Balad OMO

Minggu, 22 Mei 2016

Prestasi



#thomas_cup_2016 ini Indonesia banget
di tunggal, kita kalah
di ganda, kita menang
kita memang bukan negara meritokrasi
meski MURI t’lah wara-wiri
seperti Guinness Book of Record
ketahuan, untuk berprestasi, kita malu2
kita tidak percaya diri, begitu tepa salira
padahal doktrin yang ada di negeri kita
nyuruh kita berprestasi
menjadi teladan yang baik
selanjutnya, jangan lupa diri:
sebar kasih sayang …
seperti pembukaan konstistusi negeri
alinea kedua: yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur

Porno















silakan pornoaksi atau pornografi dan tunggu cepat/lambat kalau tidak Diri, Orang Terdekat, Orang Terkasih … yang jadi korban pelecehan seksual … (adil/karma?)

Kamis, 19 Mei 2016

Semangat Keprihatinan



Dulu, para pendahulu, guru-guruku, menyebutnya estetika keprihatinan, Semangat Keprihatinan. Kini, dunia internet, menyebutnya #semangat_gratisan. Sama saja, keduanya adalah solusi perihidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ya, semangat berbagi, semangat saling; dunia ekonomi menyebutnya ‘barteran’. Bukan hanya uang barteran itu, transaksi itu. Jika semangat berbagi, semangat saling itu dengan uang, maka KITA t’lah merasakan akibatnya. Ajaib, KITA tak mau belajar!

Sabtu, 14 Mei 2016

Vote "BBM Dua Kali Turun"



Salam Ngeng ...
Terima kasih atas apresiasi polling gratisan mengenai:
BBM dua kali turun, apakah harga-harga ikut turun? 
a. Turun banyak 
b. Turun dikit
c.  Tetap
d.  Harga malah naik
Mulai 04/5/2016 hingga 14/5/2016, Voter: 1818, hasil? (sayang, blogger ini belum tahu cara mengetahui-nya ... tolong dibantu ya ... terima kasih)

MENIKMATI ATEISME



Dapatkah manusia sampai kepada paham ketuhanan yang sesungguhnya jika tidak Tuhan sendiri ‘menyampaikan’ pengertian itu kepadanya? (Djambek, 1956: 21)


Pendahuluan
Menikmati ateisme, mengapa tidak?
Apresiasi adalah penghargaan dan pemahaman atas suatu hasil seni atau budaya. Ia memiliki lima tingkatan, yaitu (1) tingkat penikmatan, (2) tingkat penghargaan, (3) tingkat pemahaman, (4) tingkat penghayatan, dan (5) tingkat implikasi (Natawidjaja, 1982: 1-2).
Diandaikan ateisme itu sebuah produk seni-budaya, pada tingkatan apresiasi yang pertama: penikmatan; ateisme siap dihidangkan, ditonton, ditelanjangi, dan dinikmati. Ateisme itu enak, gurih, lezat, sedap, nikmat, yahud, pahit, asam,  hambar,  tuyul jelek, sundal, wadul dan seterusnya itu terserah Anda. Anda berhak menilainya, memujinya, bahkan mengutuknya. Karena Anda mempunyai dimensi spiritual, ruh, yang mengantar Anda kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, penyesalan, pengapkiran dan sebagainya (Shihab, 1995: 69).
Menikmati ateisme itu bisa enak, bisa tidak, yang pasti pada tingkatan implikasi ia dilarang hadir di bumi tercinta ini.
Paper sederhana dengan judul “Menikmati Ateisme” ini diajukan sebagai tugas mandiri pada mata kuliah Perbandingan Teologi Modern I. Pola yang disajikan deskripsi-resumtif melalui pendekatan studi pustaka. Dengan harapan bahwa sejarah, perkembangan (aliran-aliran besar ateisme) serta peranan atau pengaruh para tokohnya dapat tergambarkan, dan siap dinikmati.
Kaitan antara ateisme dengan mata kuliah (Perbandingan Teologi Modern I), K. Bertens (1992: 47) berpendapat: “Pendekatan teologis dalam studi agama dilakukan, terutama dalam rangka membuktikan kebenaran agama, demikian juga yang dilakukan filsafat agama.” Dengan asumsi ateisme sebagai agama—karena disinyalir sebagai agama baru—di zaman modern ini, kaum agamawan ditantang untuk membuktikan kebenarannya di tingkat intelektual dan filosofis. Karena ateisme mendasarkan pengingkaran Tuhan atas alasan-alasan rasional.

