yang turut ada yang lemah, ada yang sakit, ada yang
tua, tetapi apabila seorang dari kamu shalat sendiri, bolehlah ia panjangkan
seberapa maunya (HR Muslim).
6.
Tidak halal seorang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian itu menjadi imam
pada satu kaum melainkan dengan izin mereka; dan janganlah ia berdoa untuk
dirinya saja; kalau ia berbuat begitu, berarti ia khianat kepada mereka (HR
Abuu Daawuud) à doa dengan niat
‘iqtibas’ (mengganti redaksi ayat Quran ‘saya’ dengan ‘kami’).
Sumber: A. Hassan, Pengajaran Shalat (Bandung: CV
Diponegoro, XVIII: 1980), hlm. 246-256.
Dalil no. 5 (HR Bukhari & Muslim) ß QS 73: 20.
Dalil no. 2 (HR Ahmad & Muslim).
7.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar:
Telah berkata Rasulullah SAW: Allah tidak menerima shalat orang yang menjadi imam di antara satu kaum, sedang mereka benci
kepadanya (HR Abu Daud & Ibnu Majah).
Sumber: Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Jakarta:
Attahiriyah, XVII: 1976), hlm. 111 dan 117.
Catatan:
1.
Belajar TAJWID itu fardlu
kifayah, mempraktikannya dalam membaca Quran adalah fardlu ‘ain (A.
Mas’ud Syafi’i, Pelajaran Tajwid, Bandung: Putra Jaya, I: 1967), hlm. 2
(supaya lihat QS al-Muzzammil/73: 4).
2.
SUARA mu’adzin,
imam/khatib, atau qari … harus lantang/jelas terdengar makmum/mustami’, fasih,
dan tahsin (supaya lihat QS al-A’raaf/7: 204).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar