Wacana dan aksi radikalisme
mewabah, terlebih ketika ‘panci’ meledak di Taman Pandawa, Kelurahan Arjuna, Kota Bandung; hampir
menggagalkan kunjungan kenegaraan Raja Salman dari Arab Saudi dan Michael
Essien bergabung dengan Persib.
Residu bom panci itu membekas
di benak warga Kota Bandung, bahkan menjadi vektor syak-wasangka ke wilayah
Indonesia lainnya jika dikaitkan dengan ajang pilkada serentak sejak 2015 dan
kompak ngeri apabila agama dikaitkan dengan politik.
BNPT (Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme) dan Kemenag RI telah wara-wiri mengantisipasi
radikalisme beserta derivasinya. Adapun penulis melakukan studi literer secara
sekilas. Diperoleh hipotesis bahwa radikalisme itu kategori ‘wacana’, sedangkan
sempalan kategori ‘aksi’. Peristiwa bom panci merupakan sempalan dari
radikalisme alias pemahaman melahirkan aksi teror.
Pertanyaan asasi muncul, apa
radikalisme? Tulisan ini bermaksud menjawab secara denotatif. Semoga tulisan
ini tidak menambah fobia, setelah kita diserang teror bom, tuan hoax,
dan harga céngék (cabe rawit).
Level
Apresiasi
‘Radikalisme’: paham atau
aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan
perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau
drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik. ‘Sempalan’: penggalan (misal
tentang penyiaran dsb suatu peristiwa); pecahan (tentang suatu organisasi dsb)
(KBBI). Etimologi radikalisme: radix (Inggris: akar, bilangan
dasar).
‘Apresiasi’ mempunyai lima tingkat: (l) penikmatan, (2) penghargaan, (3) pemahaman, (4) penghayatan, dan (5) implikasi (P. Suparman Natawidjaja, 1982). Untuk semua level ini, ‘radikalisme’
tidak salah untuk dikonsumsi secara pribadi dan untuk kerja ilmiah, hatta
konservatisme, formalisme, fundamentalisme, ekstremisme, liberalisme,
komunisme, ateisme, atau komodifikasi agama. Karena bagaimana bisa meng-counter
serangan isme kalau tidak belajar isme tersebut?
Ketika isme/doktrin disebarkan
ke awam, apalagi terjadi aksi yang menyimpang dari pemahaman isme (‘sempalan’),
inilah yang salah dan disebut: heresi/bid’ah, sinkretis, distorsi, ateis/kafir,
fanatis/intoleran, teroris, kriminalis/anarkis (koruptor), atau psikopat/yang
teralienasi (paedofil).
Berdasarkan konstitusi seperti
aktualisasi Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, misi Pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial,
maka dibentuk BIN, Densus Anti-Teror, atau BNPT.
Satu dari tiga tugas BNPT adalah melaksanakan
kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan-satuan
tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan
tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Bidang
penanggulangan terorisme meliputi pencegahan, perlindungan,
deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional.
Buku Deradikalisasi
Pemahaman al-Quran dan Hadis (2008) karya Nasaruddin Umar, pernah menjabat
Wamenag RI dan menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal kini, representatif diajukan.
Buku ini mengajak kita untuk memahami teks al-Quran dan al-Sunnah dengan metodologi
tafsir yang komprehensif. Misal mempertimbangkan aspek sebab turunnya ayat
al-Quran dan Hadis tentang ‘jihad’, sehingga identifikasi ayat tidak tekstual, rigid,
dan implikasinya tidak melahirkan perilaku anarkis, intoleran, dan cenderung
destruktif.
Deradikalisasi
Tokoh Presiden AS (Jamie Foxx)
di film White House Down omong: “Kemiskinan menyebabkan peperangan.”
Sekjen PBB (Antonio
Guterres) omong: “Islamfobia pemicu terorisme.” Mahfud MD omong:
“Ketidakadilan penyebab radikalisme dan intoleran.” Jika semua tokoh omong dan
sepakat bahwa faktor radikalisme adalah masalah sosial dalam berbangsa dan
bernegara, maka solusi tinggal dindaklanjuti oleh yang berwenang, yakni
‘deradikalisasi’. Sedangkan faktor sempalan adalah masalah individual/komunal
dalam memahami sebuah isme alias reaksi kontekstual dari pembiaran faktor isme
tadi.
