Dapatkah
manusia sampai kepada paham ketuhanan yang sesungguhnya jika tidak Tuhan
sendiri ‘menyampaikan’ pengertian itu kepadanya? (Djambek, 1956: 21)
Pendahuluan
Menikmati ateisme, mengapa tidak?
Apresiasi adalah penghargaan dan pemahaman atas suatu
hasil seni atau budaya. Ia memiliki lima tingkatan, yaitu (1) tingkat
penikmatan, (2) tingkat penghargaan, (3) tingkat pemahaman, (4) tingkat
penghayatan, dan (5) tingkat implikasi (Natawidjaja, 1982: 1-2).
Diandaikan ateisme itu ‘sebuah’ produk
seni-budaya, pada tingkatan apresiasi yang pertama: penikmatan; ateisme siap
dihidangkan, ditonton, ditelanjangi, dan dinikmati. Ateisme itu enak, gurih,
lezat, sedap, nikmat, yahud, pahit, asam,
hambar, tuyul jelek, sundal, ‘wadul’ dan seterusnya itu terserah Anda. Anda berhak
menilainya, memujinya, bahkan mengutuknya. Karena Anda mempunyai dimensi
spiritual, ‘ruh’, yang
mengantar Anda kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, penyesalan,
pengapkiran dan sebagainya (Shihab, 1995: 69).
Menikmati ateisme itu bisa enak, bisa tidak,
yang pasti pada tingkatan implikasi ia dilarang hadir di bumi tercinta ini.
Paper sederhana dengan judul “Menikmati Ateisme” ini
diajukan sebagai tugas mandiri pada mata kuliah Perbandingan Teologi Modern I.
Pola yang disajikan deskripsi-resumtif melalui pendekatan studi pustaka. Dengan
harapan bahwa sejarah, perkembangan (aliran-aliran besar ateisme) serta peranan
atau pengaruh para tokohnya dapat tergambarkan, dan siap dinikmati.
Kaitan antara ateisme dengan mata kuliah (Perbandingan
Teologi Modern I), K. Bertens (1992:
47) berpendapat: “Pendekatan teologis dalam studi agama dilakukan, terutama
dalam rangka membuktikan kebenaran agama, demikian juga yang dilakukan filsafat
agama.” Dengan asumsi ateisme sebagai ‘agama’—karena
disinyalir sebagai ‘agama baru’—di zaman modern ini, kaum agamawan ditantang untuk
membuktikan kebenarannya di tingkat intelektual dan filosofis. Karena ateisme
mendasarkan pengingkaran Tuhan atas alasan-alasan rasional.
Sejarah
Ateisme
Modernitas
ditandai oleh kreativitas manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan
hidupnya di dunia ini. Modernisme, khususnya seperti yang ada di Barat, adalah
suatu antroposentrisme yang hampir tak terkekang. Arnold Toynbee, seorang ahli
sejarah Oxford, Inggris, mengatakan bahwa modernitas telah mulai sejak
menjelang akhir abad ke-15 M, ketika orang Barat berterima kasih tidak kepada
Tuhan, tetapi kepada dirinya sendiri karena ia telah berhasil mengatasi
kungkungan Kristen Abad Pertengahan (Madjid, 1987: 3; Hidayat dan Nafis, 1995:
113). Ini artinya sejak abad itu orang Barat sudah tidak lagi percaya kepada
agama. Sejak itu orang Barat beralih kepercayaan, dari agama Kristen Gereja ke
ilmu pengetahuan, yang telah membuktikan kecanggihannya melalui teknologi, maka
sejak itulah ilmu pengetahuan diyakini bagaikan ‘agama baru’ yang mampu
menjawab berbagai kebutuhan manusia.
Hal
senada diungkapkan Sidi Gazalba (1984: vii) bahwa kota, di mana saja di dunia
kini, adalah pola kebudayaan Barat. Kebudayaan Barat merupakan suatu
manifestasi dunia modern. Dalam kebudayaan modern umumnya, kebudayaan Barat
khasnya, agama adalah problematik. Ada golongan yang menjawabnya dengan
sekularisme, ada dengan agnotisisme, dan ada pula dengan ateisme. Kehidupan
kota adalah materialis dan agama berkonfrontasi abadi dengan materialisme.
Padahal, menurut Djuretna A. Imam Muhni (1994: 24), persoalan agama itu
mencakup faktor imanen (moral) dan transenden, yang menjadi dasar bagi strategi
pembangunan yang menyeluruh, yaitu
masyarakat yang sejahtera. Dalam arti, agama berposisi dan berfungsi sebagai
penyeimbang material dan spiritual masyarakat kota (Muhni, 1994: 24).
Prasaran-prasaran
tersebut menunjukkan adanya fakta distorsi atau konversi kepercayaan tehadap Tuhan
Sang Penguasa, yakni penyimpangan objek sesembahan (object of devotion): manusia mengidolakan dirinya—idol, ‘berhala’—karena merasa tahu akan
makna dan tujuan hidup sebagai akibat dari kemampuan akalnya menciptakan
piranti modernitas. Karena itu, benarkah kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta peradaban kemanusiaan itu telah menyingkirkan Tuhan? Adakah tempat
untuk Tuhan di zaman serba-canggih ini? Atau, adakah Tuhan itu? Kita perlu
telusuri sebab-sebabnya.
Abad
kejatuhan manusia dari makhluk spiritual menjadi makhluk materialis adalah
akibat munculnya humanisme dalam panggung sejarah yang ditandai dengan adanya Renaissance, yakni kerinduan akan
nilai-nilai budaya luhur Yunani dan Romawi. Lewat corong Renaissance ini, humanisme mempromosikan potensi manusia melebihi
batas-batas fitrahnya. Humanisme memfigurkan manusia sebagai titik pusat alam
(antroposentris) yang bergerak ke arah pengukuhan manusia sebagai ‘Superman’.
Manusia yang merasa dirinya unggul karena penemuan sains dan teknologi lewat
otaknya, membuat ia bertambah ambisi untuk menaklukkan alam. Mereka menganggap
alam sebagai objek yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan
manusia.