Sejarah Ateisme
Modernitas ditandai oleh kreativitas manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan hidupnya di dunia ini. Modernisme, khususnya seperti yang ada di Barat, adalah suatu antroposentrisme yang hampir tak terkekang. Arnold Toynbee, seorang ahli sejarah Oxford, Inggris, mengatakan bahwa modernitas telah mulai sejak menjelang akhir abad ke-15 M, ketika orang Barat berterima kasih tidak kepada Tuhan, tetapi kepada dirinya sendiri karena ia telah berhasil mengatasi kungkungan Kristen Abad Pertengahan (Madjid, 1987: 3; Hidayat dan Nafis, 1995: 113). Ini artinya sejak abad itu orang Barat sudah tidak lagi percaya kepada agama. Sejak itu orang Barat beralih kepercayaan, dari agama Kristen Gereja ke ilmu pengetahuan, yang telah membuktikan kecanggihannya melalui teknologi, maka sejak itulah ilmu pengetahuan diyakini bagaikan ‘agama baru’ yang mampu menjawab berbagai kebutuhan manusia.
Hal senada diungkapkan Sidi Gazalba (1984: vii) bahwa kota, di mana saja di dunia kini, adalah pola kebudayaan Barat. Kebudayaan Barat merupakan suatu manifestasi dunia modern. Dalam kebudayaan modern umumnya, kebudayaan Barat khasnya, agama adalah problematik. Ada golongan yang menjawabnya dengan sekularisme, ada dengan agnotisisme, dan ada pula dengan ateisme. Kehidupan kota adalah materialis dan agama berkonfrontasi abadi dengan materialisme. Padahal, menurut Djuretna A. Imam Muhni (1994: 24), persoalan agama itu mencakup faktor imanen (moral) dan transenden, yang menjadi dasar bagi strategi pembangunan yang  menyeluruh, yaitu masyarakat yang sejahtera. Dalam arti, agama berposisi dan berfungsi sebagai penyeimbang material dan spiritual masyarakat kota (Muhni, 1994: 24).
Prasaran-prasaran tersebut menunjukkan adanya fakta distorsi atau konversi kepercayaan tehadap Tuhan Sang Penguasa, yakni penyimpangan objek sesembahan (object of devotion): manusia mengidolakan dirinya—idol, ‘berhala’—karena merasa tahu akan makna dan tujuan hidup sebagai akibat dari kemampuan akalnya menciptakan piranti modernitas. Karena itu, benarkah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban kemanusiaan itu telah menyingkirkan Tuhan? Adakah tempat untuk Tuhan di zaman serba-canggih ini? Atau, adakah Tuhan itu? Kita perlu telusuri sebab-sebabnya.
Abad kejatuhan manusia dari makhluk spiritual menjadi makhluk materialis adalah akibat munculnya humanisme dalam panggung sejarah yang ditandai dengan adanya Renaissance, yakni kerinduan akan nilai-nilai budaya luhur Yunani dan Romawi. Lewat corong Renaissance ini, humanisme mempromosikan potensi manusia melebihi batas-batas fitrahnya. Humanisme memfigurkan manusia sebagai titik pusat alam (antroposentris) yang bergerak ke arah pengukuhan manusia sebagai ‘Superman’. Manusia yang merasa dirinya unggul karena penemuan sains dan teknologi lewat otaknya, membuat ia bertambah ambisi untuk menaklukkan alam. Mereka menganggap alam sebagai objek yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan manusia.
Jiwa masyarakat di abad ini tidak bersemi untuk membuahkan perilaku yang harum sebagai makhluk Tuhan. Semua ini adalah hasil produksi agen humanisme, yakni sekularisme yang mengemukakan gagasan dikotomi untuk memisahkan dunia dan akhirat, yang mempunyai tiga dimensi: (1) kemanusiaan yang tidak bertuhan (humanisme), (2) materi yang tidak bertuhan (materialisme), dan (3) perilaku yang tidak bertuhan (ateisme) (Saefuddin, 1996: 3-4).
Perilaku hidup manusia modern demikian, menurut Nurcholish Madjid (1993: 17), adalah cerminan teralienasinya manusia oleh dirinya dan ciptaannya sendiri (iptek). Sebagaimana disebutkan dalam Quran, surat al-Furqaan ayat 43 (QS 25: 43) bahwa di antara manusia ada yang mengangkat keinginannya sendiri, pandangan subjektifnya sendiri, sebagai Tuhan. Karena manusia itu (ateis) merasa telah mengetahui makna dan tujuan hidupnya, sehingga dengan angkuh berslogan ria seperti: “God is dead” (F. Nietzsche), “Agama itu candu rakyat” (K. Marx), “Agama itu neurosis obsesional universal” (S. Freud), dan A.N. Wilson, novelis dan wartawan Inggris, “Agama itu lebih berbahaya dari candu”. Karena menurut mereka kepercayaan kepada Tuhan bersifat mengasingkan (alienasi) (Leahy, 1993: 25).
Alienasi, menurut Jalaluddin Rakhmat (Nafis, ed., 1996: 131), memang menjadi tema utama ketika para cendekiawan—terutama kaum eksistensialis—berbicara tentang manusia modern. Alienasi adalah makna yang diberikan kepada kejatuhan manusia ke bumi. Ketika mereka dicampakkan (dan mencampakkan) Tuhan, mereka bukan hanya terasing dari Tuhan. Mereka terasing dari alam, dari dunia, dan dari diri mereka sendiri. Mereka terlempar ke dunia, tanpa mengetahui ke mana mereka harus pergi. Mereka kehilangan arah. Mereka mengalami keterpisahan dari alam, dari Tuhan, dari sesama manusia, dan dari dirinya sendiri.