Misal masalah kemiskinan,
dengan pendekatan etimologis, ‘miskin’ (Arab: sakana) itu diam, tentu
orang diam harus digerakkan, bukan ‘dipelihara’ seperti dengan Bantuan Langsung
Tunai; program sekarang: Bantuan
Pemerintah Non Tunai. Agar kemiskinan ini tidak menimbulkan reaksi,
Pemerintah hendaknya menjadi inisator simpatik seperti tidak pura-pura tidak tahu
ada orang miskin. Karena di masyarakat, harga cabe rawit naik pun adalah
masalah besar; juga level peduli sesama saudara terdekat (tetangga) yang
memprihatinkan, sehingga menjadi bukti bahwa manfaat pajak dan zakat belum
dimaksimalkan.
Dengan membaca kembali sejarah,
deradikalisasi dapat dilakukan. Studi kasus komunisme bagi negara Rusia, China,
dan Korea Utara adalah cocok dan menguntungkan. Tetapi aksi komunisme yang
mewujud PKI adalah tidak cocok dan merugikan bagi sejarah Nasional. Kasus personal
ateisme, dengan menjadi ateis adalah manifestasi menuhankan dirinya. Ketika
manusia menjadi tuhan merupakan aksi blunder, merepotkan diri-sendiri
saja!
‘Formalisme’ agama menjadi
stigma, bahkan ‘formalitas’ agama. Padahal dalam sejarah kemunculannya, agama
itu pernah memiliki identitas ‘formal’ alias resmi atau standar.
Fatwa sesat MUI kepada Ahmadiyah
dan Syi’ah, namun aksinya masih ada di Indonesia, tentu sebuah ‘lomba’
kebajikan sekaligus kebijakan, yakni sungguh bajik jika non-Ahmadiyah dan
non-Syi’ah ber-introspeksi dalam keberagamaannya, misal disisipi kata ‘proselytize’
(dakwah); sebaliknya sungguh bijak jika penganut Ahmadiyah dan Syi’ah ber-ekstrospeksi
bahwa aksinya tidak cocok di Indonesia. Mungkin, cocok di negeri asalnya, India
dan Iran.
Kemudian password ‘penanggulangan’ dari
Pemerintah itu harus sinkron dengan Rakyat yang ingin aktualisasi Semangat Reformasi
(transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi), sehingga mengurangi
miskomunikasi seperti pada program standarisasi
khatib dan pesantren dari Kemenag RI yang keburu viral plus mengundang hoax,
padahal masih tahap menjaring aspirasi dari ulama dan ormas Islam.
Khusus Jawa Barat, dari 52.476.473 penduduk, 97 %-nya ialah
muslim (Wikipedia, 1/7/2016)
tentu meradang jika khatib-nya dicurigai sebagai penyebar kebencian dan pesantren-nya
dicurigai sebagai nest of radicalism. Karenanya, wacana Deradikalisasi
Nusantara layak dibumikan seperti Pribumisasi Islam yang digagas Gus Dur;
dengan catatan: tanpa dikotomi agama dengan politik sebagaimana terkandung pada
Sila Pertama Pancasila.
Survei PBB (2017) terhadap 155
negara anggota menghasilkan Norwegia sebagai negara paling bahagia, Indonesia
ke-81. PBB menggunakan parameter seperti pendapatan domestik bruto per kapita,
bantuan sosial, harapan hidup sehat, kebebasan menentukan pilihan hidup,
kedermawanan, dan persepsi korupsi. Survei membuktikan pula bahwa di negara-negara Barat yang
kaya, kesehatan mental dianggap penentu paling significant kebahagiaan
pribadi dibanding pendapatan, pekerjaan, atau kesehatan fisik. Berarti, goal
ini sejalan dengan Nawacita atau program Revolusi Mental yang diilhami misi
lagu kebangsaan kita: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.” Karena itu,
membangun mental/jiwa harus didahulukan karena urgent.
Bacaan saya ini seperti diarahkan kepada
kesimpulan bahwa zenit masalah kerukunan intra dan antar-umat beragama—setelah ikhtiar
dengan tangan dan lisan berupa uswah hasanah—bagi orang beriman adalah istirja’
(innaa lillaahi wa inna ilaihii raaji’uun) berupa doa: semoga segala
niat, cara, dan tujuan kita selalu sinergis serta selalu diridai Tuhan YME,
tanpa aksi teror, apalagi anarkis, sehingga orang beragama itu personifikasi rahmatan
lil’aalamiin.n.b. esai ini pernah dikirim ke academia.edu pada 27/3/2017 dan kompasiana.com pada 25/4/2017 ( http://www.kompasiana.com/aluzar_azhar/radikalisme-dan-sempalan_58ff52db45afbd0232f51030 ).