Jiwa
masyarakat di abad ini tidak bersemi untuk membuahkan perilaku yang harum
sebagai makhluk Tuhan. Semua ini adalah hasil produksi agen humanisme, yakni
sekularisme yang mengemukakan gagasan dikotomi untuk memisahkan dunia dan
akhirat, yang mempunyai tiga dimensi: (1) kemanusiaan yang tidak bertuhan
(humanisme), (2) materi yang tidak bertuhan (materialisme), dan (3) perilaku
yang tidak bertuhan (ateisme) (Saefuddin, 1996: 3-4).
Perilaku
hidup manusia modern demikian, menurut Nurcholish Madjid (1993: 17), adalah
cerminan teralienasinya manusia oleh dirinya dan ciptaannya sendiri (iptek).
Sebagaimana disebutkan dalam Quran, surat al-Furqaan ayat 43 (QS 25: 43) bahwa
di antara manusia ada yang mengangkat keinginannya sendiri, pandangan
subjektifnya sendiri, sebagai Tuhan. Karena manusia itu (ateis) merasa telah
mengetahui makna dan tujuan hidupnya, sehingga dengan angkuh berslogan ria
seperti: “God is dead” (F.
Nietzsche), “Agama itu candu rakyat” (K. Marx), “Agama itu neurosis obsesional
universal” (S. Freud), dan A.N. Wilson, novelis dan wartawan Inggris, “Agama
itu lebih berbahaya dari candu”. Karena menurut mereka kepercayaan kepada Tuhan
bersifat mengasingkan (alienasi) (Leahy, 1993: 25).
Alienasi,
menurut Jalaluddin Rakhmat (Nafis, ed., 1996: 131), memang menjadi tema utama
ketika para cendekiawan—terutama kaum eksistensialis—berbicara tentang manusia
modern. Alienasi adalah makna yang diberikan kepada kejatuhan manusia ke bumi.
Ketika mereka dicampakkan (dan mencampakkan) Tuhan, mereka bukan hanya terasing
dari Tuhan. Mereka terasing dari alam, dari dunia, dan dari diri mereka
sendiri. Mereka terlempar ke dunia, tanpa mengetahui ke mana mereka harus
pergi. Mereka kehilangan arah. Mereka mengalami keterpisahan dari alam, dari
Tuhan, dari sesama manusia, dan dari dirinya sendiri.
Pertumbuhan
Ateisme
Ateisme
adalah suatu pandangan hidup yang tidak mengakui Tuhan secara konsepsional karena Tuhan tidak dapat
ditangkap dengan indera dan tidak dapat dirasakan secara langsung dalam bentuk
pengalaman. Tuhan hanya hadir dalam pikiran, tidak hadir dalam tindakan. Alam
dan manusia tidak mampu membuktikan Tuhan secara ilmiah karena begitu manusia
lahir alam sudah ada. Semuanya terjadi secara kebetulan. Mati dan hidup cuma
sebagai satu siklus alam yang berputar pada porosnya.
Di samping
konsepsional, ateisme juga muncul dalam pola perilaku yang nyata. Artinya
manusia begitu sibuk dengan materi sehingga acuh dengan Tuhan. Manusia tidak
punya waktu sedikit pun untuk merenungkan Tuhan, apalagi menghayati-Nya yang
kemudian menuruti perintah-Nya. Ateisme model begini banyak terdapat dalam
struktur kehidupan masyarakat di abad ini. Hanya manusia tidak begitu merasa
karena ia dibalut dengan sistem-sistem kehidupan yang merangsang selera, yang
mengandung kebutuhan dan kesempatan hanya untuk meraih kualitas hidup duniawi.
Inilah yang namanya ateisme ilmiah.
Masyarakat terjebak oleh format budaya yang materialis. Manusia dialihkan
perhatiannya, sehingga ia tidak punya kesempatan berdialog dengan Tuhannya,
mengembalikan fitrah bertuhan, sebagaimana transaksi yang terjadi di hadapan
Allah SWT ketika masih di dalam ruh (QS 7: 172). Sistem kehdupan manusia telah
memisahkan dari naluri berketuhanan. Walaupun tidak menolak Tuhan dalam bentuk
lisan, tetapi dia mengingkari Tuhan dalam bentuk perilaku (Saefuddin, 1996:
4-5).
Ateisme
berasal dari bahasa Yunani atheos
‘tanpa Tuhan’, yang berarti: (1) kepercayaan bahwa dewa-dewi atau Tuhan itu
tidak ada; (2) ketidakpercayaan pada eksistensi supernatural apapun yang
mempengaruhi jagat raya; (3) tiadanya keyakinan pada Tuhan tertentu. Orang
Yunani menamakan orang Kristen sebagai ateis karena tidak percaya pada
dewa-dewi mereka. Orang Kristen sebaliknya menyebut orang Yunani ateis karena
tidak percaya pada Tuhan mereka (Rosda, 1995: 26). Juga, menurut Louis Leahy (1993: 297-8), bahwa
ateisme berasal dari bahasa Yunani a
theos, ‘tanpa Allah’, yang berarti pengingkaran akan Allah. Seorang ateis praktis, meskipun yakin bahwa
Allah itu ada, namun hidupnya seolah-olah Allah tidak ada: cara hidupnya itulah
yang merupakan pengingkaran akan Allah. Seorang ateis teoretis percaya bahwa Allah tidak ada: ia menyangkal Allah
dengan akal budinya; ia menetapkan bahwa tidak ada Allah. Dalam materialisme
dan positivisme, yang menolak segala bentuk eksistensi rohani dan transenden,
terkandung suatu bentuk ateisme yang cukup radikal. Sedang panteisme, dalam berbagai
bentuknya, menolak ‘seorang’ Allah yang mempribadi dan transenden; namun degan
mengakui adanya sesuatu yang mutlak (hukum moral, nilai-nilai, keindahan, dll)
yang tidak sama denga dunia pengalaman kita, panteisme masih mempunyai suatu
akar kepercayaan akan Allah. Politeisme dan deisme tidak dapat disebut ateisme.