Pertumbuhan Ateisme
Ateisme adalah suatu pandangan hidup yang tidak mengakui Tuhan secara konsepsional karena Tuhan tidak dapat ditangkap dengan indera dan tidak dapat dirasakan secara langsung dalam bentuk pengalaman. Tuhan hanya hadir dalam pikiran, tidak hadir dalam tindakan. Alam dan manusia tidak mampu membuktikan Tuhan secara ilmiah karena begitu manusia lahir alam sudah ada. Semuanya terjadi secara kebetulan. Mati dan hidup cuma sebagai satu siklus alam yang berputar pada porosnya.
Di samping konsepsional, ateisme juga muncul dalam pola perilaku yang nyata. Artinya manusia begitu sibuk dengan materi sehingga acuh dengan Tuhan. Manusia tidak punya waktu sedikit pun untuk merenungkan Tuhan, apalagi menghayati-Nya yang kemudian menuruti perintah-Nya. Ateisme model begini banyak terdapat dalam struktur kehidupan masyarakat di abad ini. Hanya manusia tidak begitu merasa karena ia dibalut dengan sistem-sistem kehidupan yang merangsang selera, yang mengandung kebutuhan dan kesempatan hanya untuk meraih kualitas hidup duniawi. Inilah yang namanya ateisme ilmiah. Masyarakat terjebak oleh format budaya yang materialis. Manusia dialihkan perhatiannya, sehingga ia tidak punya kesempatan berdialog dengan Tuhannya, mengembalikan fitrah bertuhan, sebagaimana transaksi yang terjadi di hadapan Allah SWT ketika masih di dalam ruh (QS 7: 172). Sistem kehdupan manusia telah memisahkan dari naluri berketuhanan. Walaupun tidak menolak Tuhan dalam bentuk lisan, tetapi dia mengingkari Tuhan dalam bentuk perilaku (Saefuddin, 1996: 4-5).
Ateisme berasal dari bahasa Yunani atheos ‘tanpa Tuhan’, yang berarti: (1) kepercayaan bahwa dewa-dewi atau Tuhan itu tidak ada; (2) ketidakpercayaan pada eksistensi supernatural apapun yang mempengaruhi jagat raya; (3) tiadanya keyakinan pada Tuhan tertentu. Orang Yunani menamakan orang Kristen sebagai ateis karena tidak percaya pada dewa-dewi mereka. Orang Kristen sebaliknya menyebut orang Yunani ateis karena tidak percaya pada Tuhan mereka (Rosda, 1995: 26). Juga,  menurut Louis Leahy (1993: 297-8), bahwa ateisme berasal dari bahasa Yunani a theos, ‘tanpa Allah’, yang berarti pengingkaran akan Allah. Seorang ateis praktis, meskipun yakin bahwa Allah itu ada, namun hidupnya seolah-olah Allah tidak ada: cara hidupnya itulah yang merupakan pengingkaran akan Allah. Seorang ateis teoretis percaya bahwa Allah tidak ada: ia menyangkal Allah dengan akal budinya; ia menetapkan bahwa tidak ada Allah. Dalam materialisme dan positivisme, yang menolak segala bentuk eksistensi rohani dan transenden, terkandung suatu bentuk ateisme yang cukup radikal. Sedang panteisme, dalam berbagai bentuknya, menolak ‘seorang’ Allah yang mempribadi dan transenden; namun degan mengakui adanya sesuatu yang mutlak (hukum moral, nilai-nilai, keindahan, dll) yang tidak sama denga dunia pengalaman kita, panteisme masih mempunyai suatu akar kepercayaan akan Allah. Politeisme dan deisme tidak dapat disebut ateisme.
Senada dengan itu, ateisme, menurut Lorens Bagus (1996: 94), ialah (1) Keyakinan bahwa Tuhan, atau dewa/dewi tidak ada; (2) Pandangan yang menolak adanya yang adikodrati hidup sesudah mati; (3) Kesangsian akan eksistensi yang adikodrati yang diandaikan mempengaruhi alam semesta; (4) Tidak adanya keyakinan akan Tuhan yang khusus (Orang-orang Yunani menyebutkan orang-orang Kristen ateis karena tidak percaya kepada dewa/dewi mereka. Dan orang-orang Kristen menyebut orang-orang Yunani ateis karena tidak percaya kepada Tuhan mereka; (5) Penolakan semua agama; (6) Sehubungan dengan ini, panteisme dalam pelbagai bentuknya menolak Tuhan yang transenden dan personal, tetapi mengenal dan mengakui sesuatu yang mutlak (hukum moral, keindahan dsb). Sang mutlak diyakini tidak sama dengan dunia pengalaman. Panteisme masih memiliki benih iman kepada Tuhan. Politeisme dan Deisme tidak termasuk dalam ateisme.
Ditambahkan oleh Lorens Bagus (1996: 95-6) bahwa ateisme itu memiliki beberapa jenis, yaitu (1) Ateisme naif. Dalam filsafat Yunani kuno, misalnya dalam karya Thales, Anaximenes, Herakleitos, Demokritos, Epikuros, Xenophanes, dan Lucretius, terdapat unsur-unsur ateistis. Mereka berupaya menjelaskan fenomena-fenomena dengan sebab-sebab alamiah, walaupun ateisme mereka masih bersifat naif, spekulatif, dan tidak konsisten; (2) Atesime praktis dan teoretis. Seorang penganut ateisme praktis mempunyai keyakinan akan adanya Tuhan, tetapi menolak Tuhan dengan cara hidupnya. Dalam hidupnya ia bertingkah laku seolah-olah Tuhan tidak ada. Seorang ateisme teoretis memutuskan bahwa Tuhan tidak ada. Ateisme teoretis terdiri dari dua macam: ateisme teoretis negatif dan ateisme teoretis positif. Seorang penganut paham yang pertama sama sekali tidak mengetahui tentang Tuhan atau mempunyai gagasan yang kacau mengenai Tuhan. Sikap pikiran semacam ini bagi orang normal, dewasa, tidak bertahan lama karena kecenderungan seluruh kodrat manusia terarah kepada Tuhan, Sang Ilahi. Penganut pandangan yang kedua meragukan eksistensi Tuhan. Karena menurut mereka eksistensi Tuhan dibuktikan secara tidak memadai (skeptisisme). Mereka mengakui bahwa pernyataan yang sangat jelas mengenai Tuhan itu mustahil. Karena pernyataan mengenai Tuhan melampaui pengetahuan kita yang hanya terbatas pada pengalaman (agnotisisme). Ateisme teoretis positif dapat pula terjadi karena orang yakin secara subjektif bahwa Tuhan tidak ada. Ateisme teoretis positif ini dapat dijelaskan dari hakikat evidensi yang digunakan dalam pembuktian keberadaan Tuhan; karena evidensi itu tidak memberi jaminan penuh. Karena argumen yang dibentuk biasanya amat rumit; dan kerumitan ini disebabkan banyaknya presuposisi epistemologis. Posisi ini juga dapat dijelaskan oleh dorongan ‘keberatan-keberatan’ filosofis dan oleh pengaruh nafsu-nafsu pribadi. Namun, penganut sikap semacam ini telah membiarkan kecenderungan yang terdalam mandek dan nyaris tidak luput dari kesalahan. Jenis ateisme yang lain adalah ateisme postulatori. Ateisme jenis ini dicanangkan F. Nietzsche dan N. Hartmann. Mereka menolak adanya Tuhan karena diandaikan Tuhan mengancam nilai-nilai moral.
Seorang ateis teoretis negatif, menurut Louis Leahy (1993: 298-9), tidak mengetahui apa-apa mengenai Allah seluruhnya cacat tercemar. Sikap hati semacam itu tidak akan dapat bertahan lama dalam diri seorang dewasa yang normal, sebab segenap kecenderungan kodrati manusia terarah kepada Allah. Kasus-kasus yang terdapat dalam jenis ateisme ini kerapkali dapat diterangkan dari adanya pendidikan yang sama sekali bersifat positivistis, materialis, skeptis.
Seorang ateis teoretis positif itu (a) menyangsikan bahwa adanya Allah sudah dibuktikan secara memuaskan; atau (b) berpendapat bahwa segala penegasan mengenai Allah itu tidak mungkin, sebab penegasan semacam itu melampaui pengetahuan kita, yang selalu dibatasi oleh pengalaman (agnotisisme); atau (c) yakin secara subjektif  bahwa Allah itu ada. Pendirian terakhir ini dapat diterangkan atas dasar sifat bukti-bukti yang dipakai dalam segala pembuktian eksistensi Allah, yaitu  bukti-bukti yang bersifat tidak langsung atau bertindak sebagai pengantara saja: karena argumentasinya biasanya cukup kompleks dan berpijak pada beberapa pengandaian epistemologis dasariah. Pengingkaran akan Allah itu dapat diterangkan pula atas dasar kekuatan dampak ‘keberatan-keberatan’ dan pengaruh nafsu. Bagaimanapun juga, dalam diri orang yang berpendirian demikian itu ada semacam atropi atau pengerutan kecenderungan-kecenderungan manusia yang terdalam atau semacam pengebirian rohani.
Ateisme sebagai pengandaian dasar dalam faham F. Nietzsche dan H. Hartmann mengingkari eksistensi Allah. Sebab menurut mereka, Allah membahayakan kebebasan dan keaslian manusia maupun nilai-nilai etis. Beberapa bentuk ateisme mutakhir berada pada jalur tersebut. Hal senada dinyatakan Jalaluddin Rakhmat bahwa Nietzsche boleh disebut ‘semacam’ ateis; bukan ateis yang mengingkari keberadaan Tuhan, tapi ateis yang melihat Tuhan sebagai musuh kebebasan dan penentu moralitas. Dengan membunuh Tuhan, manusia memperoleh kebebasan untuk menentukan nilai, memilih baik dan buruk. Dalam bahasa Sartre, hanya dengan meniadakan Tuhan kita baru bertindak ‘otentik’ (Nafis, ed., 1996: 35). Dalam nyanyian Nietzsche, requiem aeternam deo (beristirahatlah selama-lamanya untuk jenazah Tuhan), Octavio Paz, novelis dan penyair Meksiko menyela, “Tanpa Tuhan dunia menjadi ringan, tetapi [tugas—peny.] manusia menjadi berat” (Mangunwijaya, 1994: 111).

Perkembangan dan Pengaruh para Tokoh Ateisme
Secara garis besar, menurut Jalaluddin Rakhmat (Nafis, ed., 1996: 35-6),  aliran ateisme terbagi dua, yakni aliran ateisme romantik dan ateime rasionalistik. Aliran ateisme romantik, seperti Nietzsche dan Sartre (eksistensialisme), tidak mengingkari keberadaan Tuhan, namun menggantikan-Nya dengan individualitas. Kata Nietzsche dalam menyimpulkan aliran ateisme romantik: “Be a man and not follow me—but your self.” Sementara itu, aliran ateisme rasionalistik mengingkari Tuhan karena penjelasan ilmiah yang rasional tidak memerlukan Tuhan dalam menjelaskan dunia. Aliran ini mempengaruhi pemikiran modern dalam bentuk materialisme (Marxisme), positivisme logis (reduksionalisme Durkheim), dan psikonalisis (Freudian).
Louis Leahy dalam bukunya, Aliran-aliran Besar Ateisme, membagi aliran ateisme berdasarkan alur pemikiran para tokohnya, yakni Friedrich Nietzsche, Emile Durkheim, Sigmund Freud, Jean-Paul Sartre, dan Karl Marx. Di bawah ini secara deskriptif-resumtif disajikan pemikiran mereka:

1. Friedrich W. Nietzsche (1844-1900)
Awal pemikiran Nietzsche dipengaruhi oleh ‘doktrin kuno’, yang berasal dari Anaximandros, Heraklitos, para penganut Stoa, sumber-sumber Iran, dan agama Buddha, yang berbunyi: “Kembalinya segala sesuatu”. Maksudnya bahwa kehidupan dunia ini bersifat siklis atau menurut siklus-siklus periodik, maka apa yang terjadi akan terjadi lagi pada suatu hari. Sebab tidak ada hal yang sama sekali baru (Leahy, 1992: 19).
Untuk itu, Nietzsche berujar:
Segala sesuatu pergi, segala sesuatu datang kembali; berputarlah roda hakikat itu secara pribadi. Segala sesuatu itu mati, segala sesuatu itu berkembang lagi; berlangsunglah rangkaian hakikat itu secara abadi. Segala sesuatu hancur, segala sesuatu disusun kembali; berdirilah hakikat yang sama secara abadi. Lingkaran hakikat tetap setia pada dirinya sendiri secara abadi … Hakikat itu mulai pada setiap saat … Pusatnya adalah di mana-mana. Jalan kekekalan itu berlingkar (Leahy, 1992: 20-1).