Senada
dengan itu, ateisme, menurut Lorens Bagus (1996: 94), ialah (1) Keyakinan bahwa
Tuhan, atau dewa/dewi tidak ada; (2) Pandangan yang menolak adanya yang
adikodrati hidup sesudah mati; (3) Kesangsian akan eksistensi yang adikodrati
yang diandaikan mempengaruhi alam semesta; (4) Tidak adanya keyakinan akan
Tuhan yang khusus (Orang-orang Yunani menyebutkan orang-orang Kristen ateis
karena tidak percaya kepada dewa/dewi mereka. Dan orang-orang Kristen menyebut
orang-orang Yunani ateis karena tidak percaya kepada Tuhan mereka; (5)
Penolakan semua agama; (6) Sehubungan dengan ini, panteisme dalam pelbagai
bentuknya menolak Tuhan yang transenden dan personal, tetapi mengenal dan
mengakui sesuatu yang mutlak (hukum moral, keindahan dsb). Sang mutlak diyakini
tidak sama dengan dunia pengalaman. Panteisme masih memiliki benih iman kepada
Tuhan. Politeisme dan Deisme tidak termasuk dalam ateisme.
Ditambahkan
oleh Lorens Bagus (1996: 95-6) bahwa ateisme itu memiliki beberapa jenis, yaitu
(1) Ateisme naif. Dalam filsafat
Yunani kuno, misalnya dalam karya Thales, Anaximenes, Herakleitos, Demokritos,
Epikuros, Xenophanes, dan Lucretius, terdapat unsur-unsur ateistis. Mereka
berupaya menjelaskan fenomena-fenomena dengan sebab-sebab alamiah, walaupun
ateisme mereka masih bersifat naif, spekulatif, dan tidak konsisten; (2) Atesime praktis dan teoretis.
Seorang penganut ateisme praktis mempunyai keyakinan akan adanya Tuhan, tetapi
menolak Tuhan dengan cara hidupnya. Dalam hidupnya ia bertingkah laku
seolah-olah Tuhan tidak ada. Seorang ateisme teoretis memutuskan bahwa Tuhan
tidak ada. Ateisme teoretis terdiri dari dua macam: ateisme teoretis negatif dan ateisme
teoretis positif. Seorang penganut paham yang pertama sama sekali tidak
mengetahui tentang Tuhan atau mempunyai gagasan yang kacau mengenai Tuhan.
Sikap pikiran semacam ini bagi orang normal, dewasa, tidak bertahan lama karena
kecenderungan seluruh kodrat manusia terarah kepada Tuhan, Sang Ilahi. Penganut
pandangan yang kedua meragukan eksistensi Tuhan. Karena menurut mereka
eksistensi Tuhan dibuktikan secara tidak memadai (skeptisisme). Mereka mengakui
bahwa pernyataan yang sangat jelas mengenai Tuhan itu mustahil. Karena
pernyataan mengenai Tuhan melampaui pengetahuan kita yang hanya terbatas pada
pengalaman (agnotisisme). Ateisme teoretis positif dapat pula terjadi karena
orang yakin secara subjektif bahwa Tuhan tidak ada. Ateisme teoretis positif
ini dapat dijelaskan dari hakikat evidensi yang digunakan dalam pembuktian
keberadaan Tuhan; karena evidensi itu tidak memberi jaminan penuh. Karena
argumen yang dibentuk biasanya amat rumit; dan kerumitan ini disebabkan
banyaknya presuposisi epistemologis. Posisi ini juga dapat dijelaskan oleh
dorongan ‘keberatan-keberatan’ filosofis dan oleh pengaruh nafsu-nafsu pribadi.
Namun, penganut sikap semacam ini telah membiarkan kecenderungan yang terdalam
mandek dan nyaris tidak luput dari kesalahan. Jenis ateisme yang lain adalah ateisme postulatori. Ateisme jenis ini
dicanangkan F. Nietzsche dan N. Hartmann. Mereka menolak adanya Tuhan karena
diandaikan Tuhan mengancam nilai-nilai moral.
Seorang
ateis teoretis negatif, menurut Louis
Leahy (1993: 298-9), tidak mengetahui apa-apa mengenai Allah seluruhnya cacat
tercemar. Sikap hati semacam itu tidak akan dapat bertahan lama dalam diri
seorang dewasa yang normal, sebab segenap kecenderungan kodrati manusia terarah
kepada Allah. Kasus-kasus yang terdapat dalam jenis ateisme ini kerapkali dapat
diterangkan dari adanya pendidikan yang sama sekali bersifat positivistis,
materialis, skeptis.
Seorang
ateis teoretis positif itu (a)
menyangsikan bahwa adanya Allah sudah dibuktikan secara memuaskan; atau (b)
berpendapat bahwa segala penegasan mengenai Allah itu tidak mungkin, sebab
penegasan semacam itu melampaui pengetahuan kita, yang selalu dibatasi oleh
pengalaman (agnotisisme); atau (c) yakin secara subjektif bahwa Allah itu ada. Pendirian terakhir ini
dapat diterangkan atas dasar sifat bukti-bukti yang dipakai dalam segala
pembuktian eksistensi Allah, yaitu
bukti-bukti yang bersifat tidak
langsung atau bertindak sebagai pengantara
saja: karena argumentasinya biasanya cukup kompleks dan berpijak pada beberapa
pengandaian epistemologis dasariah. Pengingkaran akan Allah itu dapat
diterangkan pula atas dasar kekuatan dampak ‘keberatan-keberatan’ dan pengaruh
nafsu. Bagaimanapun juga, dalam diri orang yang berpendirian demikian itu ada
semacam atropi atau pengerutan
kecenderungan-kecenderungan manusia yang terdalam atau semacam pengebirian
rohani.
Ateisme
sebagai pengandaian dasar dalam faham
F. Nietzsche dan H. Hartmann mengingkari eksistensi Allah. Sebab menurut mereka,
Allah membahayakan kebebasan dan keaslian manusia maupun nilai-nilai etis.
Beberapa bentuk ateisme mutakhir berada pada jalur tersebut. Hal senada
dinyatakan Jalaluddin Rakhmat bahwa Nietzsche boleh disebut ‘semacam’ ateis;
bukan ateis yang mengingkari keberadaan Tuhan, tapi ateis yang melihat Tuhan
sebagai musuh kebebasan dan penentu moralitas. Dengan membunuh Tuhan, manusia
memperoleh kebebasan untuk menentukan nilai, memilih baik dan buruk. Dalam
bahasa Sartre, hanya dengan meniadakan Tuhan kita baru bertindak ‘otentik’
(Nafis, ed., 1996: 35). Dalam nyanyian Nietzsche, requiem aeternam deo (beristirahatlah selama-lamanya untuk jenazah
Tuhan), Octavio Paz, novelis dan penyair Meksiko menyela, “Tanpa Tuhan dunia
menjadi ringan, tetapi [tugas—peny.]
manusia menjadi berat” (Mangunwijaya, 1994: 111).
Perkembangan
dan Pengaruh para Tokoh Ateisme
Secara
garis besar, menurut Jalaluddin Rakhmat (Nafis, ed., 1996: 35-6), aliran ateisme terbagi dua, yakni aliran
ateisme romantik dan ateime rasionalistik. Aliran
ateisme romantik, seperti Nietzsche dan Sartre (eksistensialisme), tidak
mengingkari keberadaan Tuhan, namun menggantikan-Nya dengan individualitas.
Kata Nietzsche dalam menyimpulkan aliran ateisme romantik: “Be a man and not follow me—but your self.”
Sementara itu, aliran ateisme
rasionalistik mengingkari Tuhan karena penjelasan ilmiah yang rasional
tidak memerlukan Tuhan dalam menjelaskan dunia. Aliran ini mempengaruhi
pemikiran modern dalam bentuk materialisme (Marxisme), positivisme logis
(reduksionalisme Durkheim), dan psikonalisis (Freudian).
Louis
Leahy dalam bukunya, Aliran-aliran Besar
Ateisme, membagi aliran ateisme berdasarkan alur pemikiran para tokohnya,
yakni Friedrich Nietzsche, Emile Durkheim, Sigmund Freud, Jean-Paul Sartre, dan
Karl Marx. Di bawah ini secara deskriptif-resumtif disajikan pemikiran mereka:
1. Friedrich
W. Nietzsche (1844-1900)
Awal pemikiran
Nietzsche dipengaruhi oleh ‘doktrin kuno’, yang berasal dari Anaximandros,
Heraklitos, para penganut Stoa, sumber-sumber Iran, dan agama Buddha, yang
berbunyi: “Kembalinya segala sesuatu”. Maksudnya bahwa kehidupan dunia ini
bersifat siklis atau menurut siklus-siklus periodik, maka apa yang terjadi akan
terjadi lagi pada suatu hari. Sebab tidak ada hal yang sama sekali baru (Leahy,
1992: 19).
Untuk
itu, Nietzsche berujar:
Segala sesuatu pergi, segala sesuatu
datang kembali; berputarlah roda hakikat itu secara pribadi. Segala sesuatu itu
mati, segala sesuatu itu berkembang lagi; berlangsunglah rangkaian hakikat itu
secara abadi. Segala sesuatu hancur, segala sesuatu disusun kembali; berdirilah
hakikat yang sama secara abadi. Lingkaran hakikat tetap setia pada dirinya
sendiri secara abadi … Hakikat itu mulai pada setiap saat … Pusatnya adalah di
mana-mana. Jalan kekekalan itu berlingkar (Leahy, 1992: 20-1).
Argumen
Nietzsche ini didukung para ilmuwan seperti oleh G.G. Vogt (1878), dan pada
abad ke-20 oleh C. Andler, yang menyatakan bahwa evolusi yang tak dapat diulang
lagi disokong oleh fakta-fakta yang berwujud dan dapat diukur. Tetapi
kembalinya terus-menerus gerakan-gerakan, walaupun tak dapat ditunjukkan, dan
walaupun tampaknya tidak masuk akal, namun merupakan postulat ilmu pengetahuan,
salah satu tuntutan paling tua dari roh dan cara yang paling manjur untuk
melampaui apa yang kelihatan (Leahy, 1992: 20).
Dengan
argumennya ini, Nietzsche mengritik kaum agamawan, khususnya kaum Kristiani,
sebagai berikut: “Paham Kristen itu merupakan platonisme bagi rakyat, di mana
terdapat perbedaan antara pemikiran Kristen dengan Platonisme dalam struktur dan
kecenderungan konstitutifnya.”
Paham
Kristen yang ‘meremehkan badan’, Nietzsche berpendapat:
Paham kristenlah yang pertama-tama,
dengan perasaan tidak senangnya terhadap hidup, telah membuat seksualitas
sebagai suatu hal yang najis … Sejak permulaannya, paham kristen itu, pada
hakikatnya dan secara fundamental, bersikap muak dan jemu terhadap hidup …
Kebencian terhadap dunia, fitnahan terhadap hawa nafsu, ketakutan terhadap
keindahan serta seksualitas, suatu tempat di ‘sebelah sana’ yang ditemukan
untuk memfitnah hal duniawi; pada dasarnya suatu hasrat akan kehampaan, suatu
kehendak akan dekadensi, suatu pertanda paling mendalam dari penyakit,
kelesuan, kepayahan hidup (Leahy, 1992: 24).
Ajaran
tentang ‘dosa asal’, Nietzsche berpendapat bahwa hidup kita pada dasarnya
adalah tersesat, sedangkan Kristen beranggapan bahwa kehidupan manusia di bumi
ini berawal dari dosa turunan Adam yang melakukan kesalahan di surga.