Argumen Nietzsche ini didukung para ilmuwan seperti oleh G.G. Vogt (1878), dan pada abad ke-20 oleh C. Andler, yang menyatakan bahwa evolusi yang tak dapat diulang lagi disokong oleh fakta-fakta yang berwujud dan dapat diukur. Tetapi kembalinya terus-menerus gerakan-gerakan, walaupun tak dapat ditunjukkan, dan walaupun tampaknya tidak masuk akal, namun merupakan postulat ilmu pengetahuan, salah satu tuntutan paling tua dari roh dan cara yang paling manjur untuk melampaui apa yang kelihatan (Leahy, 1992: 20).
Dengan argumennya ini, Nietzsche mengritik kaum agamawan, khususnya kaum Kristiani, sebagai berikut: “Paham Kristen itu merupakan platonisme bagi rakyat, di mana terdapat perbedaan antara pemikiran Kristen dengan Platonisme dalam struktur dan kecenderungan konstitutifnya.”
Paham Kristen yang ‘meremehkan badan’, Nietzsche berpendapat:
Paham kristenlah yang pertama-tama, dengan perasaan tidak senangnya terhadap hidup, telah membuat seksualitas sebagai suatu hal yang najis … Sejak permulaannya, paham kristen itu, pada hakikatnya dan secara fundamental, bersikap muak dan jemu terhadap hidup … Kebencian terhadap dunia, fitnahan terhadap hawa nafsu, ketakutan terhadap keindahan serta seksualitas, suatu tempat di ‘sebelah sana’ yang ditemukan untuk memfitnah hal duniawi; pada dasarnya suatu hasrat akan kehampaan, suatu kehendak akan dekadensi, suatu pertanda paling mendalam dari penyakit, kelesuan, kepayahan hidup (Leahy, 1992: 24).

Ajaran tentang ‘dosa asal’, Nietzsche berpendapat bahwa hidup kita pada dasarnya adalah tersesat, sedangkan Kristen beranggapan bahwa kehidupan manusia di bumi ini berawal dari dosa turunan Adam yang melakukan kesalahan di surga.
Perumusan realitas dalam bentuk moral, di mana paham Kristen mengajarkan peng-ilahi-an manusia (theiosis); paham Kristen selalu memihak kepada apa yang gila, Nietzsche berujar:
Paham Kristen juga bertentangan dengan segala sesuatu yang secara spiritual bersifat utama. Ia hanya dapat menggunakan suatu akal sakit sebagai akal Kristen. Ia memihak kepada segala sesuatu yang gila, ia memfitnah roh, memfitnah keutamaan roh yang sehat. Oleh karena penyakit itu termasuk hakikat paham Kristen, maka dengan sendirinya kondisi yang bercorak khas Kristen, yakni iman kepercayaan juga harus merupakan suatu bentuk penyakit. Semua jalan lurus, jujur, dan ilmiah yang menuju kepada pengetahuan, harus dihindari oleh Gereja, sebagai jalan-jalan terlarang (Leahy, 1992: 31).

Perdebatan messianisme, menurut Nietzsche adanya stratifikasi manusia dan keselamatan aristokratis semata: ‘manusia atas’ (ubermensch), sedangkan Kristen menganggap itu sebagai tawaran kepada seluruh manusia untuk menjadi ‘dewa’ dan ‘manusia super’.

2. Emile Durkheim (1858-1917)
Agama itu, menurut Durkheim, tidak mempunyai realitas asli karena bisa dijelaskan secara total dengan suatu realitas lain, yakni masyarakat. Jadi, objek religius itu hanya ilusi belaka. Dengan pernyataannya ini memposisikan Durkheim sebagai tokoh sosiologi agama (Leahy, 1992: 37-9), yang mengharuskan agamawan menyelidiki bentuk-bentuk agama yang paling elementer untuk menangkap arti sesungguhnya dari agama itu. Maka dalam paham totemismelah ia yakin telah menemukan bentuk-bentuk tersebut.
Durkheim menguatkan argumennya itu sebagai berikut:
Agama tidak lagi menjadi suatu halusinasi yang tak dapat dijelaskan, sebaliknya dia mendapatkan suatu kepastian dalam realitas. Sesungguhnya dapat dikatakan bahwa orang yang beriman tidak salah apabila ia percaya kepada adanya suatu kekuatan moral dan bahwa ia tergantung darinya, dan apabila ia menganggap kekuatan moral itu sebagai sumber dari apa yang terbaik dalam dirinya. Kekuatan itu memang benar-benar ada, yaitu berupa masyarakat (Leahy, 1992: 42).

Menurut Durkheim, yang berlainan dengan Marx dan Freud, agama bersifat positif karena bermanfaat menciptakan simbol dewa (totem) pada masyarakat sekaligus membentuk sebuah suku (clan), sehingga dewa dan masyarakatnya menjadi satu (reduksionisme sosiologis) (Leahy, 1992: 37-9).



3. Sigmund Freud (1858-1939)
Agama itu, menurut Freud, adalah suatu penyakit syaraf (neurosis) universal yang bersifat obsesif. Bagi Freud, orang religius itu hanya tetap dapat  neurosis dan infatil (Leahy, 1992: 48).
Dasar pemikiran Freud sebagai berikut:
Seorang laki-laki yang berkuasa memimpin kelompok primitif dan menguasai kaum wanitanya. Pada suatu hari, putra-putranya memberontak dan membunuhnya. Tetapi karena sang ayah bukan saja merupakan objek iri hati mereka, melainkan juga cita-cita mereka, maka mereka makan dagingnya juga agar dapat menjadi sama kuat seperti dia. Kejahatan ini merupakan beban berat bagi hati nurani mereka. Maka dari itu mereka menciptakan totem, simbol sang ayah, yang memberikan kemungkinan untuk suatu pengalihan afektif. Korban dan makanan totemistis menjadi peringatan yang diadakan terhadap kejahatan primitif (Leahy, 1992: 49).

Argumen dasar Freud ini menggambarkan kritikannya kepada agama Kristen, yang terilhami oleh cerita Oedipus (Complex), tokoh legenda Yunani yang pernah menjadi raja Thebes. Seperti telah diramalkan, tanpa disadari ia membunuh ayahnya dan mengawini ibunya (Sudjiman, 1990: 57).
Dengan pendekatan psikonalisa, Freud melihat bahwa agamawan mengalami keresahan inteligensi, yakni pelarian dari kenyataan atau ketakutan untuk menghadapi kesepian, sehingga memerlukan ‘tempat’ mengeluh seperti citra Bapak dalam agama Kristen.