Perumusan
realitas dalam bentuk moral, di mana paham Kristen mengajarkan peng-ilahi-an
manusia (theiosis); paham Kristen selalu memihak kepada apa yang gila,
Nietzsche berujar:
Paham Kristen juga bertentangan dengan
segala sesuatu yang secara spiritual bersifat utama. Ia hanya dapat menggunakan
suatu akal sakit sebagai akal Kristen. Ia memihak kepada segala sesuatu yang
gila, ia memfitnah roh, memfitnah keutamaan roh yang sehat. Oleh karena
penyakit itu termasuk hakikat paham Kristen, maka dengan sendirinya kondisi
yang bercorak khas Kristen, yakni iman kepercayaan juga harus merupakan suatu
bentuk penyakit. Semua jalan lurus, jujur, dan ilmiah yang menuju kepada
pengetahuan, harus dihindari oleh Gereja, sebagai jalan-jalan terlarang
(Leahy, 1992: 31).
Perdebatan
messianisme, menurut Nietzsche adanya stratifikasi manusia dan keselamatan
aristokratis semata: ‘manusia atas’ (ubermensch),
sedangkan Kristen menganggap itu sebagai tawaran kepada seluruh manusia untuk
menjadi ‘dewa’ dan ‘manusia super’.
2. Emile
Durkheim (1858-1917)
Agama
itu, menurut Durkheim, tidak mempunyai realitas asli karena bisa dijelaskan
secara total dengan suatu realitas lain, yakni masyarakat. Jadi, objek religius
itu hanya ilusi belaka. Dengan pernyataannya ini memposisikan Durkheim sebagai
tokoh sosiologi agama (Leahy, 1992: 37-9), yang mengharuskan agamawan
menyelidiki bentuk-bentuk agama yang paling elementer untuk menangkap arti
sesungguhnya dari agama itu. Maka dalam paham totemismelah ia yakin telah
menemukan bentuk-bentuk tersebut.
Durkheim
menguatkan argumennya itu sebagai berikut:
Agama tidak lagi menjadi suatu
halusinasi yang tak dapat dijelaskan, sebaliknya dia mendapatkan suatu
kepastian dalam realitas. Sesungguhnya dapat dikatakan bahwa orang yang beriman
tidak salah apabila ia percaya kepada adanya suatu kekuatan moral dan bahwa ia
tergantung darinya, dan apabila ia menganggap kekuatan moral itu sebagai sumber
dari apa yang terbaik dalam dirinya. Kekuatan itu memang benar-benar ada, yaitu
berupa masyarakat (Leahy, 1992: 42).
Menurut
Durkheim, yang berlainan dengan Marx dan Freud, agama bersifat positif karena
bermanfaat menciptakan simbol dewa (totem) pada masyarakat sekaligus membentuk
sebuah suku (clan), sehingga dewa dan
masyarakatnya menjadi satu (reduksionisme sosiologis) (Leahy, 1992: 37-9).
3. Sigmund
Freud (1858-1939)
Agama
itu, menurut Freud, adalah suatu penyakit syaraf (neurosis) universal yang
bersifat obsesif. Bagi Freud, orang religius itu hanya tetap dapat neurosis dan infatil (Leahy, 1992: 48).
Dasar
pemikiran Freud sebagai berikut:
Seorang laki-laki yang berkuasa memimpin
kelompok primitif dan menguasai kaum wanitanya. Pada suatu hari, putra-putranya
memberontak dan membunuhnya. Tetapi karena sang ayah bukan saja merupakan objek
iri hati mereka, melainkan juga cita-cita mereka, maka mereka makan dagingnya
juga agar dapat menjadi sama kuat seperti dia. Kejahatan ini merupakan beban
berat bagi hati nurani mereka. Maka dari itu mereka menciptakan totem, simbol
sang ayah, yang memberikan kemungkinan untuk suatu pengalihan afektif. Korban
dan makanan totemistis menjadi peringatan yang diadakan terhadap kejahatan
primitif
(Leahy, 1992: 49).
Argumen
dasar Freud ini menggambarkan kritikannya kepada agama Kristen, yang terilhami
oleh cerita Oedipus (Complex), tokoh legenda Yunani yang pernah menjadi raja
Thebes. Seperti telah diramalkan, tanpa disadari ia membunuh ayahnya dan
mengawini ibunya (Sudjiman, 1990: 57).
Dengan
pendekatan psikonalisa, Freud melihat bahwa agamawan mengalami keresahan
inteligensi, yakni pelarian dari kenyataan atau ketakutan untuk menghadapi
kesepian, sehingga memerlukan ‘tempat’ mengeluh seperti citra Bapak dalam agama
Kristen.
4. Jean-Paul
Sartre (1905-1980)
“Manusia
benar-benar bersifat manusiawi hanya sejauh dia merdeka; dan dia merdeka hanya
kalau menjadi ateis,” demikian dogma sentral eksistensialisme ateis yang
digawangi Sartre, filosof eksistensialisme asal Prancis.
Sifat
umum kaum eksistensialisme ini adalah (1) reaksi terhadap idealisme yang
rasionalistis; (2) mengonstatasikan adanya kegagalan akal terhadap yang
bereksistensi, yakni bahwa penjelasan yang memuaskan tentang dunia tak pernah
tercapai; (3) dunia keterangan serta alasan bukanlah dunia eksistensi, sehingga
tak dapat ditangkap oleh inteligensi; dan (4) absurditas situasi manusia karena
fakta ‘ada’ tidak dapat diterangkan, kecuali hasil kreativitas manusia sendiri
(Leahy, 1992: 59-66).
Sartre
sendiri menawarkan tema ‘alteritas’, yakni konsep kekuatan aku secara
fenomenologis. Ia mengatakan: “Manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau
tidak dapat mengandalkan pada kekuatan di luar dirinya, manusia harus
mengandalkan kekuatan dirinya sendiri” (Titus, et.al., 1984: 395).