4. Jean-Paul Sartre (1905-1980)
“Manusia benar-benar bersifat manusiawi hanya sejauh dia merdeka; dan dia merdeka hanya kalau menjadi ateis,” demikian dogma sentral eksistensialisme ateis yang digawangi Sartre, filosof eksistensialisme asal Prancis.
Sifat umum kaum eksistensialisme ini adalah (1) reaksi terhadap idealisme yang rasionalistis; (2) mengonstatasikan adanya kegagalan akal terhadap yang bereksistensi, yakni bahwa penjelasan yang memuaskan tentang dunia tak pernah tercapai; (3) dunia keterangan serta alasan bukanlah dunia eksistensi, sehingga tak dapat ditangkap oleh inteligensi; dan (4) absurditas situasi manusia karena fakta ‘ada’ tidak dapat diterangkan, kecuali hasil kreativitas manusia sendiri (Leahy, 1992: 59-66).
Sartre sendiri menawarkan tema ‘alteritas’, yakni konsep kekuatan aku secara fenomenologis. Ia mengatakan: “Manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengandalkan pada kekuatan di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan dirinya sendiri” (Titus, et.al., 1984: 395).

5. Karl Marx (1818-1883)
Marx sangat dipengaruhi oleh Ludwig Feurbach (1804-1872) seperti dalam pengertian materialisme yang berlawanan dengan idealisme Hegel, konsernitas masalah martabat manusia, serta penjelasan agama sebagai pengasingan dan ilusi. Namun, Marx pun mengembangkan metodenya sendiri serta melahirkan paham baru, yaitu marxisme yang berarti materialisme dialektis dan historis; materialisme dialektisnya berarti bahwa dalam sintesis realitas, kondisi-kondisi materilah yang menentukan kesadaran manusia, begitu pun dalam materialisme historisnya bahwa sejarah telah disyaratkan dan ditentukan oleh fenomena-fenomena dasar seperti fenomena-fenomena ekonomis yang ideal.
Prinsip Marx ini bertentangan dengan kenyataan yang ada. Karena dalam fenomena-fenomena ekonomis terdapat gap atau anatema, yakni kesenjangan atau ketidakmerataan dalam kepemilikan kekayaan harta benda, sehingga sebagian manusia mengalami split personality akibat teralienasi oleh situasi yang diciptakan kaum antagonis. Maka, menurut Marx, gagasan tentang Allah adalah suatu proyeksi mitis dari pengasingan fundamental. Gagasan ini selalu mewujudkan kesengsaraan kelas yang tertindas, juga merupakan alat kelas yang berkuasa untuk melangsungkan dominasinya.
Karena itu, Marx mengritik agama dan Allah sebagai berikut:
Agama adalah kesadaran diri dan perasaan diri bagi manusia, ketika ia belum berhasil menemukan dirinya atau ketika ia sudah kehilangan dirinya. Namun manusia itu bukan suatu makhluk abstrak yang ‘bercokol’ di luar dunia. Manusia adalah dunia manusia, negara, masyarakat. Negara, masyarakat itu menghasilkan agama, yang merupakan suatu kesadaran—terhadap--dunia yang tidak masuk akal. Agama adalah teori umum tentang dunia itu … Ia adalah realisasi fantastis makhluk manusia, oleh karena makhluk manusia tidak memiliki realitas sejati … Kesengsaraan religius, di satu pihak adalah pernyataan dari kesengsaraan nyata, dan di lain pihak suatu proses terhadap kesengsaraan nyata itu. Agama adalah keluhan makhluk tertindas, jiwa suatu dunia yang tak terkalbu, sebagaimana ia merupakan roh suatu kebudayaan yang tidak mengenal roh. Agama adalah candu rakyat (Leahy, 1992: 98).

Dua di antara lima tokoh ateisme tersebut termasuk dalam seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. Seperti dituturkan Michael H. Hart (1994: 86-90; 183-5), yakni Karl Marx yang menempati ‘rangking’ kesebelas dan Sigmund Freud, ketiga puluh dua; bahwa sekitar 1,3 milyar orang telah terpengaruh Marxisme atau mengilhami ideologi dan gerakan komunisme seperti yang terjadi di Indonesia tahun 1965 dengan adanya ‘revolusi’ Partai Komunis Indonesia; dan Freud dinilai sebagai perintis psikonalisa, yakni suatu metode penyembuhan penyakit kejiwaan yang menekankan pentingnya peran alam bawah sadar manusia, yang sekaligus memposisikan Freud sebagai tokoh yang paling berpengaruh dan paling penting dalam perkembangan teori psikologi modern.

Penutup: Pleidoi Agamawan
Kelima tokoh ateisme dengan argumentasinya tersebut memperlihatkan proses kritikan dan penolakan mereka terhadap doktrin-doktrin agama formal, khususnya agama Kristen Katolik. Tidak seperti kepada Kristen Protestan dengan tokohnya Martin Luther King, Jr. atau Immanuel Kant, yang justru mengilhami Nietzsche dan Sartre. Kelima tokoh ateisme ini telah memunculkan tema sentral ke-ateisme-an mereka, yaitu orientasi dan obsesi tentang peningkatan martabat manusia. Seperti disebutkan oleh Bertrand Russel, seorang ateis radikal, bahwa ketentraman atau kebahagiaan tidak akan tercapai tanpa keinsyafan akan makna dan tujuan hidup itu sendiri (Madjid, 1993: 11).
Bagi kita, kaum agamawan, makna dan tujuan hidup mereka tentu sama, namun hakikat dan maksud hidupnyalah yang justru berbeda. Hal ini dinyatakan oleh C.G. Jung, seorang psikonalis, misalnya mengenai landasan yang diperlukan untuk kebahagiaan: (1) Kesehatan badan dan jiwa; (2) Hubungan pribadi dan intim yang baik, seperti hubungan perkawinan, keluarga, dan persahabatan; (3) Kemampuan untuk menangkap keindahan dalam seni dan alam; (4) Taraf hidup yang layak dan pekerjaan yang memuaskan; serta yang utama (5) Titik pandang religius dan falsafi yang mampu menggulati suka-duka kehidupan dengan berhasil (Leahy, 1994: 32-3).
Dinyatakan pula oleh Nurcholish Madjid (1991: 182) bahwa untuk mencapai hidup yang bahagia, setiap manusia harus melalui empat tahap berturut-turut, yakni (1) tahap naluriah, dengannya seorang manusia baru lahir ke dunia, hidup; (2) tahap pancaindera atau indera umumnya, yang akan menyempurnakan bekerjanya naluri. Tetapi, indera pun belum cukup, sebab indera masih terlalu banyak membuat kesalahan. Maka dilengkapilah dengan tahap (3) akal pikiran, yang memberikan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang dibuat indera, dan bekerja atas dasar bekerjanya indera; serta (4) kebenaran terakhir (ultimate truth), yakni pengajaran Tuhan (wahyu, revelation), yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan sejati karena akal pikiran atau rasio itu mempunyai kemampuan yang terbatas.
Sebagai orang beragama, tentunya kita bisa mengklaim bahwa ‘agama baru’ tersebut bukan menunjukkan suatu kemajuan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), tetapi sebuah kemunduran. Karena iptek itu sendiri adalah manifestasi dari inspirasi dan perspirasi imtak (iman dan takwa), yakni kesadaran dan pengakuan primordial setiap individu: “Di atas langit masih ada langit.” Ini pun diakui oleh Albert Einstein (1879-1955), ilmuwan penemu atom dan Bapak Fisika Modern, yang menyatakan: “ Ilmu tanpa agama buta. Agama tanpa ilmu lumpuh” (Idries, 1992: 11). Einstein menekankan pentingnya keinsyafan yang lebih mendalam tentang alam raya ini, yakni keinsyafan ber-Tuhan dengan manifestasi rasa takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Katanya:
Emosi paling indah dan paling mendalam yang dapat kita alami ialah rasa mistis. Ia merupakan kekuatan semua ilmu pengetahuan yang benar. Seseorang, yang baginya emosi itu terasa asing, yang tidak lagi dapat mengagumi dan bergembira dalam suatu kedahsyatan, adalah lebih baik mati saja. Untuk mengetahui bahwa apa yang yang tidak tertembus oleh kita benar-benar ada, yang menyatakan dirinya sebagai kebijaksanaan tertinggi dan keindahan paling cemerlang yang kemampuan terbatas kita (bodoh) ini dapat memahaminya hanya dalam bentuknya yang paling primitif—pengetahuan ini, perasaan ini berada dalam intisari keagamaan yang benar (Madjid, 1991: 176).

Bahkan, Ignace Lepp (1985: 9), seorang Katolik mantan ateis asal Prancis, mengatakan bahwa kebanyakan kaum ateis berpura-pura menjadi orang yang rasionalis. Mereka mengritik agama dari sudut pandang ilmu sejarah atau ilmu pengetahuan alam. Sebuah hal yang jelas bahwa ilmu manusia dapat direkayasa oleh manusia itu sendiri untuk kepentingan politis dan ekonomisnya.
Ateisme modern itu adalah suatu sikap anti-Kristen yang menghalangi ide-ide kaum ateis tentang manusia dan kebahagiaan. Bahkan Marx dan Freud, walaupun mereka keturunan Yahudi, menitikberatkan kritik-kritik mereka tentang fungsi sosial dan fungsi psikologis agama pada prinsip-prinsip Kristen dan bukannya pada prinsip-prinsip agama Yahudi (Lepp 1985: 6-7).
Dengan demikian, ateisme jelas dan pasti: Tak ada Allah. Bagi ateisme mengakui Allah sama saja dengan meniadakan martabat manusia. Karenanya adalah keprihatinan ateisme untuk meyakinkan bahwa Allah itu omong kosong, pelarian (kompensasi), agama adalah candu dan sebagainya. Alam semesta dan hidup kita sama sekali tidak tergantung pada kekuatan lain mana pun. Manusia memiliki arti dalam dirinya sendiri.
Ateisme perlu kita bahas dan kita kaji bersama. Ateisme itu menarik karena¾ternyata¾ia secara langsung merupakan sisi negatif dari agama dan keyakinan akan adanya Allah atau kewibawaan adikodrati. Namun demikian studi dan pemahaman tentang ateisme itu pun memberikan kesempatan baik bagi kita untuk memperluas cakrawala dan memurnikan pandangan, untuk memperdalam aspek rasional positif dari agama dan kepercayaan akan Allah, sehingga dengan demikian keyakinan religius kita diperkuat.
Dengan mengenali alur pemikiran ateisme yang merupakan sisi negatif dari hidup ber-Tuhan itu kita diajak atau ditantang untuk berdialog secara kritis kenapa ateisme bisa muncul, serta mengenali pula berbagai bahaya yang terkandung dalam masing-masing aliran besar ateisme.
Melalui dialog kritis refleksif, maka kita akan dibantu membentuk struktur inteligibel untuk menghadapi ateisme dan waspada terhadap bahaya yang dikandungnya, antara lain yang menjelma dalam sistem sosial yang kita kenal dengan komunisme yang senantiasa menghantui negara kita yang berlandaskan Pancasila.
Karena itu, menjadi tugas kita bersama, yakni (1) untuk memasuki agama (Islam) secara kaaffah atau menyeluruh (QS 2: 208; 12: 67; dan 6:1 62); (2) mendalami ajaran agama atau tafaqquh fi al-diin sekaligus berkewajiban menjaga moralitas masyarakat dengan amar ma`ruuf wa nahii munkar (QS 9: 122; 3: 104; dan 4: 36); serta (3) menawarkan Islam sebagai agama universal, yang monoteis murni atau strict monotheism—istilah Max Weber—(QS 112: 1-4), sebagai rahmatan lil `aalamiin dan agama prulalistik yang relevan dan signifikan dengan perkembangan zaman (QS 2: 136, 148; 3: 19, 64, 85, 112; 4: 163-5; 5: 8, 48; 16: 36; 29: 46; 30: 30; 39: 17-8; 42: 13, 15; 49: 11, 13; dan 60: 8).
Mengapa Islam?
Karena Islam itu adalah kebenaran terakhir atau wahyu Tuhan terakhir (QS 5: 3 via Madjid, 1991: 183). Islam, menurut Ernest Gellner, sosiolog Inggris, adalah yang paling dekat dengan modernitas di antara agama monoteis lainnya, yakni Yahudi dan Kristen. Karena Islam mengajarkan tentang universalisme, skripturalisme, dan sistematisasi rasional kehidupan sosial; serta ini pun diakui oleh Robert N. Bellah, sosiolog Parsonian, bahwa sejak permulaannya Islam itu sangat modern, it was too modern (Madjid, 1992: 468-9; xl).
Islam sangat menentang kaum ateisme karena mereka tidak memiliki Kitab Suci atau bukan Ahl al-Kitaab (QS 5: 48). Karena itu, pendekatan filosofis-argumentatif sangat dibutuhkan untuk menghadapi mereka. Tentunya, sebagai kaum Muslim, pleidoi atau apologetik kita mengikuti hukum Islam (Quran dan Sunnah) seperti melanjutkan tugas kenabian (al-nubuwwah, prophetic mission), yakni berfungsi sebagai pengajar, penegak, dan penjaga moralitas masyarakat, di mana tujuan misi suci (sacred mission) para Nabi, yang telah memiliki akhlak yang tinggi itu, adalah menegakkan moralitas yang tinggi di kalangan umat manusia (Madjid, 1997: 18).
Secara implisit, pernyataan di atas mengharuskan kita melakukan pendekatan pluralistik terhadap kaum ateis, yakni secara sosio-fenomenologis melakukan intervensi dan penetrasi terhadap pemikiran kaum ateis, meskipun di dalamnya tidak termasuk kata pemaksaan untuk memeluk agama Islam seperti telah ditegaskan dalam Quran (QS 2: 256; 10: 99; 24: 54; atau 88: 21-2). Pluralisme itu, menurut Nurcholish Madjid (1992: lxviii), adalah suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Dengan demikian, ateisme yang dianggap sebagai agama baru dalam era modern dan masih berlangsung hingga era globalisasi ini harus diakui sebagai kenyataan yang ada, dan yang hidup berdampingan dengan kita, kaum agamawan.
Sebuah dialog yang diupayakan tentunya adalah dialog antarkebudayaan, bukan dialog antaragama. Karena ateisme adalah produk budaya manusia Tuhan (promethean). Maka, hanya dengan prinsip keprihatinan dalam arti prinsip kemanusiaan, bukan prinsip persaudaraan seiman, kita bisa berdialog dengan mereka, serta dengan cara terus-menerus (in fieri) kita melakukan penyadaran islami.
Mungkin, kita tinggal berterima kasih kepada Tuhan ‘asli’, sehingga kita tidak capai sebagai manusia.