5. Karl
Marx (1818-1883)
Marx
sangat dipengaruhi oleh Ludwig Feurbach (1804-1872) seperti dalam pengertian
materialisme yang berlawanan dengan idealisme Hegel, konsernitas masalah
martabat manusia, serta penjelasan agama sebagai pengasingan dan ilusi. Namun,
Marx pun mengembangkan metodenya sendiri serta melahirkan paham baru, yaitu
marxisme yang berarti materialisme dialektis dan historis; materialisme
dialektisnya berarti bahwa dalam sintesis realitas, kondisi-kondisi materilah
yang menentukan kesadaran manusia, begitu pun dalam materialisme historisnya bahwa
sejarah telah disyaratkan dan ditentukan oleh fenomena-fenomena dasar seperti
fenomena-fenomena ekonomis yang ideal.
Prinsip
Marx ini bertentangan dengan kenyataan yang ada. Karena dalam fenomena-fenomena
ekonomis terdapat gap atau anatema,
yakni kesenjangan atau ketidakmerataan dalam kepemilikan kekayaan harta benda,
sehingga sebagian manusia mengalami split
personality akibat teralienasi oleh situasi yang diciptakan kaum antagonis.
Maka, menurut Marx, gagasan tentang Allah adalah suatu proyeksi mitis dari
pengasingan fundamental. Gagasan ini selalu mewujudkan kesengsaraan kelas yang
tertindas, juga merupakan alat kelas yang berkuasa untuk melangsungkan
dominasinya.
Karena
itu, Marx mengritik agama dan Allah sebagai berikut:
Agama adalah kesadaran diri dan perasaan
diri bagi manusia, ketika ia belum berhasil menemukan dirinya atau ketika ia
sudah kehilangan dirinya. Namun manusia itu bukan suatu makhluk abstrak yang ‘bercokol’
di luar dunia. Manusia adalah dunia manusia, negara, masyarakat. Negara, masyarakat
itu menghasilkan agama, yang merupakan suatu kesadaran—terhadap--dunia yang
tidak masuk akal. Agama adalah teori umum tentang dunia itu … Ia adalah
realisasi fantastis makhluk manusia, oleh karena makhluk manusia tidak memiliki
realitas sejati … Kesengsaraan religius, di satu pihak adalah pernyataan dari
kesengsaraan nyata, dan di lain pihak suatu proses terhadap kesengsaraan nyata
itu. Agama adalah keluhan makhluk tertindas, jiwa suatu dunia yang tak
terkalbu, sebagaimana ia merupakan roh suatu kebudayaan yang tidak mengenal
roh. Agama adalah candu rakyat (Leahy, 1992: 98).
Dua di
antara lima tokoh ateisme tersebut termasuk dalam seratus tokoh yang paling
berpengaruh dalam sejarah. Seperti dituturkan Michael H. Hart (1994: 86-90;
183-5), yakni Karl Marx yang menempati ‘rangking’ kesebelas dan Sigmund Freud,
ketiga puluh dua; bahwa sekitar 1,3 milyar orang telah terpengaruh Marxisme
atau mengilhami ideologi dan gerakan komunisme seperti yang terjadi di
Indonesia tahun 1965 dengan adanya ‘revolusi’ Partai Komunis Indonesia; dan
Freud dinilai sebagai perintis psikonalisa, yakni suatu metode penyembuhan
penyakit kejiwaan yang menekankan pentingnya peran alam bawah sadar manusia,
yang sekaligus memposisikan Freud sebagai tokoh yang paling berpengaruh dan paling
penting dalam perkembangan teori psikologi modern.
Penutup:
Pleidoi Agamawan
Kelima
tokoh ateisme dengan argumentasinya tersebut memperlihatkan proses kritikan dan
penolakan mereka terhadap doktrin-doktrin agama formal, khususnya agama Kristen
Katolik. Tidak seperti kepada Kristen Protestan dengan tokohnya Martin Luther
King, Jr. atau Immanuel Kant, yang justru mengilhami Nietzsche dan Sartre. Kelima
tokoh ateisme ini telah memunculkan tema sentral ke-ateisme-an mereka, yaitu
orientasi dan obsesi tentang peningkatan martabat manusia. Seperti disebutkan
oleh Bertrand Russel, seorang ateis radikal, bahwa ketentraman atau kebahagiaan
tidak akan tercapai tanpa keinsyafan akan makna dan tujuan hidup itu sendiri
(Madjid, 1993: 11).
Bagi
kita, kaum agamawan, makna dan tujuan hidup mereka tentu sama, namun hakikat
dan maksud hidupnyalah yang justru berbeda. Hal ini dinyatakan oleh C.G. Jung,
seorang psikonalis, misalnya mengenai landasan yang diperlukan untuk
kebahagiaan: (1) Kesehatan badan dan jiwa; (2) Hubungan pribadi dan intim yang
baik, seperti hubungan perkawinan, keluarga, dan persahabatan; (3) Kemampuan
untuk menangkap keindahan dalam seni dan alam; (4) Taraf hidup yang layak dan
pekerjaan yang memuaskan; serta yang utama (5) Titik pandang religius dan falsafi yang mampu menggulati suka-duka
kehidupan dengan berhasil (Leahy, 1994: 32-3).
Dinyatakan
pula oleh Nurcholish Madjid (1991: 182) bahwa untuk mencapai hidup yang
bahagia, setiap manusia harus melalui empat tahap berturut-turut, yakni (1)
tahap naluriah, dengannya seorang manusia baru lahir ke dunia, hidup; (2) tahap
pancaindera atau indera umumnya, yang akan menyempurnakan bekerjanya naluri.
Tetapi, indera pun belum cukup, sebab indera masih terlalu banyak membuat
kesalahan. Maka dilengkapilah dengan tahap (3) akal pikiran, yang memberikan
koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang dibuat indera, dan bekerja atas dasar
bekerjanya indera; serta (4) kebenaran terakhir (ultimate truth), yakni pengajaran Tuhan (wahyu, revelation), yang akan mengantarkan manusia
kepada kebahagiaan sejati karena akal pikiran atau rasio itu mempunyai
kemampuan yang terbatas.