Nb. makalah jadul (1997).



SUMBER RUJUKAN

Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Bertens, K. 1992. “Yang Sakral dan Yang Profan dalam Penghayatan Tradisonal: Homo Religious Menurut Mircea Eliade”. Jurnal Ulumul Qur’an. No. 3, Vol. III. Hlm. 47-51. Jakarta: LSAF dan ICMI.
Djambek, M. Zain. 1956. “Berbagai Paham tentang Ketuhanan”. Hudjdjatul Islam. Nomor 1, Tahun I, Agustus. Bandung: Pusat Pimpinan Persatuan Islam.
Gazalba, Sidi. 1984. Problematik Dunia Modern: Agama, Perlukah atau Tidak? Jakarta: CV Bayu Kubana.
Hart, Michael H. 1994. The 100, A Ranking of the Most Influential Persons in History. Terj. Mahbub Djunaidi. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hidayat, Komaruddin, dan Muhammad Wahyuni Nafis. 1995. Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: Paramadina.
Idries, Dadang Hawari, 1992. “Gangguan Kejiwaan karena Modernisasi”. Bag. I. Media Pembinaan. Edisi No. 4, Tahun XIX. Hlm. 10-2, 25. Bandung: Kanwil Depag Jabar.
Leahy, Louis. 1992. Aliran-aliran Besar Ateisme: Tinjauan Kritis. Yogyakarta: Kanisius.
Leahy, Louis. 1993. Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius.
Leahy, Louis. 1994. Esai Filsafat untuk Masa Kini: Telaah Masalah Roh-Materi Berdasarkan Data Empiris Baru. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Lepp, Ignace. 1985. Ateisme Dewasa Ini: Potret Kegagalan Manusia Modern. Terj. Sayyid Umar dan Edy Sunaryo. Yogyakarta: Shalahuddin Press.
Madjid, Nurcholish. 1987. “Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman”. Diktat Makalah-makalah Serie Klub Kajian Agama (KKA), No. 07/I. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
Madjid, Nurcholish. 1991. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Editor: Agus Edi santoso. Bandung: Mizan.
Madjid, Nurcholish. 1993. “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”. Ulumul Qur’an. No. 1, Vol. IV. Hlm. 4-25.
Madjid, Nurcholish. 1997. Masyarakat Religius. Editor: Ahmad Gaus AF. Jakarta: Paramadina.
Mangunwijaya, YB. 1994. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius.
Muhni, Djuretna A. Imam Muhni. 1994. Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson. Yogyakarta: Kanisius.
Nafis, Muhammad Wahyuni (ed.). 1996. Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam. Jakarta: Paramadina.
Natawidjaja, P. Suparman. 1982. Apresiasi Sastra dan Budaya. Jakarta: PT Intermasa.
Rosda, Tim Penulis. 1995. Kamus Filsafat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Saefuddin, Ahmad Muflih. 1996. “Eksistensi Manusia dalam Abad Modern”. Makalah Simposium Nasional HMJ Aqidah-Filsafat, 16 Oktober. Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati.
Shihab, M. Quraish. 1995. “Membumikan” Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI-Press.
Titus, Harold H. (et al.). 1984. Living Issues in Philosophy. Terj. M. Rasjidi. Persoalan-persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.