Sebagai
orang beragama, tentunya kita bisa mengklaim bahwa ‘agama baru’ tersebut bukan
menunjukkan suatu kemajuan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), tetapi
sebuah kemunduran. Karena iptek itu sendiri adalah manifestasi dari inspirasi
dan perspirasi imtak (iman dan takwa), yakni kesadaran dan pengakuan primordial
setiap individu: “Di atas langit masih ada langit.” Ini pun diakui oleh Albert
Einstein (1879-1955), ilmuwan penemu atom dan Bapak Fisika Modern, yang
menyatakan: “ Ilmu tanpa agama buta. Agama tanpa ilmu lumpuh” (Idries, 1992:
11). Einstein menekankan pentingnya keinsyafan yang lebih mendalam tentang alam
raya ini, yakni keinsyafan ber-Tuhan dengan manifestasi rasa takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Katanya:
Emosi paling indah dan paling mendalam
yang dapat kita alami ialah rasa mistis. Ia merupakan kekuatan semua ilmu
pengetahuan yang benar. Seseorang, yang baginya emosi itu terasa asing, yang
tidak lagi dapat mengagumi dan bergembira dalam suatu kedahsyatan, adalah lebih
baik mati saja. Untuk mengetahui bahwa apa yang yang tidak tertembus oleh kita
benar-benar ada, yang menyatakan dirinya sebagai kebijaksanaan tertinggi dan
keindahan paling cemerlang yang kemampuan terbatas kita (bodoh) ini dapat
memahaminya hanya dalam bentuknya yang paling primitif—pengetahuan ini,
perasaan ini berada dalam intisari keagamaan yang benar
(Madjid, 1991: 176).
Bahkan, Ignace Lepp (1985: 9), seorang Katolik mantan
ateis asal Prancis, mengatakan bahwa kebanyakan kaum ateis berpura-pura menjadi
orang yang rasionalis. Mereka mengritik agama dari sudut pandang ilmu sejarah
atau ilmu pengetahuan alam. Sebuah hal yang jelas bahwa ‘ilmu’ manusia
dapat direkayasa oleh manusia itu sendiri untuk kepentingan politis dan
ekonomisnya.
Ateisme modern itu adalah suatu sikap anti-Kristen yang
menghalangi ide-ide kaum ateis tentang manusia dan kebahagiaan. Bahkan Marx dan
Freud, walaupun mereka keturunan Yahudi, menitikberatkan kritik-kritik mereka
tentang fungsi sosial dan fungsi psikologis agama pada prinsip-prinsip Kristen
dan bukannya pada prinsip-prinsip agama Yahudi (Lepp 1985: 6-7).
Dengan demikian, ateisme jelas dan pasti: Tak ada Allah.
Bagi ateisme mengakui Allah sama saja dengan meniadakan martabat manusia.
Karenanya adalah keprihatinan ateisme untuk meyakinkan bahwa Allah itu omong
kosong, pelarian (kompensasi), agama adalah candu dan sebagainya. Alam semesta
dan hidup kita sama sekali tidak tergantung pada kekuatan lain mana pun.
Manusia memiliki arti dalam dirinya sendiri.
Ateisme perlu kita bahas dan kita kaji bersama. Ateisme
itu menarik karena¾ternyata¾ia secara langsung merupakan sisi negatif dari agama dan
keyakinan akan adanya Allah atau kewibawaan adikodrati. Namun demikian studi
dan pemahaman tentang ateisme itu pun memberikan kesempatan baik bagi kita
untuk memperluas cakrawala dan memurnikan pandangan, untuk memperdalam aspek
rasional positif dari agama dan kepercayaan akan Allah, sehingga dengan
demikian keyakinan religius kita diperkuat.
Dengan mengenali alur pemikiran ateisme yang merupakan
sisi negatif dari hidup ber-Tuhan itu kita diajak atau ditantang untuk
berdialog secara kritis kenapa ateisme bisa muncul, serta mengenali pula
berbagai bahaya yang terkandung dalam masing-masing aliran besar ateisme.
Melalui dialog kritis refleksif, maka kita akan dibantu
membentuk struktur inteligibel untuk menghadapi ateisme dan waspada terhadap
bahaya yang dikandungnya, antara lain yang menjelma dalam sistem sosial yang
kita kenal dengan komunisme yang senantiasa menghantui negara kita yang
berlandaskan Pancasila.
Karena itu, menjadi tugas kita bersama, yakni (1) untuk
memasuki agama (Islam) secara kaaffah atau
menyeluruh (QS 2: 208; 12:
67; dan 6:1 62); (2)
mendalami ajaran agama atau tafaqquh fi
al-diin sekaligus
berkewajiban menjaga moralitas masyarakat dengan amar ma`ruuf wa nahii munkar (QS 9: 122; 3:
104; dan 4: 36); serta (3) ‘menawarkan’ Islam sebagai agama universal, yang monoteis murni atau strict monotheism—istilah Max Weber—(QS 112: 1-4),
sebagai rahmatan lil `aalamiin dan agama prulalistik yang relevan dan signifikan dengan
perkembangan zaman (QS 2:
136, 148; 3:
19, 64,
85, 112; 4:
163-5; 5: 8, 48; 16:
36; 29: 46; 30: 30; 39: 17-8; 42: 13, 15; 49:
11, 13; dan 60:
8).
Mengapa Islam?
Karena Islam itu adalah kebenaran terakhir atau ‘wahyu’ Tuhan
terakhir (QS 5: 3 via Madjid, 1991: 183). Islam, menurut
Ernest Gellner, sosiolog Inggris, adalah yang paling dekat dengan modernitas di
antara agama monoteis lainnya, yakni Yahudi dan Kristen. Karena Islam
mengajarkan tentang universalisme, skripturalisme, dan sistematisasi rasional
kehidupan sosial; serta ini pun diakui oleh Robert N. Bellah, sosiolog
Parsonian, bahwa sejak permulaannya Islam itu sangat modern, it was too modern (Madjid, 1992: 468-9;
xl).
Islam sangat menentang kaum ateisme karena mereka tidak
memiliki Kitab Suci atau bukan Ahl al-Kitaab (QS 5: 48). Karena
itu, pendekatan filosofis-argumentatif sangat dibutuhkan untuk menghadapi
mereka. Tentunya, sebagai kaum Muslim, pleidoi atau apologetik kita mengikuti
hukum Islam (Quran dan Sunnah) seperti melanjutkan tugas kenabian (al-nubuwwah, prophetic mission), yakni berfungsi sebagai pengajar, penegak, dan
penjaga moralitas masyarakat, di mana tujuan misi suci (sacred mission) para Nabi, yang telah memiliki akhlak yang tinggi
itu, adalah menegakkan moralitas yang tinggi di kalangan umat manusia (Madjid,
1997: 18).
Secara implisit, pernyataan di atas mengharuskan kita
melakukan pendekatan ‘pluralistik’ terhadap kaum ateis, yakni secara sosio-fenomenologis
melakukan intervensi dan penetrasi terhadap pemikiran kaum ateis, meskipun di
dalamnya tidak termasuk kata ‘pemaksaan’ untuk memeluk agama Islam seperti telah ditegaskan dalam
Quran (QS 2: 256; 10:
99; 24: 54; atau 88: 21-2).
Pluralisme itu, menurut Nurcholish Madjid (1992: lxviii), adalah suatu sistem
nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri,
dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan
kenyataan itu. Dengan demikian, ateisme yang dianggap sebagai ‘agama baru’ dalam era
modern dan masih berlangsung hingga era globalisasi ini harus diakui sebagai
kenyataan yang ada, dan yang hidup berdampingan dengan kita, kaum agamawan.
Sebuah dialog yang diupayakan tentunya adalah dialog
antarkebudayaan, bukan dialog antaragama. Karena ateisme adalah produk budaya ‘manusia Tuhan’ (promethean). Maka, hanya dengan ‘prinsip keprihatinan’ dalam arti prinsip kemanusiaan, bukan prinsip
persaudaraan seiman, kita bisa berdialog dengan mereka, serta dengan cara terus-menerus (in fieri)
kita melakukan penyadaran islami.
Mungkin,
kita tinggal berterima kasih kepada Tuhan ‘asli’, sehingga kita tidak capai
sebagai manusia.
Nb. makalah jadul (1997).
SUMBER
RUJUKAN
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Bertens, K. 1992. “Yang Sakral
dan Yang Profan dalam Penghayatan Tradisonal: Homo Religious Menurut Mircea
Eliade”. Jurnal Ulumul Qur’an. No. 3, Vol. III. Hlm. 47-51. Jakarta:
LSAF dan ICMI.
Djambek,
M. Zain. 1956. “Berbagai Paham tentang Ketuhanan”. Hudjdjatul Islam. Nomor 1, Tahun I, Agustus. Bandung: Pusat
Pimpinan Persatuan Islam.
Gazalba, Sidi. 1984. Problematik Dunia Modern: Agama, Perlukah
atau Tidak? Jakarta: CV Bayu Kubana.
Hart, Michael H. 1994. The 100, A Ranking of the Most Influential
Persons in History. Terj. Mahbub Djunaidi. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Hidayat, Komaruddin, dan
Muhammad Wahyuni Nafis. 1995. Agama Masa
Depan: Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: Paramadina.
Idries,
Dadang Hawari, 1992. “Gangguan Kejiwaan karena Modernisasi”. Bag. I. Media Pembinaan. Edisi No. 4, Tahun XIX.
Hlm. 10-2, 25. Bandung: Kanwil Depag Jabar.
Leahy, Louis. 1992. Aliran-aliran Besar Ateisme: Tinjauan Kritis. Yogyakarta: Kanisius.
Leahy, Louis. 1993. Filsafat Ketuhanan Kontemporer.
Yogyakarta: Kanisius.
Leahy, Louis. 1994. Esai Filsafat untuk Masa Kini: Telaah
Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Lepp,
Ignace. 1985. Ateisme Dewasa Ini: Potret
Kegagalan Manusia Modern. Terj. Sayyid Umar dan Edy Sunaryo. Yogyakarta:
Shalahuddin Press.
Madjid,
Nurcholish. 1987. “Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman”. Diktat
Makalah-makalah Serie Klub Kajian Agama (KKA), No. 07/I. Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina.
Madjid,
Nurcholish. 1991. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Editor: Agus Edi santoso.
Bandung: Mizan.
Madjid,
Nurcholish. 1993. “Beberapa Renungan
tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”. Ulumul Qur’an. No. 1, Vol. IV. Hlm. 4-25.
Madjid,
Nurcholish. 1997. Masyarakat Religius. Editor: Ahmad Gaus AF. Jakarta: Paramadina.
Mangunwijaya, YB. 1994. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta:
Kanisius.
Muhni, Djuretna A. Imam Muhni.
1994. Moral dan Religi Menurut Emile
Durkheim dan Henri Bergson. Yogyakarta: Kanisius.
Nafis, Muhammad Wahyuni (ed.).
1996. Rekonstruksi dan Renungan Religius
Islam. Jakarta: Paramadina.
Natawidjaja, P. Suparman. 1982.
Apresiasi Sastra dan Budaya. Jakarta:
PT Intermasa.
Rosda, Tim Penulis. 1995. Kamus Filsafat. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Saefuddin, Ahmad Muflih. 1996.
“Eksistensi Manusia dalam Abad Modern”. Makalah Simposium Nasional HMJ
Aqidah-Filsafat, 16 Oktober. Bandung:
IAIN Sunan Gunung Djati.
Shihab,
M. Quraish. 1995. “Membumikan” Al-Quran:
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Sudjiman,
Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra.
Jakarta: UI-Press.
Titus,
Harold H. (et al.). 1984. Living Issues in Philosophy. Terj. M.
Rasjidi. Persoalan-persoalan Filsafat.
Jakarta: Bulan Bintang.